Archive for the ‘semester 4 pendidikan agama hindu 2013’ Category

BAB I
PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

Weda secara ethimologinya berasal dari kata “Vid” (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.

Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.

Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.

Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah.

KITAB SRUTI adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:

  • Weda atau Rg Weda Samhita dihimpun oleh Rsi Pulaha.
  • Sama Weda Samhita dihimpun oleh Rsi Jaimini.
  • Yajur Weda Samhita dihimpun oleh Rsi Waisampayana.
  • Atharwa Weda Samhita dihimpun oleh Rsi Sumantu.

KITAB SMERTI adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.

  • Kelompok Wedangga:

Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:

(1).Siksa (Phonetika)

(2).Wyakarana (Tata Bahasa)

(3).Chanda (Lagu)

(4).Nirukta

(5).Jyotisa (Astronomi)

(6).Kalpa

  • Kelompok Upaweda:

Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

(1).Itihasa

(2).Purana

(3).Arthasastra

(4).Ayur Weda

(5).Gandharwaweda

Namun dalam hal ini kami tidak membahas semua tetang intisari ajaran Veda. Kami disini hanya akan membahas salah sartu dari Kelompok Sad Wedangga yaitu “CHANDA” atau lagu dalam Veda.

  • Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian ‘Chanda’?
  2. Apa saja bentuk – bentuk ‘Chanda’?
  3. Apa saja contoh – contoh ‘Chanda’ dalam Veda ?

  • Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui pengertian ‘Chanda’.
  2. Untuk mengetahui bentuk – bentuk ‘Chanda’.
  3. Untuk mengetahi contoh – contoh ‘Chanda dalam Veda.

  • Manfaat Penulisan

Agar para pembaca dapat mengetahui apa itu Chanda, bentuk – bentuk Chanda, serta beberapa contoh Chanda yang ada dalam Veda. Karena Chanda merupakan salah satu cabang Veda yang harus diketahui ataupun dipelajari agar tidak terjadi kesalahan dalam pelafalan mantram-mantram yang ada pada Veda.

BAB II

PEMBAHASAN

  • 1 Pengertian ‘Chanda’ atau Metrum.

Chanda merupakan  ilmu  tentang  irama  Veda ( Chandasastra ). Chanda atau metrum (wirama) ditentukan oleh aturan jumlah suku kata dalam sebuah baris dan sebuah mantram Veda yang terdiri dari 3 atau 4 “pada” atau baris. Jumlah suku kata yang dihitung adalah suku kata yang konsonannya diikuti huruf svara(vowel) termasuk juga wisarga dan anuswara. Baris mantram Veda ditentukan pula oleh irama berat ringan panjang pendek yang disebut guru dan laghu yang pada baris panjang kadang-kadang berselang seling dengan yang pendek. Baris-baris pada bait mantra umumnya terdiri dari 8 , 11 atau lebih dan kadang-kadang jauh lebih banyak dari jumlah tersebut. Metrum ini menurut tradisi dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu biasa atau sedang dan yang panjang.

Metrum atau wirama terpendek terdiri dari 24 suku kata dan terdiri dari 3 baris, selanjutnya suku katanya bertambah empat demi empat dan barisnyapun berubah mnjadi empat atau lebih. Yang terpanjang dari kelompok biasa atau sedang ini terdiri dari 48 suku kata. Yang terpendek dari kelompok yang panjang adalah 52 suku kata dan yang terpanjang terdiri dari 76 suku kata bahkan ada yang 104 suku kata, kini dalam kenyataannya tidak ditemukan seperti yang demikian.

Berikut dikutipkan bagan metrum sebagai berikut :

  • Yang biasa (sedang) Jumlah suku kata (suku kata tiap baris)
  • Gayatri 24 suku kata ( 8 + 8 + 8 )
  • Usnih 28 suku kata ( 7 + 7 + 7 + 7 )
  • Anustubh 32 suku kata ( 8 + 8 + 8 + 8 )
  • Brhati 36 suku kata ( 9 + 9 + 9 + 9 )
  • Pankti 40 suku kata ( 8 + 8 + 8 + 8 + 8 )
  • Tristubhh 44 suku kata ( 11 + 11 + 11 + 11 )
  • Jagati 48 suku kata ( 12 + 12 + 12 + 12 )

  • Yang panjang Jumlah suku kata (suku kata tiap baris)
  • Atijagati 52 suku kata ( 12 + 12 + 12 + 8 + 8 )
  • Sakvari 56 suku kata ( 8 + 8 + 8 + 8 + 8 + 8 + 8 )
  • Antisakvari 60 suku kata ( 16 + 16 + 12 + 8 + 8 )
  • Asti 64 suku kata ( 16 + 16 + 16 + 8 + 8 )
  • Atyasti 68 suku kata ( 12 + 12 + 8 + 8 + 8 +12 + 8 )
  • Dhrti 72 suku kata ( 12 + 12 + 8 + 8 + 8 + 16 + 8 )
  • Atidhrti 76 suku kata ( 12 + 12 + 8 + 8 + 8 + 12 + 8 + 8 )

  • 2 Bentuk – Bentuk ‘Chanda’ atau Metrum.

Berikut ini merupakan bentuk – bentuk ‘Chanda’ :

  1. Gayatri

Metrum Gayatri yang standard mempunyai 24 suku kata. Namun cukup banyak  variasi susunan metrum Gayatri dengan nama – nama yang berbeda pula. Terdapat 11 variasi dari metrum Gayatri.

  1. Usnik

Metrum standard Usnik terdiri dari 28 suku kata. Ada 8 macam variasi popular dari Usnik. Ada juga perpaduan antara baris – baris Gayatri dan Jagati yang juga terdiri dari 28 suku kata ( 8 + 8 + 12 ).

  1. Anustup

Metrum standard Anustup terdiri dari 32 suku kata dalam 1 bait yang terdiri dari 4 baris. Terdapat 8 variasi Anustup yang dikemukakan oleh Katyayani dalam karyanya Sarvanukramani Rgveda.

  1. Brhati

Metrum standard Brhati terdiri dari 36 suku kata dalam tiap bait dan tiap baris terdiri dari 9 suku kata. Terdapat sekitar 9 variasi penting dari metrum ini.

  1. Pankti

Bentuk standard Pankti terdiri dari 5 baris dalam satu bait dan tiap baris terdiri dari 8 suku kata atau 4 baris dan tiap baris terdiri dari 10 suku kata. Terdapat 6 jenis variasi dalam metrum ini.

  1. Tristup

Bentuk standar Tristup terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari 11 suku kata (48 suku kata). Terdapat 10 variasi dalam metrum ini.

  1. Jagati

Bentuk standard jagati terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari 12 suku kata (satu bait = 48 suku kata). Terdapat variasi lain yang umum yaitu Mahapankti atau Mahasatobrhati.

