Arsip untuk Januari, 2015

BAB I

PENDAHULUAN

Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia yang kita sebut “filosofis” dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsepsi-konsepsi religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang biasa disebut “ilmiah” dalam pengertian yang luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem-sistem yang dibuat oleh para filosof secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tetapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu yang mencirikan filsafat.

Filsafat, sebagaimana yang disampaikan Bertrand Russell, adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Semua pengetahuan yang definitif adalah termasuk sains, sedangkan semua dogma, yang melampaui pengetahuan definitif termasuk ke dalam teologi. Namun, di antara keduanya terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusia pun, wilayah tak bertuan ini adalah filsafat.
Hampir semua persoalan yang sangat menarik bagi pikiran-pikiran spekulatif tidak bisa dijawab oleh sains, dan jawaban-jawaban yang meyakinkan dari para teolog tidak lagi terlihat begitu meyakinkan sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Apakah dunia ini terbagi menjadi dua; jiwa dan materi, dan jika “ya”, apakah jiwa dan materi itu? Apakah jiwa tunduk pada materi, ataukah jiwa dikuasai oleh kekuatan-kekuatan independen? Apakah alam semesta ini memiliki kesatuan atau maksud tertentu?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat ditemukan di laboratorium. Teologi berusaha memberikan jawaban yang sangat definitif, namun jawaban-jawaban tersebut mengundang kecurigaan pikiran-pikiran modern. Mempelajari pertanyaan-pertanyaan tersebut, jika bukan menjawabnya, adalah urusan filsafat.
Filsafat dimulai di Yunani pada abad ke 6 SM. Setelah memasuki zaman kuno, filsafat kembali ditenggelamkan oleh teologi ketika agama Kristen bangkit dan Roma jatuh. Periode kejayaan filsafat yang kedua adalah abad ke-11 – 14 dan diakhiri dengan kebingungan-kebingungan yang berpuncak pada reformas

Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan, perumusannya sangat sulit dilaksanakan, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seorang filsuf yang otentik. Setiap orang yang ingin mengejar pengertian hidup dan kehidupan itu, maka itu berarti bahwa ia masih diatas jalan ,enjadi seorang filsuf, untuk lebih memanusiakan dirinya. Sebab berfilsafat tiada lain adalah hidup berpikir dengan pemikiran sedalam-dalamnya tentang hidup dan kehidupan itu.

            Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya menemukan tiga bentuk eksistensi, eksistensi itu yaitu agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Filsafat sebagai suatu ilmu pengetahuan yang bersifat eksistensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari – hari. Bahkan justru filsafatlah yang jadi motor penggerak kehidupan sehari – hari baik sebagai manusia pribadi, filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan, perumusannya sangat sulit dilakasanakan, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seorang filsuf yang otentik. Setiap orang yang ingin mengejar pengrtian hidup dan kehidupan tertentu, maka itu berarti bahwa ia masih di atas jalan menjadi seorang filsuf, untuk lebih memanusiakan dirinya. Sebab berfilsafat tiada lain adalh hidup berfikir dengan pemikiran sedalam-dalamnya tentang hidup dan kehidupan itu.

            Diantara seluruh filsuf, baik pada zaman kuno, pertengahan maupun modern, Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh yang paling berpengaruh. Dengan demikian, dalam sejarah tentang pemikiran filsafat memang sangatlah perlu membicarakan pemikiran dari Plato.

Filsafat yunani memang tidak mulai dengan Plato, namun yang jelas ialah bahwa pada Plato manusia diberi perhatian sepenuhnya. Filsafat yunani yang kita kenal sudah mulai pada abad ke-6 SM dengan mereka yang disebut filsuf – filsuf alam dari Ionia, yaitu Thales, anaximandros, dan Anaximenes. Akan tetapi pada mereka manusia belum menjadi titik pusat perhatian; yang terutama di soroti oleh mereka adalah kosmos(dunia). Sebelum filsafat timbul, orang yunani masih mengerti gejala-gejala kosmis dengan cara magi dan mistis. Mereka masih memandang gejala-gejala itu dalam rangka kepercayaan yunani. Tiada rasionalitas dan keterikatan menurut hokum. Akan tetapi, orang – orang Ionia itu tidak mendibrak pandagan dunia yang penuh khyalan itu. Dalam hal ini mereka terpimpin oleh intuisi filosofis bahwa semua kejadian kosmis haru dapat di jelaskan berdasarkan satu prinsip dasar( arkhe ).

Kegiatan Sokrates hanya sekedar percobaan. Karyanya lebih menyerupai suatu usaha pertama untuk mengubah mentalitas dari pada suatu system filosofis besar yang serba lengkap. Hal yang terakhir ini diupayakan oleh murid tercintanya yang bernama Plato. Tatap muka dengan Plato ( 427- 347 SM ) berarti perjumpaan dengan suatu pandangan filosofis tentang dunia dengan manusia yang luar biasa. Visinya sangat spiritualistis. Berabad-abad lamanya ia mempengaruhi pemikiran orang barat, baik yang kafir maupun yang beragama. Agustinus dan kemudian Agustinisme telah mengawetkan inspirasi dan suasana pemikiran Plato sampai pada zaman modern.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 RIWAYAT HIDUP PLATO

Plato lahir dalam suatu keluarga bangsawan aristokrat Athena yang turun – temurun memiliki peranan yang amat penting dalm kehidupan politik di Athena. Ayahnya bernama Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kodrus, raja terkahir Athena yang hidup sekitar rahun 1068 SM yang sangat dikagumi rakyatnya karena kecakapannya dan kebijaksanaanya dalam memerintah Athena. Ibunya bernama Periktione keturunan Solon, tokoh legendaries dan negarawan agung Athena.

Ketika Plato maih kecil, ayahnya meninggal. Ibunya kemudian menikah dengan paman Plato yang bernama Pyrilampes. Paman yang menjadi ayah tiri Plato itu adalah seorang tokoh yang disegani di Athena karena ia adalah seorang politikus yang dekat dengan Pericles, pemimpin dan negarawan besar Athena yang baru saja meninggal. Plato dibesarkan dan dididik oleh ayah tirinya.

Sejak mudanya, ia bergaul dengan tokoh – tokoh yang memainkan peranan penting dalam politk Athena. Saudara ibunya Kharmides dan Kritias, termasuk partai aristrokat dan mereka adalah anggota panitia “30 Tyranoi” yang delapan bulan lamanya memerintah Athena dengan kejam. Mula – mula mereka tergolong sahabat Socrates, guru Plato sekaligus orang yang dikaguminya. Tetapi kemudian mereka menempuh jalan yang berbeda dan menyimpang dari cita – cita Socrates. Awalnya Plato diajak bergabung dalam dunia politik 30 Tyrano tersebut. Tetapi Plato ingin menunggu hasil politik mereka terlebih dahulu. Plato terkejut melihat bahwa mereka ingin mempergunakan Socrates untuk maksud jahat, yaitu menangkap dan menghukum seseorang yang tidak bersalah supaya harta miliknya dapat disita. Tetapi situasi memburuk lagi, ketika demokrasi dipulihkan, karena seorang pemimpin demokrasi mengemukakan tuduhan terhadap Socrates yang mengakibatkan kematiaannya. Dalam surat yang sama Plato menceritakan pula bahwa pengalaman pahit ini sudah memadamkan ambisi politiknya. Kensafan timbul padanya bahwa semua rezim politik tidak beres dan ia mendapat keyakinan bahwa satu – satunya pemecahan adalah mempercayakan kuasa negara kepada filsuf – filsuf.

Sesudah Socrates meninggal, Plato bersama dengan teman – teman lain untuk beberapa waktu menetap di Megara, pada murid Socrates yang bernama Eukleides. Tetapi kemudian ia kembali lagi ke Athena. Pada usia 40 tahun, Plato mengunjungi Italia dan Sisilia. Barangkali perjalanan ini diadakan dengan maksud berkenalan dengan mazhab Phytagorean. Tidak lama sesudah kembali dari Italia, Plato mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama ‘Akademia’. Sekolah ini direncanakan sebagai pusat ilmiah. Plato merealisasikan cita – citanya, yaitu memberikan pendidikan intensif dlam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat kepada orang – orang muda yang akan menjadi pemimpin – pemimpin politik nanti. Ia mempelopori universitas – universitas Abad Pertengahan dan Modern. Murid – murid Plato memberi sumbangan besar dalam perkembangan cabang – cabang ilmu pengetahuan. Plato membuat berbagai karya-karya tulis dan pemikirannya tentang filsafat. Plato kemudian meninggal di Athena pada usia 80 tahun dan selama hidupnya ia tidak pernah menikah.

PLATO

2.2 SIFAT FILSAFAT PLATO

            2.2.1 Bersifat Sokratik

            Suatu tradisi kuno menceritakan bahwa sesudah berkenalan dengan Sokrates,pemuda Plato membakar karya-karya tragedy yang di tulisnya,dengan masud berbalik dari kesusastraan dan mencurahkan seluruh tenaganya kepada filsafat.Kebenaran cerita ini harus di sangsikan,tetapi tidak dapat di bantah bahwa pertemuan dengan Sokrates merupakan peristiwa penentu dalam kehidupan Plato.

            Keyakinan Plato bahwa filsuf harus dijadikan sebagai penguasa negara, boleh dipandang sebagai buah hasil refleksi Plato atas kematian Socrates, gurunya tercinta. Refleksi atas kematian Socrates selanjutnya menjuruskan seluruh pemikiran dan keaktifan Plato sampai pada masa tuanya.

            Di dalam karya-karyanya pun Sokrates diberi tempat sentral. Kita sudah melihat bahwa,kecuali dalam nomoi,dimana plaku utama adalah “orang asing dari Athena”,Sokrates mempunyai peranan dalam semua dialog Plato dan hamper selalu,kecuali dalam dilog-dialog yang dikarang plato dalam masa tuanya,Sokrates memainkan peranan dominan. Disamping Plato baik dalam sejarah kesusastraan maupun dalam sejarah filsafat tidak ada contoh lain tentang seorangseorang pemikir dan seniman yang mengabdikan segenap hidupnya untuk menggambarkan satu tokoh dan keaktifannya.Kita mempunyai kesan bahwa Plato dalam karyanya tidak ada maksud lain dari pada membangun suatu monumen mengenangkan serta menghormati gurunya.Herman Diels mengatakan bahwa Plato seakan –akan bersumpah membuat nama Sokrates menjadi “immortal” dan sepanjang seluruh hidupnya ia setia pada “sumpah” itu

            2.2.2 Filsafat Sebagai Dialog

Semua karya yang di tulis Plato merupakan dialog-dialog,kecuali surat-surat da apologia.Tetapi tentang karangan terakhir ini harus di catat bahwa bahwa bentuknya tidak berbeda besar dengan dialog.Dalam arya ini Sokrates membela diri di hadapan hakim-hakimnya dan semua warga Athena.Ia berbuat begitu dengan mengajukan banyak pertanyaan dan mengemukakan keberatan-keberatan yang di jawabnya sendiri.Sekalipun hanya Sokrates yang berbicara di sini(monolog),namum suassana dialognya tetap ada.Plato adalah filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang memilih dialog sebagai bentuk sastra untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya.Sesudahnya bentuk ini akan sering kali di tiru lagi,baik dalam masa kuno maupun dalam masa modern,tetapi tidak ada filsuf lain yang dapat menciptakan kesatuan begitu sempurna antara dialog sebagai bentu sastra dan pemikiran yang diucapkannya.

Pertanyaan muncul,apa sebab Plato menggemari dialog sebagai bentuk sastra dan bukan risalah atau uraian sistematis lain yang lazim dipergunakan dalam dunia ilmiah.Tidak gampang memberikan jawaban yang tepat dalam pertanyaan ini.Selain seorang filsuf yang original sekali ,Plato adalah juga seorang sastrawan yang nilainya unggul dalam kesusastran dunia dan selalu sukar untuk menemukan mengapa seniman memilih bentuk ini.tetapi sekurang-kurangnya ada dua alas an yang iranya dpat menjelaskan sedikit pertanyaan tadi.

            Alasan pertama memiliki hubungan erat dengan “Sokratik” filsafat Plato,yang sudah di uraikan di atas.Plato memilih dialog sebagai bentuk sastra,justru karena Sokrates memainkan peranan sentral dalam pemikirannya.Sokrates tidak megajar,tetapi mengadakan Tanya jawab dengan kawan-kawan sekota di Athena.Plato meneruskan keaktifan Sokrates dengan mengarang dialog-dialog.Dengan demikian kenyataan bahwa karya-karya Plato merupakan suatu monumen bagi gurunya yang di kaguminya.

            Alasan kedua berkaitan dengan anggapan Plato sendiri mengenai filsafat.Plato memilih dialog sebagai bentuk sastra,karena ia yakin bahwa filsafat menurut intinya tidak lain daripada suatu dialog.Disini kta mesti ingat bahwa katan”philo-sophia”berasal dari kalangan Plato .Berfilsafat berarti mencari kebijaksaan atau kebenaran,dan dapat di mengerti bahwa “mencari kebenaran”itu sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam waktu dialog,dimana orang A dapat mengoreksi orang B dan sebalik.

            2.2.3 Mitos dalam Dialog Plato

Salah sau ciri khas dari karanga-karangan Plato ialah bahwa di sini kita serin g kali menemukan mitos-mitos.itu sama sekali tidak berarti bahwa Plato berbalik dari logos dengan memulihkan kembali mitos.Tidak dapat di bantah bahwa pada Plato pun terdapat tendensi yang terdapat dalam selurah filsafat Yunani,yaitu mengutamakan rasio sambil menolak mitologi kuno. Namun demikian Plato berpendapat bahwa mitos tidak bertentangan dengan rasio.Ada juga mitos yang mempunyai unsur kebenaran dan karena itu dapat dipergunakan dalam uraian filosofis.

            2.2.4 Ajaran Lisan

Dari kesaksian Aristoteles boleh disimpulkan bahwa Plato tidak menggunakan suatu naskah untuk mempelajaran-pelajarannya dalam academia.Agaknya ia tidak meberi uliah-kuliah sistematis,tetapi menyelenggarakan diskusi-diskusi yang sebagian di pimpin oleh Plato sendiri,sebagian oleh muri-muridnya di angkat menjasi “assisten”.Metode mengajar ini lebih cocok dengan anggapan Plato mengenai filsafat sebagai dialog.

            Bila Aristoteles membicaraka filsafat Plato,biasanya ia menunjuk kepada dialo-dialog.Tetapi beberapa kali ia juga mempergunakan sumber-sumber lain. Plato menganggap ide-ide sebagai bilangan-bilangan.itu tentu berarti bahwa ia menyamakan ide-ide dengan bilangan-bilangan yang mempunyai peranan begitu besar dalam Phytagorean.

2.3 PANDANGAN FILSAFAT PLATO

            2.3.1 Terhadap Idea – Idea

Sumbangsih Plato yang terpenting adalah pandangannya mengenai idea. Pandangan Plato terhadap idea-idea dipengaruhi oleh pandangan Sokrates tentang definisi.Idea yang dimaksud oleh Plato bukanlah ide yang dimaksud oleh orang modern. Orang-orang modern berpendapat ide adalah gagasan atau tanggapan yang ada di dalam pemikiran saja. Menurut Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada idea. Idea adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Idea sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita.. Idea-idea ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya, idea tentang dua buah lukisan tidak dapat terlepas dari idea dua, idea dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan idea genap. Namun, pada akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan idea-idea tersebut.Puncak inilah yang disebut idea yang “indah”. Idea ini melampaui segala idea yang ada.

            2.3.2 Terhadap Dunia Inderawi

Dunia indrawi adalah dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang konkret, yang dapat dirasakan oleh panca indera kita. Dunia indrawi ini tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada dunia ideal. Selalu terjadi perubahan dalam dunia indrawi ini. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia jasmani ini fana, dapat rusak, dan dapat mati.

            2.3.3 Terhadap Dunia Idea

Dunia idea adalah dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita. Dalam dunia ini tidak ada perubahan, semua idea bersifat abadi dan tidak dapat diubah. Hanya ada satu idea “yang bagus”, “yang indah”. Di dunia idea semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buahintelektual. Misalkan saja konsep mengenai “kebajikan” dan “kebenaran”.

            2.3.4 Terhadap Idea dan Pengenalan

Plato sebelumnya telah memberi solusi terhadap persoalan tentang sesuatu yang berubah dan sesuatu yang tetap. Persoalan ini merupakan perlawanan pemikiran antara Herakleitos dan Parmenides. Plato memberi solusi dengan mengemukakan gagasan bahwa ada sesuatu yang tetap dan ada pula yang berubah. Dari sini Plato sekaligus menyetujui pendapat keduanya serta menambahkan pendapat Parmenides bahwa sesuatu yang tetap kekal tidak berubah itu adalah ide atau “idea”. Menurut Plato ide merupakan sesuatu yang memimpin pemikiran manusia. Ide bukanlah hasil pemikiran subjektif, melainkan ide itu objektif. Ide lepas dari subjek yang berpikir. Meski pun tiap orang berbeda dengan orang yang lain, atau tidak ada orang yang persis sama meski pun ia anak kembar, tetap saja orang adalah manusia inilah idenya yang tak berubah itu. Adanya suatu pengamatan dan pengungkapan yang serba bervariasi dan berubah itu merupakan pengungkapan atas ide yang tidak berubah. Orang bisa mengamati satu benda yang sama tetapi masing-masing orang punya pendapat lain.

Plato memiliki pandangan lebih tentang hakikat atau esensi dari segala sesuatu dibandingkan dengan Socrates. Plato meneruskan pendapat Socrates bahwa hakikat segala sesuatu bukan hanya dapat diketahui melalui keumuman, melainkan hakikat dari segala sesuatu itu nyata dalam ide. Solusi pertentangan Herakleitos dan Parmenides, dikemukakan Plato dengan mengkategorikan dua macam dunia, yaitu dunia yang serba berubah, serba jamak, dan tiada hal yang sempurna, sifatnya inderawi. Lalu dunia ide, yang merupakan dunia tanpa perubahan, tanpa kejamakan dalam artian bahwa (yang baik hanya satu, yang adil hanya satu, dan sebagainya) dan bersifat kekal.

Ide-ide di dunia hadir dalam benda yang kongkrit, semisal ide manusia ada pada tiap manusia, ide kucing ada pada tiap kucing. Benda-benda tersebut juga mengambil peran dan berpartisipasi dengan ide-idenya. Misalnya ada kucing sakti, kucing kampung, kucing peliharaan. Dalam contoh tersebut terdapat ide kucing, ide sakti, ide kampung, ide peliharaan. Ide tersebut berfungsi sebagai contoh benda-benda yang kita amati di dunia ini (Hadiwijono, 41:2005).

Telah disinggung, bahwa di dalam dunia idea tiada kejamakan, dalam arti ini, bahwa “yang baik” hanya satu saja dan seterusnya, sehingga tiada bermacam-macam “yang baik”. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dunia ide itu hanya terdiri dari satu ide saja, melainkan ada banyak ide. Oleh karena itu dilihat dari segi lain harus juga dikatakan bahwa da kejamakan, ada bermacam-macam ide, ide manusia, binatang, dan lain-lainnya. Ide yang satu dihubungkan dengan ide yang lain, umpamanya seperti yang telah dikemukakan: ide bunga dikaitkan dengan ide bagus, ide api dihubungkan dengan ide panas, dan sebagainya. Hubungan antara ide-ide ini disebut koinonia (persekutuan). Di dalam dunia ide itu juga ada hierarki, umpamanya: ide anjing termasuk ide binatang menyusui, termasuk ide binatang, termasuk ide makhluk dan seterusnya. Segala ide itu jikalau disusun secara hierarkis memiliki ide “yang baik” sebagai puncaknya, yang menyinari segala ide.

            2.3.5 Terhadap Manusia

Menurut Plato ada dua hal yang utama dalam manusia yaitu jiwa dan tubuh, keduanya merupakan kenyataan yang harus dibedakan dan dipisahkan. Jiwa berada sendiri. Jiwa adalah sesuatu yang adikodrati, yang berasal dari dunia ide dan oleh karenanya bersifat kekal, tidak dapat mati (Hadiwijono, 43:2005). Tidak seperti Socrates yang menganggap bahwa jiwa merupakan satu asas tunggal, Plato memiliki pendapat bahwa jiwa memiliki tiga bagian yaitu: rasional yang dihubungkan dengan kebijaksanaan yang dapat mengendalikan kepada rasa yang lebih rendah seperti nafsu, kehendak yang dihubungkan dengan kegagahan, dan keinginan yang dihubungkan dengan nafsu (Delfgaauw, 25:1992).

Plato percaya bahwa jiwa itu dipenjarakan di dalam tubuh, oleh karena itu jiwa harus dilepaskan dengan cara berusaha mendapatkan pengetahuan untuk melihat ide-ide. Plato juga percaya bahwa ada pra-eksistensi jiwa dan jiwa itu tidak dapat mati. Dalam tubuh jiwa terbelenggu dan untuk melepas jiwa dari tubuh hanya sedikit orang yang berhasil (mencapai pengetahuan dan mengalami ide-ide). Sikap yang selalu terpikat pada ke-tubuh-an kongkrit inilah yang membuat sulit.

Ada sebuah mitos yang diuraikan oleh Plato sehingga dapat mudah memahami maksud Plato tentang jiwa dan tubuh. Manusia dilukiskan sebagai orang-orang tawanan yang berderet-deret dibelenggu di tengah-tengah sebuah gua, dengan muka mereka dihadapkan ke dinding gua, dan tubuh mereka membelakangi lubang masuk gua. Sementara di luar gua ada api unggun yang sinarnya sampai ke dalam gua dan di luar itu pula ada banyak orang yang lewat. Secara otomatis cahaya api unggun tadi membuat bayangan orang pada dinding gua, tentu saja para tawanan tadi melihat bayangan tadi. Para tawanan itu pun selama hidupnya hanya melihat bayangan, dan mereka menganggap bahwa itulah kenyataan hidup. Pada suatu hari seorang tawanan dilepaskan dan dibolehkan untuk melihat ke belakang ke luar gua. Akhirnya seorang tawanan itu tahu bahwa yang selama ini dilihat adalah bayangan belaka. Tawanan itu pun menyadari bahwa kenyataan yang baru saja dilihat ternyata jauh lebih indah dari pada bayangan. Lalu tawanan yang telah memiliki pengalaman dan menyadari bahwa kenyataan di luar lebih indah itu menceritakan kepada para tawanan lain. Tetapi reaksi mereka di luar dugaan, mereka tidak percaya dan membunuh tawanan yang bercerita.

Begitu sulitnya untuk lepas dari belenggu tubuh, oleh karena itu paling tidak menurut Plato, orang harus berusaha untuk memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang kenyataan dan ide-ide. Hal ini juga berarti Plato tidak menyuruh untuk lari dari dunia, tetapi hal yang sempurna tidak akan ada didapatkan di dunia ini. Oleh karenanya usaha untuk memperoleh hal yang terbaik di dunia manusia harus mendapat pendidikan. Pendidikan bukan hanya persoalan akal semata, tetapi juga memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarahkan diri pada akal demi mengatur nafsu-nafsu.

            2.3.6 Terhadap Karya Seni dan Keindahan

Pandangan Plato tentang karya seni dipengaruhi oleh pandangannya tentang ide. Sikapnya terhadap karya seni sangat jelas dalam bukunya Politeia (Republik). Plato memandang negatif karya seni. Ia menilai karya seni sebagai mimesis mimesos. Menurut Plato, karya seni hanyalah tiruan dari realita yang ada. Realita yang ada adalah tiruan (mimesis) dari yang asli. Yang asli itu adalah yang terdapat dalam ideIde jauh lebih unggul, lebih baik, dan lebih indah daripada yang nyata ini.

Pemahaman Plato tentang keindahan yang dipengaruhi pemahamannya tentang dunia indrawi, yang terdapat dalam Philebus. Plato berpendapat bahwa keindahan yang sesungguhnya terletak pada dunia ide. Ia berpendapat bahwa kesederhanaan adalah ciri khas dari keindahan, baik dalam alam semesta maupun dalam karya seni. Namun, tetap saja, keindahan yang ada di dalam alam semesta ini hanyalah keindahan semu dan merupakan keindahan pada tingkatan yang lebih rendah.

            2.3.7 Terhadap Mimesis

Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan . Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.

Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio .

            2.3.8 Terhadap Pendidikan

Menurut Plato pendidikan direncanakan dan diprogram menjadi empat tahap dengan tingkat usia:

  1. Tahap yang pertama yaitu pendidikan anak-anak dari umur 10 tahun ke atas menjadi urusan negara supaya mereka terlepas dari pengaruh orang tuanya. Dasar yang utama bagi pendidikan anak-anak ialah gymnastic (senam) dan musik. Tetapi gymnastic didahulukan. Gymnastic menyehatkan badan dan pikiran. Pendidikan harus menghasilkan manusia yang berani yang diperlukan bagi calon penjaga. Disamping itu mereka diberikan pelajaran membaca, menulis dan berhitung.
  2. Tahap yang kedua yaitu pendidikan anak-anak berumur 14-16 tahun, yaitu diajarkan musik dan puisi serta megarang bersajak. Musik menanamkan jiwa manusia perasaan yang halus, budi yang halus. Karena dengan musik jiwa kenal aakan harmoni dahn irama. Kedua-duanya adalah landasan yang baik untuk menghidupkan rasa keadilan. Tetapi dalam pendidikan musik harus dijauhkan dengan lagu-lagu yang melemahkan jiwa serta yang mudah menimbulkan nafsu buruk, begitu juga tentang puisi. Puisi yang merusak moral disingkirkan. Pendidikan musik dan gymnastic harus sama dan seimbang.
  3. Tahap yang ketiga yaitu pendidikan anak-anak dari umur 16-18 tahun, anak-anak yang menjelang dewasa diberi pelajaran matematik untuk mendidik jalan pikirannya. Disamping itu diajarkan pula kepada mereka dasar-dasar agama dan adab sopan supaya dikalangan mereka tertanam rasa persatuan. Plato mengatakan bahwa suatu bangsa tidak akan kuat kalau ia tidak percaya tuhan. Seni ayang memurnikan jiwa dan perasaan tertuju kepada yang baik dan yang indah.
  4. Tahap yang keempat yaitu masa pendidikan dari umur 18-20 tahun, pemuda mendapat pendidikan militer. Pada umur 20 tahun diadakan seleksi yang pertama. Murid-murid yang maju dalam ujian itu mendapat didikan ilmiyah yang mendalam bentuk yang lebih teratur. Pendidikan otak jiwa dan badan sama beratnya. Setelah menerima pendidikan ini 10 tahun lamanya datanglah seleksi yang kedua yang syaratnya lebih berat dan caranya lebih teliti dari seleksi yang pertama. Yang gagal dapat diterima sebagai pegawai negeri. Yang diterima dan sedkit jumlahnya dapat meneruskan pelajarannya lima tahun lagi dan dididik dalam ilmu pengetahuan tentang adanya. Setelah tamat pelajaran itu, mereka dapat menyandang jabatan yang lebih tinggi. Kalau mereka setelah 15 tahun bekeraja dan mencapai umur 50 tahun, mereka diterima masuk dalam lingkungan pemerintah atau filosof. Pengetahuan dan pengalaman mereka dalam teori dan praktek sudah dianggap cukup untuk melaksanakan tugas yang tertinggi dalam negara yaitu menegakkan keadilan berdasarkan idea kebaikan.

2.4 PLATO DAN IDEA

            2.4.1 Teori Idea

Plato memandang bahwa kehidupan ideal adalah kehidupan pikir, harmoni adalah idealitas jiwa manusia. Artinya bahwa akal sebagai dasar, pengendali, pengatur bagi setiap pemahaman. Ia seorang rasionalis seperti halnya Socrates. Realitas pada dasarnya terbagi ke dalam realitas yang dapat ditangkap oleh indera (kasat mata) dan realitas yang hanya dapat dipahami oleh akal. Segala yang nyata dalam alam bersifat mengalir, dapat hancur, dapat terkikis oleh waktu, karena terbuat dari materi yang dapat ditangkap oleh indera. Ini dikenal dengan sebutan dunia materi.

Sedangkan ada realitas di balik dunia materi yang di dalamnya tersimpan pola-pola yang kekal dan abadi tak terkikis oleh waktu yang dikenal dengan dunia ide. Dunia ide ini hanya dapat ditangkap oleh akal. Dunia ide inilah dunia yang sebenarnya. Dalam analogi mitos gua Plato, realitas yang sebenarnya berada di dunia terang di luar gua, bukan bayang-bayang dinding gua dari benda yang sebenarnya. Fenomena alam hanyalah bayang-bayang dari bentuk atau ide yang kekal.

            2.4.2 Idea Kebahagiaan

Boleh dikatakan bahwa Plato memandang akal sebagai sarana untuk menangkap pengetahuan mengenai segala sesuatu idea dalam realitas, seperti ide kebaikan, ide kebahagiaan dan ide keadilan. Ide kebaikan tertinggi manusia adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang bersifat absolut, abadi dan kekal, bukan kesenangan karena kesenangan hanyalah sekadar memuaskan nafsu badaniah semata. Lalu dari mana kebahagiaan terbentuk?

Dalam konsep Plato, dibandingkan dengan makhluk lain, manusia mempunyai esensi atau bentuk yang tidak sederhana, akan tetapi manusia tersusun dari beberapa elemen yang mengimbangi berbagai kapasitas atau fungsi lainnya. Kemampuan untuk berpikir merupakan kapasitas dan fungsi yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Elemen akal ini merupakan hal yang paling penting. Elemen lainnya terdiri dari nafsu badaniah, yakni hasrat dan kebutuhan dan elemen rohani yang terungkap dalam bentuk emosi, seperti kemarahan, ambisi, kebanggaan, kehormatan, kesetiaan, dan keberanian.