Selain itu ada beberapa bentuk ‘Chanda’ lainnya, khususnya yang terdapat dalam Rgveda yang dipetikkan dari lampiran II ( Appendix II ) buku The Hymns of The Rgveda yang merupakan terjemahan dari Ralph T.H. Griffith, terbitan Motital Banarsidass, Delhi, 1986, ha;laman 655 sebagai berikut :

  1. Abhisarini : Merupakan bagian (bentuk lain) dari Trstup, yang terdiri dari 2 baris  terdiri dari dua belas ataupun kadang-kadang 11 suku kata.
  1. Anustup atau Anustubh : terdiri dari empat baris masing-masing 8 suku kata,dua “pada” membentuk sebuah baris. Metrum ini umum digunakan dalam Manavadharmasastra, Mahabrata, Ramayana,dan kitab – kitab Purana.
  1. Anustubhgarbha : sebuah metrum dari kelompok Usnih: “pada” yang pertama terdiri dari 5 dan 3 suku kata, masing-masing mengikuti baris yang masing-masing terdiri dari 8 suku kata.
  1. Anustup pipilikamadhya : merupakan bentuk lain dari anustup. “pada” keduanya dengan baris ke 1 dan ke 3 ( 8 suku kata 4+8+8 ).
  1. Asti : terdiri dari empat baris masing-masing 16 suku kata atau 64 suku kata dalam sebuah mantra.
  2. Astarapankti : terdiri dari 2 “pada” masing-masing 8 suku kata, diikuti oleh masing-masing 12 suku kata.
  1. Atidhrti : empat “pada” masing-masing terdiri dari 19 suku kata = 76 suku kata.
  1. Atijagati : empat “pada” masing-masing terdiri dari 13 suku kata.
  1. Atinicrti : terdiri dari 34 “pada” terdiri dari masing-masing 7,6 dan 7 suku kata.
  1. Atisakvari : empat “pada” masing-masing terdiri dari 13 suku kata.
  1. Atyasti : empat “pada” masing-masinbg terdiri dari 17 suku kata.
  1. Brhati : empat “pada” ( 8+8+12+8) terdiri dari 36 suku kata pada setiap mantram
  1. Caturvimsatika dvipada: sebuah dvipada terdiri dari 24 suku kata meskipun kadang-kadang 20 suku kata.
  1. Dhrti : terdiri dari 72 suku kata di dalam sebuah mantram.
  1. Dvipada viraj : merupakan bentuk lain dari Gayatri teridri dari hanya 2 “pada” ( 12+8 atau 10+10 suku kata); tidak cukup terwakilkan dalam terjemahan oleh dua puluhan suku kata berirama dalam setiap baris.
  1. Ekapada trstup : sebuah trstup terdiri dari satu “pada” atau seperempat mantram.
  1. Ekapada viraj: sebuah viraj terdiri dari sebuah “pada”.
  1. Gayatri : sebuah mantram yang biasanya terdiri dari 24 suku kata, susunannya bervariasi, namun umumnya terdiri dari 3 “pada” masing-masing terdiri dari 8 suku kata atau baris pertama terdiri dari 16 suku kata dan baris kedua terdiri dari 8 suku kata. Terdapat 11 variasi metrum gayatri ini dan jumlah suku kata dalam mantram ini bervariasi dari 19 – 33 suku kata.
  1. Jagati : sebuah metrum terdiri dari 48 suku kata disusun dalam empat “pada”, masing-masing dua belas suku kata, dua “pada” membentuk sebuah baris atau jalinan yang didalam terjemahan digambarkan oleh double alexandrine.
  1. Kakup atau kakubh: sebuah metrum terdiri dari 3 “pada” yang masing-masing terdiri dari 8, 12, dan 8 suku kata.
  1. Kakubh nyankusira: terdiri dari 3”pada” masing-masing 9 +12+4 suku kata.
  1. Krti : sebuah metrum terdiri dari empat “pada” masing-masing terdiri dari 20 suku kata.
  1. Madhyejyotis : sebuah metrum yang dalam setiap “pada” terdiri dari 8 suku kata berada di antara 2 “pada” yang masing-masing terdiri dari dua belas suku kata.
  1. Mahabrhati : empat baris masing-masing terdiri dari 8 suku kata diikuti oleh sebuah baris dengan 12 suku kata.
  1. Mahapadapankti : metrum dua bagian terdiri dari 31 suku kata, bagian pertama terdiri dari 4 baris masing-masing dengan 5 suku kata, dan bagian kedua adalah Tristup seperti biasa terdiri 11 sukun kata. Lihat vedic. Hymns, Bagian I. ( Sacred Books of the East, Ed.Max Muller, XXXII) P.XCVIII.
  1. Mahapankti : sebuah metrum terdiri dari 48 suku kata ( 8×6 atau 12×4).
  1. Mahasatobrhati : sebuah bentuk yang panjang dari satobrhati.
  1. Nastarupi : sebuah variasi dari anustup.
  1. Nyankusarini : sebuah metrum empat “pada”: 8+12+8+8 suku kata.
  1. Padanicrt : sebuah variasi dari Gayatri yang masing-masing baris kekurangan satu suku kata : 7+3=21 suku kata.
  1. Padapankti : sebuah metrum terdiri dari 5 baris masing-masing baris terdiri dari 5 suku kata.
  1. Pankti : sebuat metrum yang merupakan octaf 5 baris, seperti anustup dengan tambahan 1 baris.
  1. Panktyuttara : sebuah metrum yang pada bagian akhirnya sama dengan pankti: 5 + 5 suku kata.
  1. Pipilikamadhya : sebuah metrum yang ada pada baris di tengah-tengah lebih pendekan dengan sebelum dan sesudahnya.
  1. Pragatha : sebuah metrum dalam Mandala VIII (Rgveda), terdiri dari semacam bait yang merupakan kombinasi duah buah mantram, yaitu sebuah Brhati atau Kakup diikuti oleh sebuah satobrhati.
  1. Prastarapankti : sebuah metrum terdiri dari 40 siku kata : 12 +12+8+8.
  1. Prastistha : sebuah metrum terdiri dari 4 baris dan masing-masing baris terdiri dari 4 suku kata; juga sebuah variasi dari Gayatri terdiri dari 3 baris masing-masing baris terdiri dari 8, 7dan 6 suku kata.
  1. Purastadbrhati : sebuah variasi dari Brhati dengan 12 suku kata pada baris pertama.
  1. Pura-usnih : sebuah metrum terdiri dari tiga baris, masing-masing baris terdiri dari 12+8+8 suku kata.
  1. Sakvari : sebuah metrum terdiri dari 4 baris masing-masing baris terdiri 14 suku kata.
  1. Satobrhati : sebuah metrum terdiri dari 4 baris, baris ganjilnya terdiri dari 12 suku kata dan baris genapnya 8 suku kata : 12+8+12+8=40.
  1. Skandogriva : terdiri dari 4 baris, kecuali baris kedua 12 suku kata, yang lainnya 8 suku kata: 8+12+8+8.
  1. Tanusira : terdiri dari 3 baris, baris pertama dan kedua 11 suku kata dan yang ketiga 6 suku kata: 11 +11+6.
  1. Tristup atau tristubh : sebuah metrum terdiri dari 4 baris masing-masing terdiri dari 11 suku kata.
  1. Upanistadbrhati: terdiri dari 4 baris, baris pertama terdiri dari 12 suku kata sedang yang lain 8 suku kata: 12+8+8+8.
  1. Uparistajjyotis: sebuah tristup pada baris terakhirnya hanya terdiri dari 8 suku kata.
  1. Urdhvabbrhati: sebuah variasi dari brhati.
  1. Urobrhati : sebuah variasi dari brhati : 8 +12+8+8 suku kata.
  1. Usniggarbha: sebuah Gayatri yang masing-masing barisnya terdiri dari, baris pertama 6, baris kedua 7 dan baris ketiga 11 suku kata.
  1. Usnih: terdiri dari 3 baris masing-masing: 8+8+12 suku kata.
  1. Vardamana: sebuah variasi/bentuk lain dari Gayatri: 6+7+8= 21 suku kata.
  1. Viparita : sebuah metrum yang terdiri dari 4 baris serupa dengan vistarapankti.
  1. Viradrupa : sebuah metrum tristup yang terdiri dari 4 baris: 11+11+11+7 atau 8 suku kata.
  1. Viratpurva : sebuah variasi dari tristup.
  1. Viratsthana: sebuah variasi dari tristup.
  1. Visamapada : sebuah metrum yang susunnya tidak genap.
  1. Vistarabrhati : sebuah bentuk lain dari Brhati terdiri dari 4 baris, masing-masing baris terdiri dari 8 suku kata pada yang pertama dan terakhir dan 12 baris dua dan tiga: 8+12+12+8= 40 suku kata.
  1. Yavamadhya : sebuah metrum terdiri dari tiga baris, yang ditengah – tengah lebih panjang di antara 2 yang pendek, yang pertama dan ketiga.