Ketiga elemen tersebut yang terdiri dari akal, rohaniah dan nafsu badaniah disebut dengan jiwa tripartit. Rasa kebahagiaan manusia sebagai kebaikan tertinggi bersumber dari sifat-sifat alaminya yang berfungsi sebagai penyeimbang dari pemenuhan kebutuhan ketiga elemen yang membentuk manusia. Oleh karena itu, karena memiliki jiwa tripartit inilah maka kebaikan tertinggi bagi manusia adalah rasa tenteram atau kebahagiaan. Kebahagiaan didapat dari tiga pemenuhan tiga bagian jiwa di bawah aturan dan kendali akal. Dari ketiga elemen tersebut penggunaan akal sebagai sarana berpikir adalah yang paling penting dalam esensinya sebagai manusia. Dalam hierarki berada pada tingkat tertinggi. Nafsu badaniah berada pada tingkatan paling rendah, sedangkan elemen rohaniah berada pada tingkatan menengah. Inilah yang dikenal sebagai teori diri atau kepribadian tripartit milik Plato.

            2.4.3 Harmoni Tripartit

Dengan demikian dari ketiga elemen tidaklah boleh dihilangkan atau diabaikan salah satunya dalam mencapai kebahagiaan. Harmoni atau keseimbangan pemenuhan di antaranya dengan akal sebagai pengarah rohani dan nafsu maka seseorang bisa memuaskan sifat alami manusia yang kompleks. Dan jika setiap elemen mampu berfungsi dalam kapasitas dan perannya masing-masing sesuai dengan bangunan diri, maka kehidupan orang seperti ini bisa dikatakan bijak dan mengalami keadilan jiwa. Penggabungan kepribadiannya menjadi ketenteraman dan kebahagiaan. Keharmonian di antara elemen rasional dan tak rasional jiwa inilah yang harus dipahami, karena berkaitan dengan sikap moral, moralitas seseorang.

Sebagai gambaran misalkan ketika fungsi-fungsi akal terpenuhi sebagai pengendali elemen jiwa lain, maka akal akan menampilkan kebajikannya, yakni dalam bentuk kebijaksanaan. Pada saat elemen roh menunjukkan fungsi kebencian, ambisi, maupun heroiknya dalam batas-batas tertentu, maka elemen ini menunjukkan bentuk keberanian. Berani dalam cinta, perang, maupun dalam persaingan. Elemen nafsu yang menampilkan fungsinya secara benar, maka akan menunjukkan kebajikan karakternya, yakni kendali diri. Yakni dengan menjaga kepuasan jasmaniah pada batas-batasnya. Keseimbangan ketiga karakter kebajikan tersebutlah yang mampu mengantar pada ide kebahagiaan.

Plato menganalogikan dengan jelas tentang fungsi dan peran ketiga elemen dengan analogi lain. Misalkan elemen akal adalah manusia, elemen roh adalah singa, dan elemen nafsu badaniah adalah naga berkepala banyak. Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara membujuk singa agar membantu manusia menjaga naga hingga tetap dapat diawasi? Tentu saja dengan peran sebagai ‘pawang’ manusia harus mampu menjaga harmoni serta mengendalikan singa dan naga. (Mata dari berbagai sumber).

2.5 AJARAN – AJARAN PLATO

2.5.1 Ajaran Tentang Idea

   Ajaran tentang idea – idea merupakan inti dasar seluruh filsafat Plato. Baginya, Idea merupakan sesuatu yang objektif. Ada idea – idea terlepas dari subjek – subjek yang berfikir. Idea – idea tidak diciptakan oleh pemikiran kita. Idea tidak bergantung pada pemikiran, sebaliknya pemikiran tergantung pada idea – idea. Justru karena ada idea – idea yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhaian kaepada idea – idea.

Plato menerusakan usaha Socrates (menentukan hakekat atau esensi sesuatu) dengan melangkah lebih jauh lagi. Menurutnya, esensi itu mempunyai realitas, terlepas dari segala perbuatan konkrit. Idea keadilan, idea keberanian, dan idea lain memang ada.

Menurut Plato, ada dua macam dunia, yaitu dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indra. Pada taraf ini, haris diakui bahwa semuanya tetap berada dalam keindahan. Dunia yang kedua yaitu dunia idea, dunia yang terdiri dari idea-idea, dimana tiada perubahan, tiada kejamakan, (bahwa yang baik hanya satu, yang adil hanya satu) dan bersifat kekal.

Hubungan antara kedua dunia itu adalah bahwa idea-idea dari dunia atas itu hadir dalam benda konkrit (seperti idea manusia berada pada tiap manusia, dan seterusnya) dan bahwa sebaliknya benda-benda itu berpartisipasi dengan idea-ideanya, artinya mengambil bagian dai idea-ideanya. Dalam Politeia, ia mengatakan bahwa antara idea-idea terdapat suatu orde atau hirarki. Seluruh hirarki itu memuncak dengan idea ’yang baik’. Itulah idea tertinggi yang menyoroti semua idea lain.

            2.5.2 Ajaran Tentang Jiwa

Plato mengangap jiwa sebagai pusat atau intisari kepribadian manusia. Dalam anggapannya tentang jiwa, Plato tidak saja dipengaruhi oleh Socrates, tetapi juga oleh Orfisme dan mazhab Phytagorian. Plato berkeyakinan teguh bahwa jika manusia bersifat baka. Keyakinan ini bersangkut paut dengan ajaran-ajaran tentang idea-idea. Salah satu argumen penting adalah kesamaan yang erdapat antara jiwa dan idea-idea. Jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada isea-idea.

Jiwa dan tubuh dipandang sebagai dua kenyataan yang harus dibedakan dan dipidahkan. Jiwa berada sendiri. Bagiannya (atau fungsinya) ada tiga yaitu,

  • Bagian rasional yang dihubungkan dengan kebijaksanaan.
  • Bagian kehendak atau keberanian yang dihubungkan dengan pengendalian diri
  • Bagian keinginan atau nafsu yang dihubungkan dengan pengendalian diri

Disamping itu ada lagi keadilan yang tugasnya ialah keseimbangan antara ketiga bagian tersebut.

Dalam Timaios, Plato menghidangkan kosmologinya. Disini ia membandingkan jagad raya sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos. Dengan itu ia mengambil alih suatu prinsip yang sudah tertanam kuat dalam tradisi Yunani sejak Anaximenes. Sperti manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, demikian pun dunia merupakan suatu makhluk hidup yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa dunia diciptakan terlebih dahulu daripada jiwa-jiwa manusia.

            2.5.3 Ajaran Tentang Etika

Bagi Plato, tujuan hidup manusia ialah kehidupan yang senang dan bahagia. Manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan hidup itu. Menurutnya, kesenangan dan kebahagiaan hidup itu bukanlah pemuasan hawa nafsu selama hiduo di dunia indrawi. Plato konsekuen dengan ajarannya tentang dua dunia. Karena itu, kesenangan dan kebahagiaan hidup haruslah dilihat dari hubungan kedua dunia itu.

Sebagaiman yang telah dikemukakan sebelumya, dunia yang sesungguhnya bagi Plato adalah dunia ide. Sedangkan segala sesuatu yang ada di dunia indrawi hanyalah merupakan realitas bayangan. Selama manusia berada di dunia inderawi, ia senantiasa rindu untuk naik ke atas, ke dunia ide. Maka selama ia hidup, ia harus memilki pengetahuan yang disempurnakan oleh pengertian yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Ia harus mengupayakan semaksimal mungkin untuk meraih pengetahuan yang benar., karena hanya orang yang memiliki pengetahuan yang benar yang disebut bijaksana dan berbudi baik. Pemahaman lewat pengetahuan yang benar itu akan menuntun mereka yang bijaksana dan berbudi baik sampai pada pengenalan terhadap ide-ide yang merupakan kebenaran sejati. Mereka akan senantiasa berupaya untuk menghadirkan dunia ide dengan dunia ide tertingginya yaitu ide kebaikan dan kebajikan di tengah-tengah dunia indrawi.

Dengan semikian jelas terlihat bahwa etika Plato adalah etika yang didasarkan pada pengetahuan, sedangkan pengetahuan hanya mungkin diraih dan dimiliki lewat dan oleh akal budi, maka itulah sebabnya etika Plato disebut dengan etika rasional.

            2.5.4 Ajaran Tentang Negara

Filsafat Plato memuncak dalam uraian-uraiannya mengenai negara yang dilatar belakangi dari pengalaman yang pahit dalam politik Athena. Menurut Plato ada hubungan erat antara ajarannya tentang etika dan teorinya tentang negara. Hidup yang baik menuntut juga negara yang baik.

Selain Politea dan Nomoi ada karya ketiga lagi, dimana Plato membicarakan persoalan-persoalan yang bertalian dengan negara. Yaitu dialog yang berjudulPolitikos. Dialog ini terdiri dari sepuluh buku atau bagian. Pokok-pokok yang diselidiki di dalamnya adalah ’keadilan’.

Plato menunjukkan kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial untuk memenuhi kebutuhannya sehingga diperlukan adanya ’spesialisasi’ (pembagian bidang masing-masing). Secara konsekuen Plato berpendirian juga bahwa hanya segolongan orang saja harus ditugaskan melakukan perang untuk keamanan.

Menurut Plato, negara yang ideal terdiri dari tiga golongan :

  1. Golongan Bawah, yaitu golongan rakyat jelata, yang merupakan petani, tukang dan saudagar. Kerja mereka adalah menghasilkan keperluan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka merupakan dasar ekonomi bagi masyarakat. Karena mereka menghasilkan mereka tidak boleh ikut serta dalam pemerintahan. Seabagai golongan ayang berusaha mereka boleh mempunyai hak milih dan harta boleh berumah tangga sendiri.
  2. Golongan tengah, yaitu penjaga atau pembantu dalam urusan negara. Tugas mereka adalah mempertahankan negara dari serangan musuh. Dan menjamin supaya undang-undang dipatuhi oleh rakyat. Dasr kerjanya mengabdi kepada negara. Oleh karena itu mereka tinggal bersama dalam asrama dan tidak boleh berkeluarga. Hidup mereka didasarkan atas perbaikan jenis manusia dan hubungan mereka dengan perempuan diatur oleh negara dengan pengawasan yang rapih. Anak yang lahir dari hubungan mereka dipugut dan dididik oelh negara. Anak itu tidak tahu saiap bapaknya dan siapa ibunya. Semua anak yang lahir mengaku satu sama lain bersaudara berkakak adik. Taip orang alaki-laki dipandang bapak dan tiap wanita dipandang ibu. Dengan begitu diharapkan akan timbul rasa persaudaraan antara segala manusia
  3. Golongan Atas, yaitu kelas pemerintah atau filosof. Mereka terpilih dari yang cakap dan terbaik dari kelas penjaga, setelah menempuh pendidikan dan latihan yang spesial. Tugas mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaanya. Mereka memangku jabatan yang tertinggi. Selain itu mereka mempergnakan waktu luang untuk memperdalam filosofi dan ilmu pengetahuan tentang idea kebaikan. Mereka harus menyempurnakan budi yang tepat bagi golongan mereka yaitu budi kebijaksanaan. Dalam negara yang ideal golongan pengusaha menghasilkan tetapi tidak memerintah. Golongan penjaga melindungi tapi tidak memerintah. Golongan cerdik pandai di beri makan dan dilindungi dan mereka memerintah. Ketiga macam budi yang dimiliki masing-masing golongan yaitu bijaksana berani dan menguasai diri dapat menyelenggarakan dengan kerja sama budi keempat bagi masyarakat yaitu keadilan

Keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan setiap golongan dan setiap warga untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Sebagaimana dalam jiwa, keadilan mengakibatkan bahwa ketiga bagian jiwa berfungsi dengan seimbang dan selaras.

Plato berpendapat bahwa dalam negara dimana terdapat undang-undang dasar, bentuk negara yang paling baik adalah monarki, bentuk negara yang kurang baik adalah aristokrasi,dan bentuk negara yang paling buruk adalah demokrasi. Tetapi jika tidak ada undang-undang dasar harus dikatakan sebaliknya. Maksudnya adalah bahwa dalam negara dimana tidak ada undang-undang, demokrasi itu dapat menghindarkan adanya kekuasaan negara yang disalahgunakan.

2.6 KARYA – KARYA PLATO

            2.6.1 Otentitas

Tentang karya-karya yang otentisitasnya masih merupakan objek diskusi, Taylor cenderung berfikir bahwa beberapa diantaranyadan barangkali semua betul-betul buah pena Plato. Tentang Hippias dan Menexinos misalnya kita mempunyai data-data yang menyatakan bahwa Aristoteles sudah mengandaikan kedua dialog ini ditulis oleh Plato.

          Diskusi mengenai otentisitas ketiga belas surat yang dikenakan kepada Plato, tidak boleh diremehkan karena surat-surat itu merupakan dokumen-dokumen utama yang kita miliki mengenai riwayat hidup Plato. Dan justru surat-surat ini memuat informasi terbanyak mengenai Plato.

            2.6.2 Kronolgi

Bagaimana urutan kronologis karya-karya Palato? Mulai dari Friedrich S (1768-1834), banyak sarjana telah mengupayakan suatu pemecahan mengenai masalah kronologi ini. Berbagai metodetelah dicoba yang memberikan hasil-hasil yang berlainan. Pada pertengahan abad ke-19, sarjana Inggris L. Campbell mengusulkan suatu metode yang membawa hasil, metode ini disempurnakan lagi oleh beberapa sarjana Jerman dengan menyelidiki secara terperinci gaya bahasa Plato.

Beberapa data mengizinkan kita menarik kesimpulan tentang salah satu dialog, misalnya kita tahu bahwa Theaitetos harus ditempatkan tidak lama sesudah tahun 369. Dengan mempergunakan semua data itu, kita dapat membagikan dialog-dialog Plato atas empat periode, yaitu:

  1. Apologia, Kriton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias, Minor, Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion. (Beberapa ahli menyangka bahwa salah satu dari dialog ini sudah ditulis sebelum kematian Socrates, tetapi kebanyakan berfikir  bahwa dialog pertama tidak lama ditulis sesudah kematian Socrates)
  2. Kedua, karya yang ditulisnya dalam masa yang terkenal sebagai masa peralihan. Masa itu disebut juga masa Megara yaitu waktu Plato tinggal sementara di Megara. Dialog-dialog yang diduga ditulisnya dalam masa itu adalah Gorgias, Kratylos, Menon, Hippias, dan beberapa lainnya. Persoalan yang diperbincangkan disittu kebanyakan mengenai pertentangan politik dan pandangan hidup.
  3. Ketiga, karyanya disiapkan dimasa matangnya. Tulisannya yang terkenal dari waktu itu dan kesohor sepanjang masa ialah Phaidros, Symposion, Phaidon dan Politeia buku II-X. Ajaran tentang idea menjadi pokok pikiran Plato dan menjadi dasar teori pengetahuan, metafisika, fisika, psikologi, etik, politik, dan estetik. Terutama dalam Phaidros tentang perkembangan pikiran ini. Berdasarkan pandangan agama yang terpengaruh oleh ajaran Orfisme dan Phythagoras, Plato menggambarkan sifat dan nasib jiwa manusia. Jiwa itu senantiasa melayang antara tempat tianggalnya yang baka dilangit dan tubuh-tubuh yang ada di dunia ini. Penyudahan buku Politeia (republik), yang mulai dikarangnya dalam masa mudanya dan yang menjadi tujuan kerjanya yang terutama terjadi dalam masa ini. Dalam buku sambungannya itu plato menyudahkan gambaran pendapatnya tentang negara yang ideal.
  4. Keempat, karya yang ditulisnya pada hari tuanya. Dialog=dialog yang dikarangnya di masa itu sering disebut Theaitetos, Parmenides, Sophistos, Politicos, Philibos, Timaios, Kritias dan Nomoi. Ada sesuatu perubahan dalam uraian pada masa itu. Idea yang biasanya meliputi seluruhnya, terletak sedikit belakang. Kedudukan logika lebih terkemuka. Perhatian kepada kepada keadaan yang lahir dan kejadian dalam sejarah bertambah besar. Untuk memahamkan isi Taimaios seluruhnya orang harus mempunyai pengetahuan lebih dahulu tentang ilmu-ilmu special, terutama ilmu alam dan ilmmu kesehatan. Timaios boleh dikatakan suatu ajaran teologi tentang lahirnya dunia dan pemerintah dunia.