  • 3 Conbtoh ‘Chanda’ atau Metrum dalam Veda.
  1. Metrum Veda yang terdiri dari 8 suku kata
  • Gayatri , terdiri dari 3 baris (24 suku kata)

Agnim ile purohitam/

yajnasya devam rtvijam/

hotaram ratnadhatamam//

  • Anustubh terdiri dari 4 baris (32 suku kata) dibagi menjadi dua perhentian

A yaste sapirasute/

agne sam asti dhayase//

Aisu dyumnam uta sravah/

a cittam martyesu dhah//

  1. Metrum yang terdiri dari 11 suku kata :

Tristubh terdiri dari 4 baris dengan 11 suku kata pada setiap baris menjadi 2 perhentian. Metrum ini adalah yang paling umum dalam Rgveda.

Adityaso aditir madayantam/

mitro aryama varuno rajisthah//

Asmakam santubhuvanasya yopah/

pibantu soman avase no adya//

  1. Metrum yang tiap baris terdiri dari 12 suku kata :

Jagati terdiri dari 4 baris dengan masing-masing baris terdiri dari 12 suku kata, dibagi menjadi 2 perhentian.

Ananudo vrsabho dodhato vadhah/

gambhira rsvo asam astakavyah//

Radhracodah snathano vilitas prthur/

indrah suyajna usasah svar janat//

 

  1. Metrum yang terdiri dari 28 suku kata dengan 3 variasi :
  2. Usnih : 8 + 8 + 12

Agne vajasya gomatah/

isanah sahaso yaho//

Asme dhehi jatavedo mahi sravah//

 

  1. Purausnih : 12 + 8 + 8

Apsva antar amrtam apsu bhesajam/

apam uta prasastaye//

deva bhavata vajinah//

 

  1. Kakubh: 8 + 12 + 8

Adha hi indra girvanah/

upa tva kaman mahah sasrjmahe//

Udeva yanta udabhih//

 

  1. Metrum yang terdiri dari 36 suku kata yang terdiri dari 4 baris dan dibagi kedalam 2 perhentian

Brhati : 8 + 8 + 12 + 8

Sacchibir nah sacivasu/

Deva naktam dasasyatam//

Ma vam ratir upa dasat kada cana/

Asmad ratih kada cana//

  1. Metrum yang terdiri dari 40 suku kata terdiri atas 4 baris dibagi atas dua perhentian.

Satobrhati : 12 + 8 + 12 + 8

Yanaso agnim dadhire sahovrdham/

Havismanto vidhema te//

Sa tvam no adya sumana ihavita/

Bhava vajesu santya//

  1. Metrum yang terdiri dari 60 suku kata yang dibangun atas 3 baris-baris gayatri dan 1 jagati.

Atisakvari : 8 + 8 + 8 + 8 + 8 + 12 + 8

Susuma yatam adribhih/

gosrita matsara ime/

somaso matsara ime//

A rajana’ divisprsa/

asmatra gantam upa nah//

Ime vam mitra varuna gavasirah/

somah sukra gavasirah//

  1. Metrum yang terdiri atas 68 suku kata yang terdiri dari 4 baris gayatri dan 3 jagati.

Atyasti : 12 + 12 + 8 + 8 + 8 + 12 + 8

Sa no nedistham dadrsana a bhara/

agne devebhih sacanah sucetuna/

Maho rayah sucetuna//

Mahe savistha nas kridhi/

samcakse bhuje asyai//

Mahi stotrbhyo maghavan suviryam/

mathir ugrona savasa//

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Siwaisme yang berkembang di India merupakan asal mula Agama Hindu. Berawal dari kelahiran dan perkembangan paham Siwaisme di daerah Jammu dan Khasmir, disekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu & Khasmir terdapat sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kelahiran paham Siwaisme di India, dan wilayah luar India, salah satunya Indonesia.

Arti kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata Siddhanta bermakna ajaran agama. Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Wedanta.

Selanjutnya bagaimana paham Saiva di Indonesia, dan di Bali khususnya? Siwaisme yang eksis di Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Buana Kosa. Buana Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu sumber pembangkit spiritual umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Karena Buana Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, terutama Saiva Siddhanta yang berkembang pesat di India selatan. Buana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu di Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci (pandita atau sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali, sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di Indonesia.

Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Saiva siddhanta. Beberapa sumber yang dimaksud adalah Bhuwana kosa,Wrhaspati tattwa,Tattwa Jnana,Ganapati tattwa,bhuwana Sang Ksepa,Siwa Tattwa Purana,Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Masih diperlukan banyak kajian mengenai Saiva Siddhanta yang diajarkan dalam susastra Hindu di Bali. Dari sekian banyak teks atau susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva Siddhanta.

Dari segi isinya bahwa ajaran Saiva Siddhanta ada disuratkan dalam bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Bali, dan ada juga yang diterjemahkan artinya dalam bahasa Indonesia. Penerapan ajaran Saiva Siddhanta di Bali sesungguhnya telah kental diterapkan dalam kehidupan masyarakat beragama hindu di Bali sejak dahulu. Hal ini terlihat dari segi penerapannya di desa adat atau desa pakraman yang ada di Bali. Melalui pemujaan, persembahan, kegiatan ritual, dan sebagainya menampakan bahwa Saiva Siddhanta sangat dipahami dan diterapkan dengan baik oleh umat Hindu di Bali.