Paham Plato tentang pembentukan dunia ini berdasarkan pada pendapat Empedokles, bahwa aalam ini tersusun dari empat unsur yaitu api, udara, air, dan tanah, tetapi tentang proses pembangunan seterusnys berlainan pendapatnya. Menurut Plato, tuhan sebagai pembangun alam menyusun unsur yang empat itu dalam berbagai bentuk menjadi satu kesatuan kedalam bentuk yang satu itu tuhan memasukkan jiwa dunia yang akan menguasai dunia ini. Karena itu, pembangunan dunia ini sekaligus menentukan sikap hidup manusia dalam dunia ini.
Hampir semua dialog yang dikarang Plato adalah campuran antara Filosofi, Puisi, Ilmu dan Seni. Dan uraian ayang berupa percakapan dengan bersoal-jawab itu dibuanya dengan kata-kata sindiran dan kiasan serta dongeng yang berisikan teladan. Fakta dan mitos kadang-kadang bercampur-campur dalam lukisan criteria bertukar pikiran. Sebab itu orang tak mudah mengerti apa yang dimaksudnya, sekalipun gaya katanya indah sekali.

Dalam tahun-tahun terakhir ini karangan Plato juga diselidiki dengan menggunakan komputer. Terutama Prof. L. Brandwood dari University of Manchester (Inggris) sangat giat dalam bidang ini. Hasil definitif belum diketahui. Tetapi sudah nyata bahwa diskusi mengenai otentisistas Surat VII dihidupkan kembali berdasarkan penyelidikan baru ini.

Banyak sekali karyanya yang masih utuh lengkap.Pada umumnya tulisannya disusun dalam bentuk dialog. Barangkali karena pengaruh Socrates, yangkelihatannya memegang peranan pentingdalam karya-karyanya. Begitu penting tempat yang diberikan kepada Socrates (serng dijadikan tokoh utama), sehingga karya-karya Plato itu dapat dipandang sebagai monumen bagi Socrates. Dari segala karyanya dapat diketahui bahwa Plato kenal para filsuf yang mendahuluinya. Seperti Herakleitos, Pythagoras, para filsuf Elea, terlebih para kaum sofis.

Perbedaan antara Socrates dan Plato adalah bahwa Socrates mengusahakan adanya definisi tentang hal yang bersifat umum guna menentukan hakikat atau esensi segala sesuatu, karena ia tidak puas dengan mengetahui hanya tindakan-tindakan satu persatu saja. Sedang Plato meneruskan usaha itu secara lebih maju lagi dengan  mengemukakan bahwa hakekat atau esensi segala sesuatu bukan hanya sebutan saja, tetapi memiliki kenyataan, yang lepas daripada sesuatu yang berada secara konkrit, yang disebut idea. Idea-idea itu nyata adanya, di dalam dunia idea.

BAB III

PENUTUP

 

  • KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Filsafat yunani memang tidak mulai dengan Plato, namun yang jelas ialah bahwa pada Plato manusia diberi perhatian sepenuhnya. Secara umum definisi filsafat adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena seluruh kehidupan dan pemikiran manusia yang kritis kemudian dijabarkan dalam konsep yang mendasar. Pengertian umum (definisi) menurut Plato sudah tersedia di alam idea. Menurut pemikiran falsafahnya, dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan daria dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanyalah tiruan merupakan tiruan dari yang asli, yaitu idea.

Dalam kehidupannya Plato selalu berkarya. Adapun karya-karyanya itu adalah berupa tulisan. Plato mulai mengarang buku dimulai sekitar tahun 380 SM, berlangsung sampai pada ajalnya. Seluruh tulisan Plato yang dipublikasikan tersimpan, disampinh sebagian dari tulisan-tulisan lainnya tentang dia yang tidak sepenuhnya benar. Adapun tentang apa saja yang dia ucapkan dalam kuliah-kuliahnya, tidak ada yang tersimpan. Tulisan-tulisan Plato dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu tulisannya pada saat masih muda. Sudah setengah tua dan sudah tua.

Disamping itu karya-karya Plato memiliki beberapa sifat atau cirri khusus.Yang pertama bersifat Sokratik artinya secara tidak langsung Plato membuat monument untuk gurunya lewat karya-karyanya.Yang kedua bersifat dialog,disini Plato selalu menuangkan karya-karyanya dalam bentuk dialog.Dan menurut Aristoteles,dalam memberikan pelajaran Plato tidak pernah mengacu pada buku atau sistematis,dia lebih suka memberikan diskusi-diskusi.Yang ketiga bersifat mitos artinya dalam karyanya Plato berusaha menyeimbangkan antara mitos-mitos yang ada dengan ilmu-ilmu filsafat. Yang keempat bersifat lisan artinya sama dengan bersifat dialog.

Plato merupakan salah satu tokoh filsafat (filsuf) yang sangat berpengaruh. Hasil pemikirannya memberi peran yang sangat besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan hingga sekarang. Ajaran-ajaran Plato antara lain mengenai idea, jiwa, etika, negara, dan lain-lain. Plato adalah murid Socrates dan juga guru dari Aristoteles yang mengajarkan tentang idea yang bersifat objektif, dimana idea kebaikan dan kebajikan adalah idea yang tertinggi.

Puncak karya filsafatnya adalah mengenai ajarannya tentang negara. Secara umum ajarannya tentang negara yang ideal terdiri dari tiga golongan yaitu :

  1. Golongan yang tertinggi, yang terdiri dari orang-orang yang memerintah yang disebut penjaga yang sebaiknya terdiri dari orang bijak (filsuf). Kebajikan golongan ini adalah kebijaksanaan.
  2. Golongan pembantu, yaitu para prajurit yang bertujuan menjaga keamanan dan menjamin ketaatan warga negara untuk taat kepada para pemimpin (penjaga). Kebajikan mereka adalah keberanian.
  3. Golongan terendah, yang terdiri dari rakyat biasa, para petani dan tukang serta para pedagang yang harus menanggung hidup ekonomi negara. Kebajikan mereka adalah pengendalian diri.

 

 

 

Daftar Pustaka

  • Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila. Yogyakarta. Paradigma
  • Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta. PT Bumi Aksara.
  • der weij, Van. 2000. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia. Yogyakarta. Kanisius

Diakses : 3 Desember 2011

Diakses : 3 Desember 2011

Diakses : 3 Desember 2011

Diakses : 3 Desember 2011

BAB I
PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

Weda secara ethimologinya berasal dari kata “Vid” (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.

Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.

Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.

Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah.

KITAB SRUTI adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:

  • Weda atau Rg Weda Samhita dihimpun oleh Rsi Pulaha.
  • Sama Weda Samhita dihimpun oleh Rsi Jaimini.
  • Yajur Weda Samhita dihimpun oleh Rsi Waisampayana.
  • Atharwa Weda Samhita dihimpun oleh Rsi Sumantu.

KITAB SMERTI adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.

  • Kelompok Wedangga:

Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:

(1).Siksa (Phonetika)

(2).Wyakarana (Tata Bahasa)

(3).Chanda (Lagu)

(4).Nirukta

(5).Jyotisa (Astronomi)

(6).Kalpa

  • Kelompok Upaweda:

Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

(1).Itihasa

(2).Purana

(3).Arthasastra

(4).Ayur Weda

(5).Gandharwaweda

Namun dalam hal ini kami tidak membahas semua tetang intisari ajaran Veda. Kami disini hanya akan membahas salah sartu dari Kelompok Sad Wedangga yaitu “CHANDA” atau lagu dalam Veda.

  • Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian ‘Chanda’?
  2. Apa saja bentuk – bentuk ‘Chanda’?
  3. Apa saja contoh – contoh ‘Chanda’ dalam Veda ?

  • Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui pengertian ‘Chanda’.
  2. Untuk mengetahui bentuk – bentuk ‘Chanda’.
  3. Untuk mengetahi contoh – contoh ‘Chanda dalam Veda.

  • Manfaat Penulisan

Agar para pembaca dapat mengetahui apa itu Chanda, bentuk – bentuk Chanda, serta beberapa contoh Chanda yang ada dalam Veda. Karena Chanda merupakan salah satu cabang Veda yang harus diketahui ataupun dipelajari agar tidak terjadi kesalahan dalam pelafalan mantram-mantram yang ada pada Veda.

BAB II

PEMBAHASAN

  • 1 Pengertian ‘Chanda’ atau Metrum.

Chanda merupakan  ilmu  tentang  irama  Veda ( Chandasastra ). Chanda atau metrum (wirama) ditentukan oleh aturan jumlah suku kata dalam sebuah baris dan sebuah mantram Veda yang terdiri dari 3 atau 4 “pada” atau baris. Jumlah suku kata yang dihitung adalah suku kata yang konsonannya diikuti huruf svara(vowel) termasuk juga wisarga dan anuswara. Baris mantram Veda ditentukan pula oleh irama berat ringan panjang pendek yang disebut guru dan laghu yang pada baris panjang kadang-kadang berselang seling dengan yang pendek. Baris-baris pada bait mantra umumnya terdiri dari 8 , 11 atau lebih dan kadang-kadang jauh lebih banyak dari jumlah tersebut. Metrum ini menurut tradisi dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu biasa atau sedang dan yang panjang.

Metrum atau wirama terpendek terdiri dari 24 suku kata dan terdiri dari 3 baris, selanjutnya suku katanya bertambah empat demi empat dan barisnyapun berubah mnjadi empat atau lebih. Yang terpanjang dari kelompok biasa atau sedang ini terdiri dari 48 suku kata. Yang terpendek dari kelompok yang panjang adalah 52 suku kata dan yang terpanjang terdiri dari 76 suku kata bahkan ada yang 104 suku kata, kini dalam kenyataannya tidak ditemukan seperti yang demikian.

Berikut dikutipkan bagan metrum sebagai berikut :

  • Yang biasa (sedang) Jumlah suku kata (suku kata tiap baris)
  • Gayatri 24 suku kata ( 8 + 8 + 8 )
  • Usnih 28 suku kata ( 7 + 7 + 7 + 7 )
  • Anustubh 32 suku kata ( 8 + 8 + 8 + 8 )
  • Brhati 36 suku kata ( 9 + 9 + 9 + 9 )
  • Pankti 40 suku kata ( 8 + 8 + 8 + 8 + 8 )
  • Tristubhh 44 suku kata ( 11 + 11 + 11 + 11 )
  • Jagati 48 suku kata ( 12 + 12 + 12 + 12 )

  • Yang panjang Jumlah suku kata (suku kata tiap baris)
  • Atijagati 52 suku kata ( 12 + 12 + 12 + 8 + 8 )
  • Sakvari 56 suku kata ( 8 + 8 + 8 + 8 + 8 + 8 + 8 )
  • Antisakvari 60 suku kata ( 16 + 16 + 12 + 8 + 8 )
  • Asti 64 suku kata ( 16 + 16 + 16 + 8 + 8 )
  • Atyasti 68 suku kata ( 12 + 12 + 8 + 8 + 8 +12 + 8 )
  • Dhrti 72 suku kata ( 12 + 12 + 8 + 8 + 8 + 16 + 8 )
  • Atidhrti 76 suku kata ( 12 + 12 + 8 + 8 + 8 + 12 + 8 + 8 )

  • 2 Bentuk – Bentuk ‘Chanda’ atau Metrum.

Berikut ini merupakan bentuk – bentuk ‘Chanda’ :

  1. Gayatri

Metrum Gayatri yang standard mempunyai 24 suku kata. Namun cukup banyak  variasi susunan metrum Gayatri dengan nama – nama yang berbeda pula. Terdapat 11 variasi dari metrum Gayatri.

  1. Usnik

Metrum standard Usnik terdiri dari 28 suku kata. Ada 8 macam variasi popular dari Usnik. Ada juga perpaduan antara baris – baris Gayatri dan Jagati yang juga terdiri dari 28 suku kata ( 8 + 8 + 12 ).

  1. Anustup

Metrum standard Anustup terdiri dari 32 suku kata dalam 1 bait yang terdiri dari 4 baris. Terdapat 8 variasi Anustup yang dikemukakan oleh Katyayani dalam karyanya Sarvanukramani Rgveda.

  1. Brhati

Metrum standard Brhati terdiri dari 36 suku kata dalam tiap bait dan tiap baris terdiri dari 9 suku kata. Terdapat sekitar 9 variasi penting dari metrum ini.

  1. Pankti

Bentuk standard Pankti terdiri dari 5 baris dalam satu bait dan tiap baris terdiri dari 8 suku kata atau 4 baris dan tiap baris terdiri dari 10 suku kata. Terdapat 6 jenis variasi dalam metrum ini.

  1. Tristup

Bentuk standar Tristup terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari 11 suku kata (48 suku kata). Terdapat 10 variasi dalam metrum ini.

  1. Jagati

Bentuk standard jagati terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari 12 suku kata (satu bait = 48 suku kata). Terdapat variasi lain yang umum yaitu Mahapankti atau Mahasatobrhati.