  • Rumusan Masalah
  1. Bagaiamana perkembangan mazab Siva Siddhanta?
  2. Siapa saja tokoh penyebar Siva Siddhanta di Indonesia?
  3. Apa itu ajaran Siva Siddhanta Dualis?
  • Manfaat Penulisan
  1. Untuk mengetahui perkembangan mazab Siva Siddhanta.
  2. Untuk mengetahui tokoh penyebar ajaran Siva Siddhanta.
  3. Untuk mengetahui ajaran Siva Siddhanta Dualis.
  • Tujuan Penulisan

         Memberi tahu para pembaca tentang perkembangan Siva Siddhanta dari India sampai ke Indonesia, kemudian samapai di Bali beserta para tokoh-tokoh penyebar aliran tersebut dan memberi tahu para pembaca tentang salah satu ajaran dari Siva Siddhanta, yakni alaran Siva Siddhanta Dualis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Mazab Siva Siddhanta

            2.1.1 Siva Siddhanta di India

Sekta Siwa Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang popular di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siva Siddhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Siddhanta artinya kesimpulan sehingga Siva Siddhanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas. Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Siddhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok/intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda.

2.1.2 Siva Siddhanta di Indonesia

Ada tujuh maha rsi yaitu: Grtasamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Para Rsi inilah yang menerima wahyu Weda di India. Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte yang jumlahnya ratusan. Sekte Siwa Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya, kemudian disebarkan ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari pesraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu. Trinawindu di Bali disebut dengan Bhatara Guru, tapi ini hanya sebuah gelar Rsi Agastya di Bali.

Di Indonesia Mazab Siva Siddhanta datang pada abad ke-4 M di Kutai dibawah oleh Rsi Agastya dari benares India. Terdapat 7 yupa dengan huruf sansekerta. Jawa barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut koebon kopi). Jawa tengah terdapat kerajaan Kalianga tahun 618-906 M rajaya ratu Sima terdapat prasasti bahasa Sansekerta bergambar Tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada abad -7 mulai adanya perkembangan Buddha Mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahun 654 mendirikan Lingga disebut prasasti cangkal (Subagiasta, 2006:10).

Setelah itu banyak bermunculan candi Buddha seperti candi kalasan, Borobudur. Kerajaan Kanjuruan rajanya Dewasima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja Trimurti. Kerajaan Kediri tahun 1042-1222 rajanya Kameswara. Kerajaan Singhasari tahun 122-1292 rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan banyak candi. Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikamawardhana masa jayana Siva Siddhanta. Kerajaan pajajaran rajanya Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabu Ratu Dewata (Subagiasta, 2006:13).

2.1.3 Siva Siddhanta di Bali

Salah satu murid Maha Rsi Agastya adalah Maha Rsi Markandeya yang membawa ajaran Weda/Siwa di Indonesia. Pada saat ke Indonesia Maha Rsi Markandeya mendapatkan pencerahan di gunung Di Hyang (sekarang disebut dengan gunung Dieng) di gunung Dieng Beliau Rsi Markandeya mendapatkan pawisik agar membuat pelinggih di Tohlangkir (sekarang disebut Besakih) dan harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah delima.

            Setelah itu Maha Rsi Markandeya menetap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutinya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda. Setelah itu Maha Rsi Markandeya mentap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali.

Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda.

Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemralina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan Paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.

2.2 Tokoh Penyebar Siva Siddhanta

Pengawi dan ahli weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Siddhanta meliputi tiga kerangka agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai keempat belas yaitu:

  • Danghyang Markandeya

Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan pelinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegallalang Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Siddhanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk memohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

  • Mpu Sangkulputih

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanaan peringatan hari piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya: Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Abatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

  • Mpu Kuturan

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali, yakni Mpu Kuturan. Pada saat itu Beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol pelinggih kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

  • Mpu Manik Angkeran

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.

  • Mpu Jiwaya

Beliau menyebarkan agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dan lain-lain.

  • Danghyang Dwijendra

Datang di Bali pada abad ke-14 dari Desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain: Mpu/ Danghyang Nirarta, dan dijuluki: Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat Pakraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja Beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya: Purancak, Rambut Siwi, Pakendungan, Hulu Watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pengajengan, Masceti, Peti Tenget, Amartasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dkll. Keenam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu diluar Bali, karena di Bali sesungguh Siwa Siddhanta dan Buddha kasogatan menjadi satu dalam keseharian hidup dan ritual orang Bali.

2.3    Siva Siddhanta Dualis

Siwa Siddhanta Dualis merupakan aspek dari aliran Siwa Siddhanta Saivaisme, yang mengakui Authoritas 28 Saivagama. Apabila kita bandingkan dengan sistem filsafat India lainnya, kita mendapatkan bahwa ia memiliki dasar yang berbeda denga Vaisesika, Nyaya, Samkhya dan Vedanta.

Teori metafisika dari Siva Siddhanta dualis berbeda dengan teori Vaisesika dan ia mampu menerima teori evolusi yang sama seperti dalam sistem filsafat Samkhya. Ia memandang bahwa maya berkembang meninggalkan keadaan yang pertama untuk memasuki keadaan yang berikutnya. Sedangkan Karma menurut Siva Siddhanta Dualis merupakan sifat dari Budhi dan bukan sifat dari atmanseperti pendapat dari Vaisesika, karena mengakui karma sebagai sifat dari atman merupakan pengakuan bahwa atma tidak abadi, karena adanya perubahan, yang disebabkan oleh perubahan karma. Demikian pula halnya dengan Kala, yang menurut Siva Siddhanta Dualis tidak abadi , karena ia tak berjiwa dan banyak, seperti waktu yang lalu, sekarang dan yang akan datang, namun vaisesika mengakui bahwa “waktu itu adalah kekal”. Ia tidak mengakui adanya atom-atom abadi, seperti yang dilakukan oleh vaisesika dan nyaya, karena menurut Siva Siddhanta Dualis, semua yang memiliki kejamakan dan tidak memiliki jiwa merupakan hal yang tidak kekal.

2.3.1 Perbedaan Siva Siddhanta Dualis Dengan Filsafat Samkhya

Perbedaan Siva Siddhanta Dualis dengan sistem filsafat samkhya adalah sebagai berikut :

  1. Siva Siddhanta Dualis yang mengakui bahwa purusas atau pribadi merupakan keberadaan murni asli (puspakarapalasa-vannirlepah) seperti yang dipakai oleh filsafat Samkhya. Ia menyatakan bahwa diri pribadi memiliki ketidak murnian yang tanpa awal, karena dengan cara lain pengalaman empiris yang disebabkan kecenderungan untuk menikmati, tak dapat dijelaskan. Sistem Samkhya tak dapat mengatakan bahwa kecenderungan untuk menikmati disebabkan oleh raga atau keterikatan, karena keterikatan (raga) itu dapat berfungsi dalam hubungan terhadap sang diri saja yang tidak murni.
    1. Purusa, yang dipersamakan dengan refleksinya, jatuh apad budhi.
    2. Budhi, yang menerima pantulan dari purusa dai dalam serta pantulan benda dari luar.
    3. Pantulan benda pada Buddhi
    4. Ahamkara, merupakan hal yang bertanggug jawab guna penyatuan dua pantulan dari subjek & objek, guna mengidentifikasi pantulan subjek dengan subjek itu sendiri, guna mencapai penyatuan subjek dan objek untuk tujuan prakis, dan guna memunculkan kesadaran “aku mengetahui ini”.Konsepsinya tentang Bhoga juga berbeda dengan Samkhya. Bhoga melibatkan 4 hal, yaitu :

Adapun prosesnya adalah ang pertama Budhi menerima pantulan dari objek yang berasal dari luar dan pantulan dari subjek (purusa) berasal dari dalam selanjutnya Ahamkara mempersatukannya sehingga kedua pantulan tersebut menjadi satu maka objek menjadi bersinar yang disebabkan oleh pantulan subjek yang merupakan titik puncak proses tersebut yang disebut jnana.

Siva Siddhanta Dualis menolak penyamaan roh pribadi dengan sang diri semesta bahwa roh pribadi jumlahnya tidak terhitung. Dengan demikian terdapat tiga kategori Siva Siddhanta Dualis yaitu Maya atau mahamaya, purusa dan Siva yang juga dapat dikatakan sebagai pati, pasu, dan pasa dimana pati sebagai pengganti Siva, pasu sebagai pengganti purusa, dan pasa sbagai pengganti maya atau mahamaya. Pati terbagi menjadi siva, sakti, mantra-mahesa, mantresa, dan mantra. Sedangkan Pasu terbagi menjadi Vijnanakala, pralayakala, dan sakala. Sedangkan Pasa terbagi menjadi mala, rodhasakti, karma, maya, dan bindu.

Daya-daya dari Siva (pati) meliputi:

  1. Daya pengetahuan (jnana sakti) yang berhuungan dengan bindu yang abadi
  2. Daya kegiatan (kriya sakti)
  3. Daya kehendak (iccha sakti)
  4. Daya penciptaan (srsti sakti)
  5. Daya pemeliharaan (sthiti sakti)
  6. Daya penghancuran (samhara sakti)
  7. Daya pengaburan atau menyelubungi (trobhawa sakti)
  8. Daya pemberi anugrah (anugraha sakti)

Lima kegiatan Tuhan (panca kriya) yaitu, srsti, sthiti, samhara, tirobhawa, dan anugraha, yang secara terpisah diaggap sebagai kegiatan dari Brahman, Visnu, Rudra, Maheswara, Sadasiva.

Sedangkan pasa memiliki pembagian yaitu:

  1. Mala sebagai belenggu yang pertama yang tidak memiliki awal
  2. Maya yaitu kekeliruan
  3. Karma yaitu nasib masa lalau atau perbuatan masa lalu
  4. Nirodhasakti yaitu ketergantungan
  5. Bindu yaitu ketidak murnian.

2.3.2    Hubungan Siva Siddhanta Dualis Dengan Pasupata Dualis

Siwa Siddhanta Dualis juga dibedakan dengan Pasupata Dualis dimana Pasupata Dualis menerima 5 kategori awal, yaitu Karana, Karya, Yoga, Widhi, Duhkhantar. Tetapi Siva Siddhanta Dualis hanya menerima 3 kategori saja, yaitu Pati, Pasu, Pasa. Tampak bahwa Siva Siddhanta Dualis dipengaruhi oleh pasupata yang tampaknya lebih awal adanya karena Siva Siddhanta Dualis tampaknya meminjam konsep ‘Karana’ sebagai ‘Pati’, karena tidak ada perbedaan konsepsual antara karana dan pati dimana yang membedakannya hanya dalam masalah kata saja dan juga karena didalam pasupata sutra oleh lakulisa kita menemukan kata ‘pati’ yang dipergunakan untuk menyebut ‘karana’.

Siva Siddhanta Dualis menerima teori metateori metafisika dari Pasupata, yakni bahwa penyebab material berbeda dengan penyebab efisien tetapi ia mengadakan perbaikan pada konsepsi tentang pembebasan, karena sementara terjadi pembebasan menurut pasupata yang mengandung akhir dari segala penderitaan. Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hal itu merupakan pencapaian kesamaan, yang berkaitan dengan daya-daya pengetahuan dan kegiatan dengan jiwa.

2.3.3    Konsep Siva Siddhanta Dualis

Konsep Siva Siddhanta Dualis tentang kategori sangat dekat sekali hubungannya dengan konsepsinya tentang pemusnahan semesta dan ia berpendapat bahwa satu kategori adalah sesuatu yang ada meskipun terjadi pemusnahan semesta dan merupakan kondisi, langsung maupun tidak langsung, dari segala pengalaman empiris maupun non-empiris. Dan pemusnahan semesta adalah dimana segala sesuatu yang merupakan hasil dari maya atau mahamaya bergabung kembali kedalam penyebab materialnya dan memiliki keberadaan disana dalam keadaan yang tak terbedakanbaik kesatuannya yang merupakan kemungkinan saja dari keanekaragaman ini. ia mengakui bahwa penciptaan itu ada 2 macam, yaitu: (1) Yang murni (suddha), (2) Yang tidak murni (asuddha), dan maya juga ada 2 macam yaitu satu yang merupakan hasil, berupa kondisi yang diperlukan dari pengalaman empiris dan disebut maya saja. Sedangkan hasil yang lain berupa kondisi yang sama yang diperlukan bagi pengalaman transendental yang merupakan subjek transedental. Karena hal itu ia yang berpendapat bahwa para pemusnahan semesta semua yang menyusun kondisi material dari suatu pengalaman, bergabung kembali ke dalam sakti, yang merupakan salah satu kategori yang bebas, dimana kita akan menulis dalam konteks yang sesuai yaitu bergabung ke dalam mahamaya. Jadi, Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hanya terdapat 3 kategori awal, yaitu 4 Maya atau mahamaya, 2 purusa, dan 3 siva.

Selanjutnya aliran Siva Siddhanta Dualis juga membagi jiwa atau pasu menjadi 3 keadaan yaitu: vijanakala, pralayakala, dan sakala. Pada vijanakala sang roh hanya memiliki anavamada (keakuan) dimana maya dan karma telah terlepaskan. Pada pralayakala mereka hanya terbatas dari maya saja pada tahapan pralaya sedangkan sakala semua cacat atau ketidakmurnian masih ada. Mala-mala tersebut berpengaruh pada jiva atau roh dan bukan pada Siva. Ketiga belenggu dapat dilepaskan hanya melalui tapas yang ketat disiplin yang kerasa bantuan seorang guru diatas semuanya adalah karunia dari Siva. Carya (penyelidikan), kriya (upacara), dan yoga menyusun disiplin tersebut dan dengan pelaksanaan yang sungguh-sungguh ia mendapatkan karunia dari Siva, sehingga roh-roh dapat mewujudkan hakekatnya sebagai Siva (jnana).

Disiplin dan karunia memuncak dalam jnana yang merupakan pelepasan tertinggi atau pencapaian kebahagiaan akhir karma dan cara-cara lainnya hanya merupakan tambahan atau pembantu. Pencapaian sivatva atau hakekat jiwa bukan dimaksudkan penggabungan sepenuhnya antara roh dengan Siva karena roh yang terbebas tidak kehilangan kepribadiaanya, sivatva merupakan realisasi dari identitas inti walaupun berbeda. Roh mencapai hakekat Tuhan atau Siva, tetapi dirinya bukanlah Siva atau Tuhan. Konsep Moksa yang diakui Siva Siddhanta Dualis ada 2, yaitu para moksa dan apara moksa atau pembebasan yang lebih tinggi dan pembebasan lebih rendah.