Selain itu ada beberapa bentuk ‘Chanda’ lainnya, khususnya yang terdapat dalam Rgveda yang dipetikkan dari lampiran II ( Appendix II ) buku The Hymns of The Rgveda yang merupakan terjemahan dari Ralph T.H. Griffith, terbitan Motital Banarsidass, Delhi, 1986, ha;laman 655 sebagai berikut :

  1. Abhisarini : Merupakan bagian (bentuk lain) dari Trstup, yang terdiri dari 2 baris  terdiri dari dua belas ataupun kadang-kadang 11 suku kata.
  1. Anustup atau Anustubh : terdiri dari empat baris masing-masing 8 suku kata,dua “pada” membentuk sebuah baris. Metrum ini umum digunakan dalam Manavadharmasastra, Mahabrata, Ramayana,dan kitab – kitab Purana.
  1. Anustubhgarbha : sebuah metrum dari kelompok Usnih: “pada” yang pertama terdiri dari 5 dan 3 suku kata, masing-masing mengikuti baris yang masing-masing terdiri dari 8 suku kata.
  1. Anustup pipilikamadhya : merupakan bentuk lain dari anustup. “pada” keduanya dengan baris ke 1 dan ke 3 ( 8 suku kata 4+8+8 ).
  1. Asti : terdiri dari empat baris masing-masing 16 suku kata atau 64 suku kata dalam sebuah mantra.
  2. Astarapankti : terdiri dari 2 “pada” masing-masing 8 suku kata, diikuti oleh masing-masing 12 suku kata.
  1. Atidhrti : empat “pada” masing-masing terdiri dari 19 suku kata = 76 suku kata.
  1. Atijagati : empat “pada” masing-masing terdiri dari 13 suku kata.
  1. Atinicrti : terdiri dari 34 “pada” terdiri dari masing-masing 7,6 dan 7 suku kata.
  1. Atisakvari : empat “pada” masing-masing terdiri dari 13 suku kata.
  1. Atyasti : empat “pada” masing-masinbg terdiri dari 17 suku kata.
  1. Brhati : empat “pada” ( 8+8+12+8) terdiri dari 36 suku kata pada setiap mantram
  1. Caturvimsatika dvipada: sebuah dvipada terdiri dari 24 suku kata meskipun kadang-kadang 20 suku kata.
  1. Dhrti : terdiri dari 72 suku kata di dalam sebuah mantram.
  1. Dvipada viraj : merupakan bentuk lain dari Gayatri teridri dari hanya 2 “pada” ( 12+8 atau 10+10 suku kata); tidak cukup terwakilkan dalam terjemahan oleh dua puluhan suku kata berirama dalam setiap baris.
  1. Ekapada trstup : sebuah trstup terdiri dari satu “pada” atau seperempat mantram.
  1. Ekapada viraj: sebuah viraj terdiri dari sebuah “pada”.
  1. Gayatri : sebuah mantram yang biasanya terdiri dari 24 suku kata, susunannya bervariasi, namun umumnya terdiri dari 3 “pada” masing-masing terdiri dari 8 suku kata atau baris pertama terdiri dari 16 suku kata dan baris kedua terdiri dari 8 suku kata. Terdapat 11 variasi metrum gayatri ini dan jumlah suku kata dalam mantram ini bervariasi dari 19 – 33 suku kata.
  1. Jagati : sebuah metrum terdiri dari 48 suku kata disusun dalam empat “pada”, masing-masing dua belas suku kata, dua “pada” membentuk sebuah baris atau jalinan yang didalam terjemahan digambarkan oleh double alexandrine.
  1. Kakup atau kakubh: sebuah metrum terdiri dari 3 “pada” yang masing-masing terdiri dari 8, 12, dan 8 suku kata.
  1. Kakubh nyankusira: terdiri dari 3”pada” masing-masing 9 +12+4 suku kata.
  1. Krti : sebuah metrum terdiri dari empat “pada” masing-masing terdiri dari 20 suku kata.
  1. Madhyejyotis : sebuah metrum yang dalam setiap “pada” terdiri dari 8 suku kata berada di antara 2 “pada” yang masing-masing terdiri dari dua belas suku kata.
  1. Mahabrhati : empat baris masing-masing terdiri dari 8 suku kata diikuti oleh sebuah baris dengan 12 suku kata.
  1. Mahapadapankti : metrum dua bagian terdiri dari 31 suku kata, bagian pertama terdiri dari 4 baris masing-masing dengan 5 suku kata, dan bagian kedua adalah Tristup seperti biasa terdiri 11 sukun kata. Lihat vedic. Hymns, Bagian I. ( Sacred Books of the East, Ed.Max Muller, XXXII) P.XCVIII.
  1. Mahapankti : sebuah metrum terdiri dari 48 suku kata ( 8×6 atau 12×4).
  1. Mahasatobrhati : sebuah bentuk yang panjang dari satobrhati.
  1. Nastarupi : sebuah variasi dari anustup.
  1. Nyankusarini : sebuah metrum empat “pada”: 8+12+8+8 suku kata.
  1. Padanicrt : sebuah variasi dari Gayatri yang masing-masing baris kekurangan satu suku kata : 7+3=21 suku kata.
  1. Padapankti : sebuah metrum terdiri dari 5 baris masing-masing baris terdiri dari 5 suku kata.
  1. Pankti : sebuat metrum yang merupakan octaf 5 baris, seperti anustup dengan tambahan 1 baris.
  1. Panktyuttara : sebuah metrum yang pada bagian akhirnya sama dengan pankti: 5 + 5 suku kata.
  1. Pipilikamadhya : sebuah metrum yang ada pada baris di tengah-tengah lebih pendekan dengan sebelum dan sesudahnya.
  1. Pragatha : sebuah metrum dalam Mandala VIII (Rgveda), terdiri dari semacam bait yang merupakan kombinasi duah buah mantram, yaitu sebuah Brhati atau Kakup diikuti oleh sebuah satobrhati.
  1. Prastarapankti : sebuah metrum terdiri dari 40 siku kata : 12 +12+8+8.
  1. Prastistha : sebuah metrum terdiri dari 4 baris dan masing-masing baris terdiri dari 4 suku kata; juga sebuah variasi dari Gayatri terdiri dari 3 baris masing-masing baris terdiri dari 8, 7dan 6 suku kata.
  1. Purastadbrhati : sebuah variasi dari Brhati dengan 12 suku kata pada baris pertama.
  1. Pura-usnih : sebuah metrum terdiri dari tiga baris, masing-masing baris terdiri dari 12+8+8 suku kata.
  1. Sakvari : sebuah metrum terdiri dari 4 baris masing-masing baris terdiri 14 suku kata.
  1. Satobrhati : sebuah metrum terdiri dari 4 baris, baris ganjilnya terdiri dari 12 suku kata dan baris genapnya 8 suku kata : 12+8+12+8=40.
  1. Skandogriva : terdiri dari 4 baris, kecuali baris kedua 12 suku kata, yang lainnya 8 suku kata: 8+12+8+8.
  1. Tanusira : terdiri dari 3 baris, baris pertama dan kedua 11 suku kata dan yang ketiga 6 suku kata: 11 +11+6.
  1. Tristup atau tristubh : sebuah metrum terdiri dari 4 baris masing-masing terdiri dari 11 suku kata.
  1. Upanistadbrhati: terdiri dari 4 baris, baris pertama terdiri dari 12 suku kata sedang yang lain 8 suku kata: 12+8+8+8.
  1. Uparistajjyotis: sebuah tristup pada baris terakhirnya hanya terdiri dari 8 suku kata.
  1. Urdhvabbrhati: sebuah variasi dari brhati.
  1. Urobrhati : sebuah variasi dari brhati : 8 +12+8+8 suku kata.
  1. Usniggarbha: sebuah Gayatri yang masing-masing barisnya terdiri dari, baris pertama 6, baris kedua 7 dan baris ketiga 11 suku kata.
  1. Usnih: terdiri dari 3 baris masing-masing: 8+8+12 suku kata.
  1. Vardamana: sebuah variasi/bentuk lain dari Gayatri: 6+7+8= 21 suku kata.
  1. Viparita : sebuah metrum yang terdiri dari 4 baris serupa dengan vistarapankti.
  1. Viradrupa : sebuah metrum tristup yang terdiri dari 4 baris: 11+11+11+7 atau 8 suku kata.
  1. Viratpurva : sebuah variasi dari tristup.
  1. Viratsthana: sebuah variasi dari tristup.
  1. Visamapada : sebuah metrum yang susunnya tidak genap.
  1. Vistarabrhati : sebuah bentuk lain dari Brhati terdiri dari 4 baris, masing-masing baris terdiri dari 8 suku kata pada yang pertama dan terakhir dan 12 baris dua dan tiga: 8+12+12+8= 40 suku kata.
  1. Yavamadhya : sebuah metrum terdiri dari tiga baris, yang ditengah – tengah lebih panjang di antara 2 yang pendek, yang pertama dan ketiga.

  • 3 Conbtoh ‘Chanda’ atau Metrum dalam Veda.
  1. Metrum Veda yang terdiri dari 8 suku kata
  • Gayatri , terdiri dari 3 baris (24 suku kata)

Agnim ile purohitam/

yajnasya devam rtvijam/

hotaram ratnadhatamam//

  • Anustubh terdiri dari 4 baris (32 suku kata) dibagi menjadi dua perhentian

A yaste sapirasute/

agne sam asti dhayase//

Aisu dyumnam uta sravah/

a cittam martyesu dhah//

  1. Metrum yang terdiri dari 11 suku kata :

Tristubh terdiri dari 4 baris dengan 11 suku kata pada setiap baris menjadi 2 perhentian. Metrum ini adalah yang paling umum dalam Rgveda.

Adityaso aditir madayantam/

mitro aryama varuno rajisthah//

Asmakam santubhuvanasya yopah/

pibantu soman avase no adya//

  1. Metrum yang tiap baris terdiri dari 12 suku kata :

Jagati terdiri dari 4 baris dengan masing-masing baris terdiri dari 12 suku kata, dibagi menjadi 2 perhentian.

Ananudo vrsabho dodhato vadhah/

gambhira rsvo asam astakavyah//

Radhracodah snathano vilitas prthur/

indrah suyajna usasah svar janat//

 

  1. Metrum yang terdiri dari 28 suku kata dengan 3 variasi :
  2. Usnih : 8 + 8 + 12

Agne vajasya gomatah/

isanah sahaso yaho//

Asme dhehi jatavedo mahi sravah//

 

  1. Purausnih : 12 + 8 + 8

Apsva antar amrtam apsu bhesajam/

apam uta prasastaye//

deva bhavata vajinah//

 

  1. Kakubh: 8 + 12 + 8

Adha hi indra girvanah/

upa tva kaman mahah sasrjmahe//

Udeva yanta udabhih//

 

  1. Metrum yang terdiri dari 36 suku kata yang terdiri dari 4 baris dan dibagi kedalam 2 perhentian

Brhati : 8 + 8 + 12 + 8

Sacchibir nah sacivasu/

Deva naktam dasasyatam//

Ma vam ratir upa dasat kada cana/

Asmad ratih kada cana//

  1. Metrum yang terdiri dari 40 suku kata terdiri atas 4 baris dibagi atas dua perhentian.

Satobrhati : 12 + 8 + 12 + 8

Yanaso agnim dadhire sahovrdham/

Havismanto vidhema te//

Sa tvam no adya sumana ihavita/

Bhava vajesu santya//

  1. Metrum yang terdiri dari 60 suku kata yang dibangun atas 3 baris-baris gayatri dan 1 jagati.

Atisakvari : 8 + 8 + 8 + 8 + 8 + 12 + 8

Susuma yatam adribhih/

gosrita matsara ime/

somaso matsara ime//

A rajana’ divisprsa/

asmatra gantam upa nah//

Ime vam mitra varuna gavasirah/

somah sukra gavasirah//

  1. Metrum yang terdiri atas 68 suku kata yang terdiri dari 4 baris gayatri dan 3 jagati.

Atyasti : 12 + 12 + 8 + 8 + 8 + 12 + 8

Sa no nedistham dadrsana a bhara/

agne devebhih sacanah sucetuna/

Maho rayah sucetuna//

Mahe savistha nas kridhi/

samcakse bhuje asyai//

Mahi stotrbhyo maghavan suviryam/

mathir ugrona savasa//

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial. Sebagai individu manusia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorong ia berbuat baik dan bertindak. Berbuat yang baik (Susila) yang selaras dengan ajaran agama atau dharma adalah cermin dari manusia yang Susila. Manusia Susila adalah manusia yang memiliki budhi pekerti tinggi yang bisa diterima oleh lingkungan di mana orang itu berada. Dan sebagai mahluk sosial , manusia harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya, dimana mampu mengendalikan sikap-sikap buruk dan berusaha bersikap yang sesuai dengan ajaran susila agar dapat menjadi manusia yang susila tersebut.

Didalam agama Hindu, terdapat ajaran yang bernama Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yaitu Tattwa (hakekat kebenaran), Susila (Perbuatan baik), dan Upacara (cenderung ke praktek keagamaan) dimana ketiga tersebut mempunyai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam agama hindu. Tattwa merupakan sumber/ inti dari ajaran susila. Dengan mempelajari tattwa kita bisa tau mana yang dikatakan baik, dan mana yang dikatakan jahat, yang mana nantinya kita bisa implementasikan kepada perbuatan yaitu susila.Tentunya setiap agama pasti mengajarkan umatnya untuk berbuat baik. Begitupun dengan agama Hindu yang senantiasa mengajarkan umatnya untuk berbuat baik. Disini diharapakan manusia yang merupakan mahkluk yang paling sempurna mampu mentaati ajaran agama tersebut.

Namun dizaman sekarang yang dinamakan zaman Kaliuga yaitu zaman yang lebih mementingkan materi daripada perbuatan baik, atau ketulusan dalam berbuat, dimana sikap susila atau perbuatan baik jarang ditemukan. Kebanyakan manusia saat ini lebih mementingkan diri sendiri bahkan melakukan segala hal untuk memuaskan dirinya tanpa peduli dengan ajaran susila. Dan yang paling kita lihat adalah moral generasi muda atau remaja saat ini yang sangat jauh dari ajaran susila.

Adanya perilaku trek-trekan, mabuk-mabukan, pergaulan bebas dan lain sebagainya merupakan ciri begitu lemahnya moral generasi muda. Banyak anak muda yang menghancurkan dirinya sendiri, berbuat sesuka hati tanpa memikirkan masa depan yang dia miliki nantinya seperti apa. Lalu apa pnyebab terjadinya hal-hal seperti itu? Untuk itu kami akan membuat suatu karya tulis yang berjudul “PERILAKU MENYIMPANG DARI AJARAN SUSILA” dimana yang akan diteliti lebih dalam apa itu perilaku menyimpang dan apa penyebab terjadinya perilaku menyimpang tersebut.

 

  • Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas timbul beberapa pertanyaan yang akan kami tuangakan dalam rumusan permasalahan sebagai berikut :

  1. Apa yang dimaksud dengan perilaku menyimpang?
  2. Kenapa perilaku menyimpang dapat terjadi?
  3. Dan bagaimana cara menanggulanginya
    • Tujuan Penulisan
  4. Untuk mengetahui yang mana tergolong perilaku menyimpang itu
  5. Untuk mengetahui factor-faktor penyebab terjadinya perilaku menyimpang
  6. Untuk mengetahui bagaimana cara menanggulangi agar perilaku menyimpang tidak semakin menjadi-jadi
    • Manfaat Penulisan
  7. Dapat membedakan yang mana tergolong perilaku menyimpang dan yang mana perbuatan yang tergolong susila.
  8. Dapat mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku menyimpang.
  9. Serta dapat mengetahui bagaimana cara menanggulangi perilaku menyimpang tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN

  • Susila
  • Pengertian Susila

Susila berasal dari kata “su” dan “sila”. Su adalah awalan yang berarti amat baik, atau sangat baik, mulia, dan indah. Sedangkan kata sila berarti tingkah laku atau kelakuan. Jadi Susila berarti tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial. Sebagai individu manusia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorong ia berbuat baik dan bertindak. Berbuat yang baik (Susila) yang selaras dengan ajaran agama atau dharma adalah cermin dari manusia yang Susila. Manusia Susila adalah manusia yang memiliki budhi pekerti tinggi yang bisa diterima oleh lingkungan di mana orang itu berada.