BAB III

PENUTUP

  • Kesimpulan

Jadi Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hanya terdapat 3 kategori awal yaitu Maya, Purusa dan Siva ( atau pati pasu pasa) dimana pati sebagai pengganti Siwa, pasu sebagai pengganti Purusa dan pasa sebagai pengganti Maya atau mahamaya. Pati atau Siva sebagai kategori pertama yang bebas merup[akan penguasa ternak, yang maksudnya adalah segala penguasa makhluk hidup atau segala sesuatunya sehingga dapat dikatakan sebagai maha kuasa. Ia mersapi segalanya, abadi. Tanpa awal dan tanpa akhir. Bebas dari segala kekotoran, bebas dari segala sebab akibat, yang tetap tak berubah meskipun Ia menciptakan alam semesta ini, seperti matahari yang menyebabkan mekarnya kuncup-kuncup kembang teratai. Ia menciptakan dunia objektif yang terbatas ini, yang berasal dari penyebab material, yaitu maya, dengan daya kekuatanhya yang disebut sakti, sebagai penyebab instrument.

 

Daftar Pustaka

 

Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita

Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita

Pasek Gunawan, I Ketut. 2012. Siva Siddhanta, Tattwa dan Filsafat. Surabaya: Paramita

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling

1. Pengertian Konseling
1. Menutut Cavanagh
Konseling merupakan hubungan antara seorang penolong yang terlatih dan seseorang yang mencari pertolongan, di mana keterampilan si penolong dan situasi yang diciptakan olehnya menolong orang untuk belajar berhubungan dengan dirinya sendiri dan orang lain dengan terobosan-terobosan yang semakin bertumbuh.
2. Menurut Pepinsky
Merupakan interaksi yang terjadi antara dua orang individu ,masing-masing disebut konselor dan klien. Konseling terjadi dalam suasana yang professional, dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudah kan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien
3. Menurut Smith
Konseling merupakan suatu proses dimana konselor membantu konselor membuat interprestasi- interprestasi tetang fakta-fakta yang berhubungan dengn pilihan,rencana,atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuat.
4. Menurut Mc. Daniel
Konseling merupakan suatu pertemuan langsung dengan individu yang ditujukan pada pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan dirinya secara lebih efektif dengan dirinya sendiri dan lingkungan.

5. Menurut Berdnard & Fullmer
Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan,motivasi,dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketige hal tersebut.

2. Pengertian Bimbingan
1. Menurut Miller
Bimbingan sebagai proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di sekolah, keluarga dan masyarakat.
2. Menurut United States Office of Education
Bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk memberikan bantuan secara sistematis kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian diri terhadap berbagai bentuk problema yang dihadapinya, misalnya problema kependidikan, jabatan, kesehatan, sosial dan pribadi.
3. Menurut Djumhur dan Moh. Surya
Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
4. Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.

Setelah menguraikan beberapa definisi tentang bimbingan dan konseleing, dapat disimpulkan bahwa definisi Bimbingan dan Konseling (BK) adalah serangkaian kegiatan berupa bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada konseli dengan cara tatap muka, baik secara individu atau beberapa orang dengan memberikan pengetahuan tambahan untuk mengatasi permalahan yang dialami oleh konseli, dengan cara terus menerus dan sitematis.

2.2 Pengertian Psikologi Pendidikan
1. Menurut Arthur S. Reber
Psikologi pendidikan adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut
a. Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas
b. Pengembangan dan pembaharuan kurikulum
c. Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan
d. Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif
e. Penyenggaraan pendidikan keguruan
2. Menurut Barlow
Psikologi pendidikan adalah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang menyediakan serangkaian sumber-sumber untuk membantu anda melaksanakan tugas-tugas seorang guru dalam proses belajar mengajar secara efektif.
3. Menurut Tardif (Syah, 1997 / hal. 13)
Psikologi pendidikan adalah sebuah bidang studi yang berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha kependidikan.
4. Menurut Witherington
Psikologi pendidikan sebagai “ A systematic study of process and factors involved in the education of human being. Psikologi pendidikan adalah studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.


2.3 Latar Belakang Psikologi dalam Bimbingan Konseling

Dalam proses pendidikan di sekolah, siswa sebagai subjek didik merupakan pribadi-pribadi yang unik dengan segala karakter yang beragam. Siswa sebagai individu yang dinamis dan sedang berada dalam proses perkembangan, memiliki kebutuhan dan dinamika dalam interaksinya dengan lingkungan. Sebagai pribadi yang unik, terdapat perbedaan individuan antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Disamping itu, siswa sebagai pelajar senantiasa terjadi adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil proses pembelajaran.
Hal tersebut diatas merupakan beberapa aspek psikologis dalam pendidikan yang bersumber pada siswa sebagai subjek didik dan dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Timbul permasalahan psikologis menuntut adanya upaya pencegahan melalui pendekatan psikologis pula. Upaya ini dilakukan melalui layanan bimbingan dan konseling.
Berikut adalah permasalahan yang dibahas pada latar belakang psikologis dalam bimbingan konseling :
1. Masalah perkembangan individu.
2. Masalah perbedaan individu
3. Masalah kebutuhan individu
4. Masalah penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku
5. Masalah belajar

2.4 Masalah Belajar
Aktifitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat terkadang tinggi, tetapi terkadang juga sulit mengadakan konsentrasi. Keadaan murid tidak dapat belajar sebagaimana mestinya disebut “kesulitan belajar”. Aktivitas mempelajari bahan belajar tersebut memakan waktu. Lama waktu mempelajari tergantung pada jenis dan sifat bahan. Lama mempelajari juga tergantung pada kemampuan siswa. Jika bahan belajarnya sukar, dan siswa kurang mampu, maka dapat diduga bahwa proses belajar memakan waktu lama. Sebaliknya, jika bahan belajar mudah dan siswa berkemampuan tinggi maka proses belajar memakan waktu singkat. Aktivitas belajar tersebut dapat diketahui oleh guru dari perlakuan siswa terhadap bahan belajar.
Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah perlakuan yang diterima anak yang mengalami kesulitan belajar dari orang tua dan guru yang tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, sehingga mereka memberikan label kepada anak mereka sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal.Seharusnya siswa yang mengalami kesulitan belajar tersebut dibantu mengentaskan masalahnya agar dapat berkembang secara optimal. Disinilah peran BK sangat dibutuhkan oleh siswa tersebut.


2.4.1 Pengertian Masalah Belajar

Belajar menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar dapat didefinisikan “Belajar ialah sesuatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
“Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh murid dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan”. Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan dirinya yaitu berupa kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan dengan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh murid-murid yang lambat saja dalam belajarnya, tetapi juga dapat menimpa murid-murid yang pandai atau cerdas. Dalam interaksi belajar mengajar ditemukan bahwa proses belajar yang dilakukan oleh siswa merupakan kunci keberhasilan belajar. Proses belajar merupakan aktivitas psikis berkenaan dengan bahan belajar.

2.4.2 Gejala Kesulitan Belajar
1. Menunjukkan prestasi yang rendah/di Bawah rata-rata yang dicapai oleh kelompok kelas
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan. Ia berusaha dengan keras tetapi nilainya selalu rendah.
3. Lambat melaksanakan tuga-tugas belajar. Ia selalu tertinggal dengan kawan-kawannya dalam segala hal, misalnya dalam mengerjakan soal-soal latihan.
4. Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh, berpura-pura dusta.
5. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan, misalnya mudah tersinggung, murung, pemarah, bingung, cemberut, kurang gembira, selalu sedih.

Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurutnya siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater).

2.4.3 Jenis-jenis Masalah Belajar

Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya. Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.
1. Learning Disorder atau kekacauan belajar
Kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

2. Learning Disfunction
Ini merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.

3. Under Achiever
Hal ini mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

4. Slow Learner
Lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5. Learning Disabilities
Ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

2.4.4 Faktor Penyebab Masalah Belajar
Masalah kesulitan belajar ini, tentunya disebabkan oleh berbagai faktor. Untuk memberikan suatu bantuan kepada anak yang mengalami masalah belajar, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu faktor apa yang menjadi penyebab munculnya masalah belajar. Pada garis besarnya faktor-faktor timbulnya masalah belajar pada murid dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu:
1. Faktor-faktor internal (faktor-faktor yang berada pada diri murid itu sendiri), antara lain:
a. Gangguan secara fisik, seperti kurang berfungsinya organ-organ perasaan, alat bicara, gangguan panca indera, cacat tubuh, serta penyakit menahun.
b. Ketidakseimbangan mental (adanya gangguan dalam fungsi mental), seperti menampakkan kurangnya kemampuan mental, taraf kecerdasan cenderung kurang.
c. Kelemahan emosional, seperti merasa tidak aman, kurang bisa menyusuaikan diri (maladjusment), tercekam rasa takut, benci dan antipati, serta ketidak matangan emosi.
d. Kelemahan yang disebabkan oleh kebiasaan dan sikap yang salah, sperti kurang perhatian dan minat terhadap pelajaran sekolah malas dalam belajar, dansering bolos atau tidak mengikuti pelajaran.

2. Faktor-faktor eksternal (faktor-faktor yang timbul dari luar diri individu), yaitu berasal dari:
a. Faktor yang berasal dari lingkungan sekolah, antara lain :
• Sifat kurikulum yang kurang fleksibel
• Terlalu berat beban belajar (murid) dan untuk mengajar (guru)
• Metode mengajar yang kurang memadai
• Kurangnya alat dan sumber untuk kegiatan belajar.
b. Faktor yang berasal dari lingkungan keluarga (rumah), antara lain:
• Keluarga tidak utuh atau kurang harmonis
• Sikap orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya
• Keadaan ekonomi.

2.4.5 Peran Konselor dalam Mengatasi Masalah Belajar Siswa

Bimbingan belajar merupakan upaya konselor untuk membantu siswa yang mengalami masalah dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut :

1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :

a. Call them approach
Melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
b. Maintain good relationship
Menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
c. Developing a desire for counseling
Menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
d. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
e. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.

2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek :
1. Substansial – material
2. Struktural – fungsional
3. Behavioral
4. Personality.
Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek :
1. Jasmani dan kesehatan
2. Diri pribadi
3. Hubungan sosial
4. Ekonomi dan keuangan
5. Karier dan pekerjaan
6. Pendidikan dan pelajaran
7. Agama, nilai dan moral
8. Hubungan muda-mudi
9. Keadaan dan hubungan keluarga
10. Waktu senggang.

3. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor-faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu :

1. Faktor internal
Faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya.
2. Faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

4. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.

5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.

6. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.

BAB III
PENUTUP

3.1 Metode Penulisan

Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh murid dan menghambat kelancaran proses belajarnya, oleh karena itu masalah-masalah belajar harus diselesaikan sedini mungkin.
Belajar menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar dapat didefinisikan “Belajar ialah sesuatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Konselor memiliki peran yang penting dalam membantu siswa dalam mengentaskan masalah belajarnya , karena layanan Bimbingan dan Konseling membantu memberikan hal-hal positif kepada peserta didik, meringankan beban, mendorong semangat dan memberikan penguatan, memberikan alternatif dan kesempatan, memberikan pencerahan dan kesejukan, serta mendorong dan membela terwujudkannya hak dan kepentingan serta kewajiban peserta didik dan cara yang tepat sehingga peserta didik dapat berkembang secara optimal.

index

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Perkawinan adalah adanya ikatan antara dua orang, pria dan wanita secara lahir bathin, bertujuan membentuk rumah tangga bahagia.
Perkawinan berhubungan erat dengan agama, Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tapi juga rohani
Wiwaha identik dengan upacara yadnya menyebabkan hukum hindu juga sebagai dasar persyaratan dalam pelaksanaan perkawinan.
Legalnya upacara perkawinan harus ditandai dengan pelaksanaan ritual, yaitu upacara wiwaha minimal upacara byakala.
Perkawinan dianggap sah bila ada saksi.
Dalam Upacara wiwaha, terdapat tri upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi dan Butha Saksi.
Usai melaksanakan Upacara Byakala, Kedua pasangan resmi sebagai Suami-Istri (Dampati).
perceraian sebagai putusnya hubungan perkawinan secara hukum yang disebabkan pada hubungan pernikahan yang tidak berjalan dengan baik yang biasanya didahului oleh konflik antar pasangan suami istri yang pada akhirnya mengawali berbagai perubahan emosi, psikologis, lingkungan dan anggota keluarga serta dapat menimbulkan perasaan yang mendalam.
cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna, 1999¬).
Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.

<strong>1.2 Rumusan Masalah</strong>
1. Apa itu pengertian perkawinan dan perceraian dalam hukum hindu di bali?
2. Bagaimana perkawinan dan perceraian hindu menurut manawadharma sastra dan sistem perkawinannya?
3. Undang-undang No. Tahun dan pasal berapa saja yang mengatur perkawinan dan perceraian yang syah menurut hukum Hindu?
<strong>
1.3 Tujuan Penulis</strong>
1. Untuk mengetahui Apa itu pengertian perkawinan dan perceraian dalam hukum hindu di bali.
2. Untuk mengetahui Bagaimana perkawinan dan perceraian hindu menurut manawa dharma sastra dan sistem perkawinannya.
3. Untuk mengetahui Undang-undang No. Tahun dan pasal berapa saja yang mengatur perkawinan dan perceraian yang syah menurut hukum Hindu.

BAB II
<strong>PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan dan Perceraian menurut Hukum Hindu Bali</strong>
Hukum hindu di Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya pasa¬ngan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama Hindu, sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian di atas, tampak jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besarkrama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
1. Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan.
2. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
• Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajurubanjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
• Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilan¬jutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memper¬oleh keputusan.
• Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.
• Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharmamantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.