Demi tegaknya kebenaran dan keadilan di dunia ini manusia yang ber-Susila atau bertingkah laku yang baik sangat diharapkan. Manusia yang susila adalah penyelamat dunia (Tri Buana) dengan segala isinya. Apapun yang dilakukan oleh orang Susila tentu akan tercapai. Sebab, Sang Hyang Widhi Wasa akan selalu menyertainya. Orang-orang di sekitarnya selalu hormat dan menghargainya. Kalau saja di dunia ini tidak ada orang yang Susila maka sudah tentu dunia ini akan hancur dilanda oleh ke-Dursilaan atau kejahatan. Sebab, Susila merupakan alat untuk menjaga Dharma.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan.

  • Contoh – Contoh Perilaku Susila

Di dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa contoh perbuatan Susila antara lain memberi sedekah, memberi pelajaran dan nasihat-nasihat kepada orang-orang miskin, memberikan pertolongan kepada orang lain dan melaksanakan ajaran Tri Kaya Parisudha.

  • Memberi sedekah

Memberi sedekah adalah kewajiban bagi umat Hindu. Sedekah juga disebut dana. Dalam ajaran agama Hindu umatnya diharuskan untuk kepentingan orang yang menderita, dan hidup dalam serba kekurangan. Bersedekah dalam agama Hindu juga disebut yadnya.

  • Memberi Pelajaran dan Nasihat-Nasihat Kepada Orang-Orang Yang Miskin

Lebih baik memberi daripada meminta. Demikian kata-kata yang sering kita dengar. Sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan beriman, apabila suatu ketika ada orang miskin datang ke rumah kita atau ke tempat kita bekerja hendaknya kita tidak segan-segan memberikan nasihat-nasihat yang berguna bagi dirinya, sehingga orang tersebut menjadi sadar bahwa mengemis atau meminta-minta adalah perbuatan yang tidak baik. Janganlah hanya pandai memberi nasihat saja, tetapi hendaknya dilaksanakan dengan sungguh dan keteguhan iman. Hendaknya tidak ragu-ragu untuk memberikan nasihat kepada orang-orang miskin dan nasihat-nasihat tersebut hendaknya diikuti dengan contoh-contoh sehinnga dapat ditiru oleh orang lain terutama dalam hal bersedekah atau berdana punya. Sebab, apabila manusia meninggal dunia semua harta kekayaannya tidak akan dibawa mati, yang menyertai manusia setelah meninggal adalah perbuatan baik (Susila) dan perbuatan buruk (Asusila).

  • Memberikan Pertolongan Kepada Orang Lain

Memberikan pertolongan kepada orang lain adalah salah satu contoh ajaran Susila. Menolong orang lain yang sedang dalam keadaan susah atau menderita akan menyebabkan jiwa seseorang apabila meninggal akan mendapat alam sorga.

  • Melaksanakan Ajaran Tri Kaya Parisudha

Sebagai manusia yang Susila harus dapat melaksanakan Tri Kaya Parisudha, yaitu tiga perbuatan yang harus disucikan. Tri Kaya Parisudha terdiri dari:

v Manacika Parisudha yaitu berfikir yang baik

v Wacika Parisudha yaitu berkata yang baik

v Kayika Parisudha yaitu berkata yang baik dan benar

Orang yang dapat melaksanakan ajaran Tri Kaya Parisudha akan mendapatkan kebahagiaan baik di dunia ini maupun di alam akhirat. Orang yang melakukan ajaran Tri Kaya Parisudha akan dikenal oleh lingkungan tempat orang itu berada.

  • Pengertian Perilaku Menyimpang

Berikut ini adalah beberapa pengertian perilaku menyimpang menurut pandangan beberapa ahli:

  1. James Vander Zenden : Menyebutkan bahwa penyimpangan adalah perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi.
  2. Robert M.Z. Lawang : Mengungkapkan penyimpangan adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang itu.
  3. Bruce J. Cohen : Mengatakan bahwa perilaku menyimpang adalah setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
  4. Paul B. Horton : Mengutarakan bahwa penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.
  5. Lewis Coser : Mengemukakan bahwa perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.

Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.

Definisi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan (norma) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat. Namun demikian di tengah kehidupan masyarakat kadang-kadang masih kita jumpai tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan (norma) yang berlaku pada masyarakat, misalnya seorang siswa menyontek pada saat ulangan, berbohong, mencuri, dan mengganggu siswa lain. Penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan penyimpangan disebut devian (deviant). Kebalikan dari perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak menyimpang yang sering disebut dengan konformitas. Konformitas adalah bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok.

 

  • Proses Pembentukan Perilaku Menyimpang

Bagaimanakah sebenarnya pembentukan perilaku menyimpang dalam masyarakat? Dan faktor-faktor apa sajakah yang turut memengaruhinya? Mari kita bahas dalam subpokok bahasan ini.

  1. Faktor Biologis

Cesare Lombrosso, seorang kriminolog dari Italia, dalam bukunya Crime, Its Causes and Remedies (1918) memberikan gambaran tentang perilaku menyimpang yang dikaitkan dengan bentuk tubuh seseorang. Dengan tegas, Lombrosso mengatakan bahwa ditinjau dari segi biologis penjahat itu keadaan fisiknya kurang maju apabila dibandingkan dengan keadaan fisik orang-orang biasa. Lombrosso berpendapat bahwa orang yang jahat dicirikan dengan ukuran rahang dan tulang-tulang pipi panjang, kelainan pada mata yang khas, tangan beserta jari-jarinya dan jari-jari kaki relatif besar, serta susunan gigi yang abnormal.

Sementara itu William Sheldon, seorang kriminolog Inggris dalam bukunya Varieties of Delinquent Youth (1949) membedakan bentuk tubuh manusia yang mempunyai kecenderungan melakukan penyimpangan ke dalam tiga bentuk, yaitu endomorph, mesomorph, dan ectomorph yang masing-masing memiliki ciri-ciri tertentu.

1) Endomorph (Bulat dan Serba Lembek)

Orang dengan bentuk tubuh ini menurut kesimpulannya dapat terpengaruh untuk melakukan perilaku menyimpang, karena sangat mudah tersinggung dan cenderung suka menyendiri.

2) Mesomorph (Atletis, Berotot Kuat, dan Kekar)

Orang dengan bentuk tubuh seperti ini sering menunjukkan sifat kasar dan bertekad untuk menuruti hawa nafsu atau keinginannya. Bentuk demikian ini biasanya identik dengan orang jahat yang paling sering melakukan perilaku menyimpang.

3) Ectomorph (Kurus Sekali dan Memperlihatkan Kelemahan Daya)

Orang yang seperti ini selalu menunjukkan kepasrahan, akan tetapi apabila mendapat penghinaan-penghinaan yang luar biasa tekanan jiwanya dapat meledak, dan barulah akan terjadi perilaku menyimpang darinya.

  1. Faktor Psikologis

Banyak ahli sosiologi yang cenderung untuk menerima sebab-sebab psikologis sebagai penyebab pembentukan perilaku menyimpang. Misalnya hubungan antara orang tua dan anak yang tidak harmonis. Banyak orang meyakini bahwa hubungan antara orang tua dan anak merupakan salah satu ciri yang membedakan orang ‘baik’ dan orang ‘tidak baik’. Sikap orang tua yang terlalu keras maupun terlalu lemah seringkali menjadi penyebab deviasi pada anak-anak.

  1. Faktor Sosiologis

Dari sudut pandang sosiologi, telah banyak teori yang dikembangkan untuk menerangkan faktor penyebab perilaku menyimpang. Misalnya, ada yang menyebutkan kawasan kumuh ( slum ) di kota besar sebagai tempat persemaian deviasi dan ada juga yang mengatakan bahwa sosialisasi yang buruk membuat orang berperilaku menyimpang. Selanjutnya ditemukan hubungan antara ‘ekologi’ kota dengan kejahatan, mabuk-mabukan, kenakalan remaja, dan bunuh diri. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan beberapa sebab atau proses terjadinya perilaku menyimpang ditinjau dari faktor sosiologis.

1) Penyimpangan sebagai Hasil Sosialisasi yang Tidak Sempurna

Menurut teori sosialisasi, perilaku manusia, baik yang menyimpang maupun yang tidak dikendalikan oleh norma dan nilai yang dihayati. Apabila sosialisasi tidak sempurna akan menghasilkan perilaku yang menyimpang. Sosialisasi yang tidak sempurna timbul karena nilai-nilai atau norma-norma yang dipelajari kurang dapat dipahami dalam proses sosialisasi, sehingga seseorang bertindak tanpa memperhitungkan risiko yang akan terjadi.

Contohnya anak sulung perempuan, dapat berperilaku seperti laki-laki sebagai akibat sosialisasi yang tidak sempurna di lingkungan keluarganya. Hal ini terjadi karena ia harus bertindak sebagai ayah, yang telah meninggal. Di pihak lain, media massa, terutama sering menyajikan gaya hidup yang tidak sesuai dengan anjuran-anjuran yang disampaikan dalam keluarga atau sekolah. Di dalam keluarga telah ditanamkan perilaku pemaaf, tidak balas dendam, mengasihi, dan lain-lain, tetapi di televisi selalu ditayangkan adegan kekerasan, balas dendam, fitnah, dan sejenisnya. Nilai-nilai kebaikan yang ditawarkan oleh keluarga dan sekolah harus berhadapan dengan nilai-nilai lain yang ditawarkan oleh media massa, khususnya televisi. Proses sosialisasi seakan-akan tidak sempurna karena adanya saling pertentangan antara agen sosialisasi yang satu dengan agen yang lain, seperti antara sekolah dan keluarga berhadapan dengan media massa. Lama kelamaan seseorang akan terpengaruh dengan cara-cara yang kurang baik, sehingga terjadilah penyimpanganpenyimpangan dalam masyarakat.

2) Penyimpangan sebagai Hasil Sosialisasi dari Nilai- Nilai Subkebudayaan Menyimpang

Shaw dan Mc. Kay mengatakan bahwa daerah-daerah yang tidak teratur dan tidak ada organisasi yang baik akan cenderung melahirkan daerah kejahatan. Di daerahdaerah yang demikian, perilaku menyimpang (kejahatan) dianggap sebagai sesuatu yang wajar yang sudah tertanam dalam kepribadian masyarakat itu. Dengan demikian, proses sosialisasi tersebut merupakan proses pembentukan nilai-nilai dari subkebudayaan yang menyimpang.

Contohnya di daerah lingkungan perampok terdapat nilai dan norma yang menyimpang dari kebudayaan setempat. Nilai dan norma sosial itu sudah dihayati oleh anggota kelompok sebagai proses sosialisasi yang wajar. Perilaku menyimpang seperti di atas merupakan penyakit mental yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan itu kita mengenal konsep anomie yang dikemukakan oleh Emile Durkheim . Anomie adalah keadaan yang kontras antara pengaruh subkebudayaan-subkebudayaan dengan kenyataan sehari-hari dalam masyarakat. Indikasinya adalah masyarakat seakan-akan tidak mempunyai aturan-aturan yang dijadikan pegangan atau pedoman dan untuk ditaati bersama.

Akibat tidak adanya keserasian dan keselarasan, normanorma dalam masyarakat menjadi lumpuh dan arahnya menjadi samar-samar. Apabila hal itu berlangsung lama dalam masyarakat, maka besar pengaruhnya terhadap proses sosialisasi. Anggota masyarakat akan bingung dan sulit memperoleh pedoman. Akhirnya, mereka memilih cara atau jalan sendiri-sendiri. Jalan yang ditempuh tidak jarang berupa perilaku-perilaku yang menyimpang.

3) Proses Belajar yang Menyimpang

Mekanisme proses belajar perilaku menyimpang sama halnya dengan proses belajar terhadap hal-hal lain yang ada di masyarakat. Proses belajar itu dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan menyimpang. Misalnya, seorang anak yang sering mencuri uang dari tas temannya mula-mula mempelajari cara mengambil uang tersebut mulai dari cara yang paling sederhana hingga yang lebih rumit. Cara ini dipelajarinya melalui media maupun secara langsung dari orang yang berhubungan dengannya. Penjelasan ini menerangkan bahwa untuk menjadi penjahat kelas ‘kakap’, seseorang harus mempelajari terlebih dahulu bagaimana cara yang paling efisien untuk beroperasi.

4) Ikatan Sosial yang Berlainan

Dalam masyarakat, setiap orang biasanya berhubungan dengan beberapa kelompok yang berbeda. Hubungan dengan kelompok-kelompok tersebut akan cenderung membuatnya mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang paling dihargainya. Dalam hubungan ini, individu tersebut akan memperoleh pola-pola sikap dan perilaku kelompoknya. Apabila pergaulan itu memiliki pola-pola sikap dan perilaku yang menyimpang, maka kemungkinan besar ia juga akan menunjukkan pola-pola perilaku menyimpang. Misalnya seorang anak yang bergaul dengan kelompok orang yang sering melakukan aksi kebut-kebutan di jalan raya. Kemungkinan besar dia juga akan melakukan tindakan serupa.

5) Ketegangan antara Kebudayaan dan Struktur Sosial

Setiap masyarakat tidak hanya memiliki tujuan-tujuan yang dianjurkan oleh kebudayaannya, tetapi juga caracara yang diperkenankan oleh kebudayaannya itu untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Apabila seseorang tidak diberi peluang untuk menggunakan caracara ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kemungkinan besar akan terjadi perilaku menyimpang. Misalnya dalam sebuah perusahaan, pengusaha memberikan upah kepada buruhnya di bawah standar UMK. Hal itu apabila dibiarkan berlarut-larut, maka ada kemungkinan si buruh akan melakukan penyimpangan, seperti melakukan demonstrasi atau mogok kerja.

 

  • Penyebab Terjadinya Perilaku Menyimpang

Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation sebab-sebab penyimpangan/kejahatan dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

  1. Faktorsubjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir).
  2. Faktorobjektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi.