<strong>2.1.1 Makna Perkawinan</strong>
Sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat Umat Hindu di Bali, kawin mengandung pengertian mirip dengan definisi yang tercantum pada pasal 1. U. U. D. No : 1 tahun 1974, yaitu ikatan lahir bathin, bahkan “ kemenunggalan pribadi” antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagian dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hanya saja perkawinan umat hindu itu mempunyai sifat-sifat tertentu selaku identitasnya suatu umat yang beragama dan berbudaya sendiri, yaitu:
a. Betapa bentuknya keluarga, serta bagaimana status suami istri masing-masing.
b. Betapa kriterianya keluarga bahagia serta apa syarat-syarat yang perlu ada pada ikatan tersebut, hingga bahagia itu diharap dapat terwujud.
c. Semuanya itu ditentukan oleh pokok keyakinan, dalam hal ini Agama Hindu sebagaimana yang hidup di Bali ini.
<strong>2.1.2 Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.</strong>
• Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinannyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakanswadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.
• Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsippedum pada (dibagi sama rata).
• Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

<strong>2.2 Perkawinan dan perceraian menurut hukum Hindu berdasakan kitab Manawa Dharma Sastra</strong>
BAB IX Sloka 59 :
Dewa radwa sapindadwa
striya samyangniyukta ya
prajepsitadhi gantawya
samtanasya parisaye.
Artinya :
Kegagalan memperoleh anak oleh seorang wanita dari suaminya, dengan secara khusus ia dapat memperoleh anak melalui levirat dengan saudara angkatnya atau saudara yang sedarah dengan suaminya.
Penjelasan :
Berdasarkan ayat ini suami dapat menguasakan istrinya atau setelah mati suaminya kepada sanak keluarga suaminya.
Sapinda = satu ikatan keluarga yang terikat dalam satu pinda yang dalam sistem kekeluargaan sapinda ini dihitungtiga ke atas dan tiga ke bawah jika ditarik garis lurus dalam kelompok kekeluargaan itu disebut sapinda. Atas kuasa Undang Undang untuk memperoleh anak laki laki itu suami dapat menguasakan istrinya. Ayat ini yang sering dijadikan landasan untuk melakukan perkawinan levirat atau untuk angkat sentanan atau merubah status anaknya yang perempuan sebagai status anak laki laki dengan berakibat kawin.
Demikian Kitab Manawa Dharma sastra Bab IX sloka 59.
Selanjutnya Kitab Manawa Dharma sastra Bab IX Sloka 68 :
Tatah prabhrti yo mohat
pramita patikam striyam
niyojayatyampatyartham tam wigarhanti sadhwah

Artinya :
Sejak waktu itu, orang orang bijaksana melakukan perkawinan levirat dengan wanita yang suaminya telah meninggal dunia hanya karena untuk memperoleh anak laki laki dari lelaki lainnya.
Selanjutnya pada BAB IX Sloka 72 dinyatakan :
Widhiwatparati grhyapi tyajed
kanyam wigarhitam
wyadhitam wipra dustam
wa chadmana copapaditam
Artinya :
Walaupun seorang laki laki mungkin telah menrima seorang gadis / dikawini sesuai menurut hukum, ia boleh meninggalkannya bila ia cacad berpenyakit atau telah diperkosa dan itupun bila telah diberikan dengan tipu daya.
Penjelasan :
Cacad, misalnya memiliki cacad dalam tubuh atau tanda tanda yang dapat dianggap tidak baik atau misalnya karena turunan dari orang yang tidak layak atau keluarga hina.
Demikian, sebaikanya sebelum menikah harus diperiksakan terlebih dahulu ke dokter seperti yang dilakukan oleh kaum Islam.
Manawa Dharma Sastra Bab IX Sloka 77 :
Samwatsaram pratikseta
dwisantim yositam patih,
urdhwam samwatsarattwenam
dayam khrtwana samwaset.
Artinya :
Hendaknya suami bertahan selama satu tahun terhadap istri yang membencinya, tetapi bila waktu itu telah lewat, ia boleh berbagi harta dan bercerai dari padanya.
Penjelasan :
Harta miliknya yaitu barang barang atau benda benda yang diberikan kepada istrinya olehnya (Medhaditi), Nanda) yang di dalam kitabnya Narayana disebut dengan istilah stridhana yaitu harta benda yang diberikan olehnya tetapi terpisah daro harta campuran dan bukan merupakan barang bawaan dari keluarganya sendiri.
Manawa Dharma Sastra BAB IX Sloka 81 :
Bandhastame dhiwedyambde
dacame tu mrtappraja,
ekadace strijanani sadyas twa priyawadini.
Artinya :
Wanita yang tak berketurunan dapat diganti setelah delapan tahun, ia yang anknya semua meninggal dalam sepuluh tahun, ia yang hanya mempunyai anak perempuan saja dalam waktu sebelas tahun, tetapi ia yang suka bertengkar tidak menunggu nunggu waktu lagi.

Penjelasan :
Wanita tak berketurunan artinya tak bisa punya anak (mandul ) menurut ayat ini dapat dimadu dan statusnya diganti oleh istri kedua bila telah lewat masa delapan tahun, sedangkan pernah punya anak tetapi anaknya meninggal akan diganti kedudukannya bila lewat masa sepuluh tahun, tidak berketurunan lagi tetapi ia baru punya hanya anak perempuan saja dapat dimadu setelah masa sebelas tahun. Ketentuan ini didasarkan atas hukum bahwa hanya anak laki laki sajalah yang berhak melakukan sraddha.
Manawa Dharma sastra BAB IX Sloka 82 :
Ya rogini syattu hita
sampanna caiwa cilatah
sanujnapyadhi wettawya
nawamanya ca karhicit.
Artinya :
Tetapi istri yang sakit, terhadap suaminya bertingkah laku yang baik, dapat diganti hanya dengan persetujuannya dan tidak boleh dihina.
Penjelasan :
Berdasarkan ayat ini kekecualian diberikan terhadap wanita yang setia sebagai istri tetapi karena sakit tidak dapat beranak maka penggantiannya atau pemaduannya hanya dapat dilakukan dengan persetujuannya dan berdasarkan syarat ini sola waktu tidak disebutkan dan karena itu tergantung pada pembuktian ketidak mampuannya karean sakit bila harus dilakukan sebelum waktu minimalm 8 tahun yang telah ditentukan.
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:
<strong>2.2.1 Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu</strong>
1. Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
2. Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
3. Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
4. Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
5. Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
6. Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
7. Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
8. Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.

<strong>2.3 Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hukum Hindu.</strong>
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
• Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
• Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.
minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
• Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
• Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
Demikianlah tinjauan secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang ideal menurut agama Hindu.

<strong>BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan</strong>
Hukum agama hindu di Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya pasa¬ngan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu segera disikapi.
Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besarkrama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA
I Gst. Ketut Kaler
Windia, Wayan. P. 2008. Tanya Jawab Hukum Adat Bali. Denpasar: Majelis Utama Desa Pakraman.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita
http://www.Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman Bali(MUDP).com
:www.dharmavada.wordpress.com
<div id=”__if72ru4sdfsdfrkjahiuyi_once” style=”display: none;”></div>
<div id=”__if72ru4sdfsdfruh7fewui_once” style=”display: none;”></div>
<div id=”__hggasdgjhsagd_once” style=”display: none;”></div>