Untuk lebih jelasnya, berikut diuraikan beberapa penyebab terjadinya penyimpangan seorang individu (faktor objektif), yaitu

  • Ketidaksanggupan menyerapnorma-norma kebudayaan. Seseorang yang tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, ia tidak dapat membedakan hal yang pantas dan tidak pantas. Keadaan itu terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna, misalnya karena seseorang tumbuh dalam keluarga yang retak (broken home). Apabila kedua orang tuanya tidak bisa mendidik anaknya dengan sempurna maka anak itu tidak akan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga.
  • Prosesbelajar yang menyimpang. Seseorang yang melakukan tindakan menyimpang karena seringnya membaca atau melihat tayangan tentang perilaku  Hal itu merupakan bentuk perilaku menyimpang yang disebabkan karena proses belajar yang menyimpang. karier penjahat kelas kakap yang diawali dari kejahatan kecil-kecilan yang terus meningkat dan makin berani/nekad merupakan bentuk proses belajar menyimpang.
  • Ketegangan antara kebudayaan danstruktur sosial. Terjadinya ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial dapat mengakibatkan perilaku yang menyimpang. Hal itu terjadi jika dalam upaya mencapai suatu tujuan seseorang tidak memperoleh peluang, sehingga ia mengupayakan peluang itu sendiri, maka terjadilah perilaku menyimpang.
  • Ikatan sosialyang berlainan. Setiap orang umumnya berhubungan dengan beberapa kelompok. Jika pergaulan itu mempunyai pola-pola perilaku yang menyimpang, maka kemungkinan ia juga akan mencontoh pola-pola perilaku menyimpang.
  • Akibat prosessosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan yang menyimpang. Seringnya media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tindak kejahatan (perilaku menyimpang)Hal inilah yang dikatakan sebagai proses belajar dari sub-kebudayaan yang menyimpang.
  • Contoh – Contoh Perialku Menyimpang
    • Klasifikasi Contoh – Contoh Perilaku Menyimpang

Dari bentuk-bentuk perilaku menyimpang,contoh perilaku menyimpang dapat di klasifikasikan menjadi beberapa jenis:

  1. Penyimpangan Primer : Penyimpangan yang bersifat temporer atau sementara dan hanya menguasai sebagian kecil kehidupan seseorang.

Ciri-ciri penyimpangan primer :

  • bersifat sementara,
  • gaya hidupnya tidak didominasi oleh perilaku menyimpang, dan
  • masyarakat masih mentolerir/menerima.

Contoh penyimpangan primer :

  • Pegawai yang membolos kerja,
  • Siswa yang membolos atau menyontek saat ujian,
  • Mengurangi besarnya pajak pendapatan, dan
  • Pelanggaran peraturan lalu lintas.
  1. Penyimpangan Sekunder : Perbuatan yang dilakukan secara khas dengan memperlihatkan perilaku menyimpang. Sehingga akibatnya juga cukup parah serta mengganggu orang lain.

Ciri-ciri penyimpangan sekunder :

  • gaya hidupnya didominasi oleh perilaku menyimpang, dan
  • masyarakat tidak bisa mentolerir perilaku menyimpang tersebut.

Contoh penyimpangan sekunder :

  • pembunuhan, perjudian, perampokan, dan pemerkosaan.
  1. Penyimpangan Individu : Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Orang seperti itu biasanya mempunyai penyakit mental sehingga tidak dapat mengendalikan dirinya.

Penyimpangan perilaku yang bersifat individual sesuai dengan kadar penyimpangannya :

  • Pembandel, yaitu penyimpangan karena tidak patuh pada nasihat orang tua agar mengubah pendiriannya yang kurang baik.
  • Pembangkang, yaitu penyimpangan karena tidak taat pada peringatan orang-orang.
  • Pelanggar, yaitu penyimpangan karena melanggar norma-norma yang berlaku.
  • Perusuh atau penjahat, yaitu penyimpangan karena mengabaikan norma-norma umum sehingga menimbulkan kerugian harta benda atau jiwa di lingkungannya.
  • Munafik, yaitu penyimpangan karena tidak menepati janji, berkata bohong, berkhianat, dan berlagak membela.

Contoh perilaku meyimpang :

  • Pencurian yang dilakukan sendiri.
  • Seorang anak, dari beberapa saudara, ingin menguasai harta peninggalan orang uanya. Ia mengabaikan saudara-saudaranya yang lain. Ia menolak norma-norma pembagian warisan menurut adaptasi masyarakat maupun menurut norma agama. Ia menjual semua peninggalan harta orangtuanya untuk kepentingan diri sendiri.
  1. Penyimpangan Kelompok : Penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat yang berlaku. Pada umumnya, penyimpangan kelompok terjadi dalam subkebudayaan yang menyimpang yang ada dalam masyarakat. Contoh :Geng kejahatan atau mafia.
  1. Penyimpangan Situsional : Disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situsional/social di luar individu dan memaksa individu tersebut untuk berbuat menyimpang. Contoh : seorang suami yang terpaksa mencuri karena melihat anak dan istrinya kelaparan.
  1. Penyimpangan Sistematik : Suatu system tingkah laku yang disertai organisasi social khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai norma-norma, dan moral tertentu yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang itu kemudian dibenarkan oleh semua anggota kelompok.
  1. Penyimpangan Campuran ( Mixture of Both Deviation) : gabungan antara individu dan kelompok. Pada awalnya, seorang individu yang memiliki semacam kekuatan yang besar, kemudian memengaruhi beberapa orang untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bersifat kelompok.
  • Sifat – Sifat Perilaku Menyimpang
  • Penyimpangan Positif : Penyimpangan yang mempunyai dampak positif karena mengandung unsure inovatif, kreatif, dan memperkaya alternative. Merupakan penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai social yang didambakan, meskipun cara yang dilakukan tampaknya menyimpang dari norma yang berlaku. Contoh : seorang ibu rumah tangga terpaksa harus menjadi sopir taksi karena desakan ekonomi.
  • Penyimpangan Negatif : Penyimpangan yang cenderung bertindak ke arah nilai-nilai social yang dipandang rendah dan berakibat buruk. Dalam penyimpangan ini, tindakan yang dilakukan akan dicela oleh masyarakat dan pelakunya tidak dapat ditolerir oleh masyarakat. Contoh : pembunuhan dan pemerkosaan.
  • Penanggulangan Perilaku Menyimpang
  • Penanganan Lingkungan Sekolah

Salah satu penyebab anak usia sekolah nakal karena tidak memiliki sistem nilai sebagai pedoman didalam kehidupannya. Dengan demikian, mereka sangat mudah untuk mengadopsi sesuatu yang ada di masyarakat tanpa menyaring lebih dulu. Untuk itu sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal harus mengubah sistem pengajaran yang lebih menekankan pada aspek kognitif, ke sisitem pengajaran yang seimbang antara, kognitif, afektif, dan psikomotor.

Perpaduan ketiga aspek tersebut akan memberikan bekal kepada siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penggarapan aspek afektif akan berdampak positif terhadap perilaku siswa. Pada dasarnya setiap siswa memiliki sistem nilai, jika sistem nilai ini kita klasifikasikan maka akan mempengaruhi perilaku siswa baik secara individu maupun secara berkelompok. Penanaman sistem nilai kepada siswa di sekolah hendaknya dengan berbagai strategi dengan melibatkan semua guru bidang studi. Menanggulangi masalah kenakalan remaja termasuk pengguna narkoba khususnya disekolah perlu kerjasama antara guru agama, PPKN, bimbingan konseling, olahraga kesehatan, dan biologi secara terintegrasi.

  1. Pendekatan Melalui Agama

Guru Agama dalam menyelesaikan masalah kenakalan remaja(perilaku meympang oleh remaja) bisa dengan cara memberi tugas kepada siswa untuk mncari hal-hal berkaitan dengan ajaran agama, sehingga siswa akan memahami betul isi dari ajaran agama yang diyakini. Dengan demikian , tidak akan menyalahkan ajaran agama yang terdapat dalam pikirannya. Justru dengan kejadian itu dapat dijadikan sebagai bahan renungan atau koreksi diri apa yang telah diperbuat dengan strategi pemberian tugas tersebut diharapkan siswa mengerti, ,enyadari, dan memahami dengan penuh makna yang mereka pelajari sehingga mereka taat kan agamanya, serta mengetahui akibat jika melakukan tindakan yang salah. Pada dasarnya setiap agama melarang umatnya memakai atau mengkonsumsi Narkoba.

  1. Pendekatan Moral & Hukum ( PKN )

PKN merupakan bidang studi yang mengajarkan nilai, norma, dan moral kepada siswa, untuk itu PKN memiliki kewajiban untuk ikut menyelesaikan masalah kenakalan remaja. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara melalui proses pembelajaran dengan menggunakan multi metode dan media, sosio drama, bermain peran, liputan, diskusi, pertemuan kelas, dan pemberian tugas. Penggunaan metode ini hendaknya disesuaikan dengan pokok bahasan, situasi dan kondisi, sehingga dapat bermakna bagi siswa. Dengan menggunakan metode tersebut dapat melatih siswa untuk memilih system nilai yang akan diyakini dalam menghadapi suatu masalah. Dengan sering dilatih emosinya, diharapkan siswa dapat menyaring atau memilah-milah suatu informasi dari media massa atau masyarakat.

Guru dapat memberi tugas untuk mencari contoh masalah kenakalan remaja yang ada di masyarakat. Tugas ini diberikan kepada siswa dengan tujuan agar mereka lebihsinsitif terhadap problem yang terjadi di masyarakat. Kemudian siswa diberikan kesempatan untuk memberi komntar, penyebab dan akibat remaja melakukan perbuatatn yang menyimpang serta bagaimana mengatasinya. Tugas tersebut akan melatih siswa untuk mengetahui secara mendalam tentang permasalahan remaja dan cara-cara untuk menyelesaikannya. Kegiatan ini juga dapat melatih siswa bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya. Hal ini sejalan dengan pembelajaran portofolio dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK).

Disamping itu guru hendaknya menugaslan kepada siswanya untuk mencari pasal-pasal dalam hukum pidana (tentang perilaku menyimpang) kemudian didiskusikan di dalam kelas untuk dicari solusinya. Dalam diskusi hendaknya mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebaiknya melibatkan aparat penegak hukum sebagai narasumber untuk menjelaskan sebab akibat dari perilaku-perilaku menyimpang dan tindakan yang melanggar hukum lainnya.

  1. Pendekatan Melalui Olahraga dan Kesehatan

Olahraga adalah salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kenakalan remaja terutama pengguna narkoba. Kebanyakan pengguna narkoba mengaku memeakai narkoba untuk menghilangkan stress, mendapatkan ketenangan, mencari kesenangan dan kenikmatan, namun alasan tersebut hanyalah jalan pintas dalam menyelesaikan masalah yang dilakukan oleh remaja, sebenarnya masih banyak jalan lain untuk menyelesaikan antara lain dengan berolah raga. Sekolah hendaknya mengaktifkan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Sebab olah raga memiliki manfaat antara lain :

  • merangsang keluarnya indofirn yang merupakan morfin yang diproduksi oleh tubuh. Hal ini dapat mendatangkan rasa tenang, senang, dan sakit.
  • Mengurangi kadar garam yang tinggi. Zat ini dapat membuat cemas, pemarah dan stress.
  • Menambah oksigen otak. Cukupnya oksigen otak akan memperbaiki suasana hati dan menambah daya konsentrasi.
  • Memproyeksikan kemarahan dan kecemasan. Kemarahan dapat dilampiaskan dengan cara memukul bola keras-keras, berlari dan sebagainya.
  1. Pendekatan Melalui Bimbingan Konseling

Bimbingan konseling sangat berperan dalam menangani masalah siswa (remaja). Melalui BK diharapkan siswa mau menyampaikan masalah yang dihadapinya, karena BK memiliki keahlian khusus dalam bidang psikologi. Pendekatang yang digunakan haruslah humanis melalui sentuhan jiwa (rohani). Dengan demikian, diharapkan BK dapat dijadikan tempat berdialog para siswa dalam menghadapi suatu persoalan. Dengan pendekatan ini maka siswa merasa dilindungi (diperhatikan).

Selain itu juga perlu diadakan eazia narkoba secara rutin dan terprogram. Razia hendaknya dilaksanakan dengan semua guru yang dilakukan dengan serempak dan terorganisir sehingga siswa tidak dapat mengelak jika diketemukan membewa narkoba didalam tas maupun sakunya

  1. Pendekatan Secara Biologi

Biologi merupakan ilmu yang mempelajari makhluk hidup salah satunya adalah manusia. Dalam proses belajar mengajar guru biologi perlu menyisipkan bahasan tentang bahaya narkoba terhadap tubuh manusia. Manusia yang mengkonsumsi narkoba maka daya tahan fisik, fungsi kerja otak akan berkurang. Bahan berdasarkan hasil penelitian akibat narkoba terhadap otak adalah encernya cairan otak yang mengakibatkan lambat berpikir. Dengan penjelasan yang disampaikan guru dharapkan siswa betul-betul mengetahui akibatnya jika mereka melakukan tindakan tersebut.

  • Penanganan Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai tempat pendidikan anak pertama harus lebih peka terhadap perkembangan perilaku anaknya. Dengan demikian, diharapkan anak dapat berkembang sesuai dengan nilai, norma yang berlaku. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut yang harus dilakukanorang tua antara lain sebagai berikut :

  • Pertama harus ditanamkan nilai dan norma agama dalam diri anak. Karena agamalah yang dapat mengendalikan perilaku manusia. Jika melakukan jaran agama dengan baik maka baiklah perilakunya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berdiskusi tentang berbagai permasalahan yang dihadapi remaja ditinjau dari bidang agama dan bidang lain.
  • Kedua, orang tua harus dapat meluangkan waktunya untuk berkumpul dengan anaknya dalam rangka memehami, mengetahui kebutuhan psikis maupun fisik serta permasalahan yang dihadapi anaknya. Memecahkan masalah yang dihadapi anaknya yang sudah remaja hendaknya melibatkan seluruh anggota keluarga, dengan mendengarkan pemasukan dari semua anggota keluarga maka permasalahan tersebut dapat diselesaikan lebih baik.
  • Ketiga, orang tua harus mengetahui teman-teman dekat anaknya. Hal ini dilakukan agar dapat lebh mudah mengontrol anaknya, apakah temannya tersebut baik ataukah anak barndalan. Perilaku remaja selain dipengaruhi oleh keluarga juga oleh teman sebaya, maka dalam memilih teman bergaul juga harus memperhatikan latar belakangnya. Orang tua dengan mengetahui teman-teman anaknya dapat memberikan suatu pandangan kepada ankanya bagaimana seharusnya bergaul.
  • Penanganan Lingkungan Masyarakat (Bidang Sosial)

Kepedulian masyarakat terhadap masalah remaja perlu ditingkatkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengawasi kegiatan remaja dmasyarakat. Masyarakt hendaknya memberikan suatu saran kepada para remaja jika melakukan tindakan yangmenyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kepedulian ini juga dapat diwujudkan dengan cara melaporkan kepada yang berwajib (polisi) jika mengetahui adanya perdagangan obat terlarang, melakukan perkelahian, minum-minuman keras ataupun melakukan tindakan kekerasan yang lainnya. Kepedulian masyarakat ini akan membantu dalam mengatasi permasalahan kenakalan remaja. Hai ini yang bias dilakukan oleh mengajak masyarakat adalah mengajak remaja dalam kegiatan-kegiatan social masyarakat serta memberikan suatu ketrampilan yang berguna dalam hidupnya.

  • Penanganan Oleh Pemerintah

Generasi muda adalah pemegang tonkat estafet pembangunan bangsa. Ada sebagian masyarakat kita berpendapat bahwa jika pemuda rusak maka rusaklah bangsa, namun jika pemuda baik, maka baiklah bangsa ini.oleh karena itu, pemerintah harus dapat menyiapkan generasi muda yang beriman, berkepribadian luhur, dan kreatif. Untuk mewujudkan itu maka pemerintah harus memiliki langkah-langkah kongkrit. Langkah – langkah tersebut antara lain :

Penanggulangan Perilaku Menyimpang

  • Lebih mengaktifkan kembali kegiatan organisasi kepemudaan. Hal ini dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi remaja dengan cara berdialog antar remaja dan juga bisa digunakan sebagai kegiatan para remaja untuk berkreasi.
  • Melakukan penyuluhan tentang bahay narkoba pada remaja kota sampai remaja pedesaan.
  • Meningkatkan dan membuka pelatihan-pelatihan untuk generasi muda. Kegiatan ini akan memberikan suatu ketrampilan para remaja hingga bsa mngurangi pengangguran. Akhirnya kegiatan yang negative dari remaja dapat ditekan seminimal mungkin.
  • Memberikan hukuman yang berat bagi pelaku tindak criminal. Karena ini sangat diperlukan untuk menimbulkan efek jera pada pelakunya.

BAB III

PENUTUP

 

  • Kesimpulan

 

Dizaman sekarang yang dinamakan zaman Kaliuga yaitu zaman yang lebih mementingkan materi daripada perbuatan baik, atau ketulusan dalam berbuat, dimana sikap susila atau perbuatan baik jarang ditemukan. Kebanyakan manusia saat ini lebih mementingkan diri sendiri bahkan melakukan segala hal untuk memuaskan dirinya tanpa peduli dengan ajaran susila. Dan yang paling kita lihat adalah moral generasi muda atau remaja saat ini yang sangat jauh dari ajaran susila.Hal inilah yang disebut dengan perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.Perilaku menyimpang dapat terjadi karena d pengaruhi oleh beberapa faktor,mulai dari faktor biologis,Psikoligis,dan Sosiologis.Di samping itu Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation sebab-sebab penyimpangan/kejahatan dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

  1. Faktorsubjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir).
  2. Faktorobjektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi.

Perilaku menyimpang dapat ditangani di lingkungan sekolah,masyarakat dan keluarga.Misalnya penanganan di lingkungan sekolah dapat di lakukan dengan pendekatan agama,pendekatan moral dan hukum,serta pendekatan olahraga atau kesehatan.Sedangkan di lingkungan masyarakat penanganan perilaku menyimpang dapat di lakukan melalui keikut sertaan masyarakat dalam memperhatikan pergaulan remaja d daerahnya.Dan penanganan di lingkungan keluarga dapat di lakukan dengan cara seluruh keluarga harus memperhatikan perkembangan dan pendidikan anaknya agar anak tersebut tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah.

 

  • Kritik & Saran

Dari materi yang dibahas di atas beberapa pelajaran yang dapat kita petik yaitu pentingnya peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk memperhatikan perkembangan pendidikan dan pergaulan anak,agar anak tidak terpengaruh atau terjerumus pergaulan yang salah. Dan hal terpenting yang harus di ingat,setiap anak ingin mendapat perhatian dari orang tuanya,jadi bagi orang tua di harapkan memberikan perhatian penuh pada anaknya agar sang anak selalu bersikap sesuai dengan ajaran susila.

DAFTAR PUSTAKA

http://blog.tp.ac.id/faktor-faktor-penyebab-timbulnya-perilaku-menyimpang-pada-remaja#ixzz1pHTJTMvn

http://alfinnitihardjo.ohlog.com/perilaku-menyimpang.oh112678.html

http://rizkywahyusetiawan.blogspot.com/2011/06/cara-mengatasi-perilaku-menyimpang.html

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Pengertian Upanisad

Upanisad berasal dari kata Upa (dekat), ni (dibawah), sad (duduk), jadi dibawah dan disekitarnya. Sekelompok sisya (murid) duduk dekat sang Guru untuk mempeljari ajaran Upanisad, mengkaji masalah yang paling hakiki dan menyampaikan kepada sisya di dekat mereka. Orang-orang suci ini mengambil sikap tidak banyak bicara dalam menyampaikan kebenaran. Mereka berharap supaya bisa merasa puas, bila murid mereka berpikiran rohani dan bukannya keduniawian. Upanisad memiliki beberapa bagian didalamnya, salah satunya yaitu Maitri Upanisad.

Maitri Upanisad termasuk dalam Maitrayaniya Sakha atau cabang dari Yajur Weda Hitam. Maitri adalah guru utamanya sedangkan Maitrayana adalah nama Sakha kemana Upanisad ini termasuk. Maitri Upanisad terdiri dari 7 bab dimana 2 bab terakhir kelihatannya berasal dari waktu yang belakangan. Keseluruhan Upanisad ini memang lebih muda usianya bila dibandingkan dengan Upanisad-Upanisad klasik yang sering dibahas dalam Upanisad ini.

Teks dimulai sebagai dialog antara Raja Brihadratha dan Bagawan Śākāyana. Melalui dialog ini , Bagawan Śākāyana mengajarkan raja Brihadrata tentang filosofi Brahman seperti yang diajarkan oleh orang Bagawan Maitri. Sebagai bagiandari ajaran-Nya ,ia menceritakan dialog kuno antara kelompok orang bijak yang dikenal sebagai Valikhilya dan Prajapati-kratu .

  •  Ruang Lingkup Maitri Upanisad

Ruang Lingkup Maitri Upanisad termasuk ke dalam Veda, yaitu Yajur Veda dan terdiri dari 7 bab dan dalam bab tersebut terdapat beberapa bagian. Adapun pembagiannya sebagai berikut:

  • BAB I : membahas tentang Yadnya (upacara keagamaan) yakni Samadhi kepada Atman.
  • BAB II : membahas tentang ajaran Sakayana mengenai Atman dan ketrunan prajapati menjadi berbagai macam makhluk.
  • BAB III : membahas tentang Atman Agung dan Atman Individu
  • BAB IV : membahas tentang menunggalnya Atman elemental dengan Atman yang Agung, pengetahuan tapa & samadhi, Penyembahan berbagai dewata diperkenankan tetapi hasilnya bersifat sementara.
  • BAB V : membahas tentang konsep Tri Murti
  • BAB VI: membahas tentang wujud hubungan atman, A-U-M yang gaib, penjelasan tentang tiga dunia, pemujaan matahari denga pemujaan savitri, menyantap makanan sebagai tindakan Yadnya, purusa dan prakerthi, makanan sebagai bentuk dari atma, pentingnya waktu, metode yoga, visi dari atman, samadhi atas A-U-M, jiwa bebas, hubungan atman dengan indriya-indriya dan pikiran, serta penguasaan pikiran adalah pembebasan.
  • BAB VII : membahas tentang Atman sebagai matahari semesta dan sinar-sinarnya, Atman semseta, serta Samadhi atas A-U-M dan hasilnya.
  • Hubungan Veda Dengan Maitri Upanisad

Berdasarkan sistem pertimbangan materi dan luas ruang lingkup isinya itu penjelasan, jumlah, dan jenis buku Veda itu banyak. Walaupun demikian kita harus menyadari bahwa Veda itu mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia.

Maha Resi Manu membagi jenis isi Veda itu kedalam dua kelompok besar yang disebut :

1)     Veda sruti

2)     Veda Smrti.

Pembagian dalam dua jenis dipakai selanjutnya untuk menamakan semuajenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Veda baik secara tradisional maupun secara institusional ilmiah. Dalam hal ini kelompok Veda Sruti merupakan kelompo kbuku yang isinya hanya memuat “Wahyu” (sruti) sedangkan kelompok kedua Smrti adalah kelompok yang sifat isinya sebagai penjelasan terhadap “Sruti”. Jadi merupakan “manual”, buku pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan sruti.

Kelompok Śruti, menurut Bhagawan Manu merupakan Veda yang sebenarnya, atau Veda originair. Menurut sifat isinya Veda ini dibagi atas tiga bagian, yaitu :

  1. Bagian Mantra.
  2. Bagian Brahmana (Karma Kanda).
  3. Bagian Upanisad/Aranyaka (Jńănakanda).

Aranyaka atau Upanisad adalah himpunan mantra-mantra yang membabas berbagai aspek teori mengenai ke-Tuhan-an. Himpunan ini merupakan bagian Jńăna Kanda daripada Veda Śruti. Sebagaimana halnya dengan tiap-tiap Mantra memiliki kitab Brahmana, demikian pula tiap-tiap mantra ini memiliki kitab-kitab Aranyaka atau Upanisad. Kelompok kitab-kitab ini disebut Rahasiya Jñăna karena isinya membahas hal-hal yang bersifat rahasia. Khusunya Maitri Upanisad yang membahas tentang konsep atman Brahman yang tunggal dengan A-U-M sebagai wujud manifestasi dari Brahman itu sendiri guna merangkai kehidupan melalui penciptaan, pemelihara, serta pemralina (pelebur).

  • Tujuan dan Manfaat Maitri Upanisad
  • Untuk mengetahui konsep tentang atman dalam jaran Maitri Upanisad
  • Untuk mengetahui hubungan antara Atman dengan Brahman menurut Maitri Upanisad
  • Untuk mengetahui Atman sebagai sumber hidup dalam kehidupan.
  • Untuk menunjukkan bahwa yajnya juga mempunyai tujuan secara tidak langsung kepada cita-cita maha tinggi dari manusia.
  • Untuk mengukuhkan asas bahwa hanya ada satu Yang Tunggal yang mesti diketahui dan bermacam-macam dari Brahma, Wisnu. Siwa hanyalah berbagai segi perwujudan dari Yang Tunggal.

Manfaat mempelajari Maitri Upanisad adalah untuk menambah wawasan ajaran Agama Hindu yang mengandung tentang konsep Atman-Brahman Yang Tunggal beserta manifestasinya ke dalam bentuk Tri Murti serta cara untuk mencapai kelepasannya.

Semua yang ada didunia ini merupakan ciptaan Brahman melalui percikan kecil beliau yang dimanifestasikan melalui wujud Tri Murti (A-U-M). Pada Maitri Upanisad juga ditegaskan bahwa ada dua macam Brahman, yakni yang berwujud dan tak berwujud. Yang berwujud merupakan akibat, sedangkan yang tak berwujud sebagai penyebab. Dari konsep inilah dapat dirangkaikan bahwa Atman yang dalam keadaan Nirguna, kemudian menjadi Saguna karena pengaruh dari purusa dan prakerti maka akan membentuk jiwatman.

Segala ajaran tersebut membuat kita tah bagaimana konsep pencipataan mengapa bisa ada manusia di dunia ini. Dengan ajaran Maitri Upanisad ini kita dapat meyakini tentang ajaran-ajaran yang tertuang dalam Upanisad secara keseluruhan, maupun dalam Veda secara umum.

BAB II

PEMBAHASAN

 

  • 1 Maitri Upanisad Bab I, sloka 1:

Pada bagian ini menjelaskan tentang “Samadhi kepada atman”.

“brahma-yajno va esa yat purvesam cayanam, tasmad yajamanas citvaitan agnin atmanam abhidhyayet ; sa purnah kahlu va addha’ vikalah sampadate yajnah, kah so’ bhidhyeyo’ yam yah pranakyah; tasyopakhyanam”

Melakukan yajnya untuk brahman, sesungguhnya adalah penetapan (pembuatan) api yajnya seperti yang dilakukan pada zaman yang lalu. Karena itu seharusnya pelaku yajnya sesudah menempatkan apinya kemudian samadhi kepada atman. Dengan begitu barulah yajna ini lengkap dan sempurna.

Seperti dahulu atau sebelumnya sudah dijelaskan dalam Maitrayana Brahmana pada akhirmya akan membawa kita kepada pengetahuan tentang brahman. Tujuan upanisad ini adalah untuk menunjukkan bahwa pelaksanaan upacara sepanjang hal ini memberi manfaat kearah pengetahuan tentang atman Yang Maha Tinggi adalah juga mempunyai tujuan secara tidak langsung kepada cita-cita maha tinggi dari manusia.

  • 2 Maitri Upanisad Bab II, sloka 2 :

Pada bagian ini membahas tentang ajaran “Sakayanya mengenai Atman”.

“atha ya esa ucchvasavistambhanerordhvam utkranto vyayamano vyayamanas tamah pranudaty esa atma, ity aha bhagavan maitrih, ity evam hy aha, atha ya esa samprasao ‘smac charirat samutthaya param jyotir upasampadya svena rupenabhinispadyata ity esas atmeti hovacaitad amrtam abhayam, etad brahmeti.”

Dan sekarang, dia yang keatas tanpa memberhentikan nafasnya, bergerak kemana-mana tidak bergerak, yang bisa menghapus kegelapan, dialah atman. Begitulah dikatakan oleh Bhagavan Maitri. Sebab pernah dikatakan : sekarang yang tenang itu, dia yang naik meninggalkan raga ini, mencapai sinar yang maha tinggi dan muncul dalam bentuknya sendiri. Nah, dialah atman. Dialah yang tidak bisa mati (kekal) yang tanpa punya rasa takut,. Itulah Brahman.

Dalam sloka ini hampir sama dengan isi dari Chandogya Upanisad Bab VII .3.4 yang mengatakan bahwa Atman bangkit dari raga. Melepaskan pendapat tentang kesatuan atman dengan raga yang bergerak kesana-kesini, tetapi tidak bergerak sewaktu dia merasakan perubahan pikiran – pikiran yang disebabkan oleh kesan-kesan, dialah yang sesungguhya tidak terpengaruh oleh segalanya. Baik raga kasar maupun halus, ini adalah atma yang sedang tidur nyenyak.

  • 3 Maitri Upanisad Bab III, sloka 1:

Pada bagian ini membahas tentang “Atman Agung Atman Individu”.

“te hocuh bhagavan yady evam asy atmano mahimanah sucayasity anyo va parah ko’yam atmakhyo yo’yam sitasitaih karma-phalair abhibhuyamanah sad-asad-yonim apadyata ity avancyordhva va gatir dvandvair abhibhuyamanah paribhamati.”

Mereka (para Valikhilya) berkata (kepada Praja-pati Kratu) : Junjungan kami, apabila Paduka menyatakan kebesaran dari atman ini, maka ada juga yang lain yang juga disebut atman, yang dipengarhi oleh buah perbuatan yang gelap atau terang, memasuki peranakan yang jahat atau yang baik dan dengan demikian arah berikutnya adalah ke bawah atau keatas dimana dia selalu dipengaruhi oleh kedua hal itu (dua hal yang bertentangan seperti misalnya kenikmatan dan kesakitan).

Atman agung dan atman individu yang dimaksudkan disini adalah seperti misalnya matahari adalah brahman, maka cahaya matahari adalah atman itu. Itulah yang disebut atman yang agung dimana atman yang merupakan percikan kecil dari Tuhan, sedangkan atman individu merupakan atman yang elah berada dalam diri manusia. Atman ini diliputi oleh awidya dimana atman ini terpengaruh oleh sifat-sifat duniawi sehingga dalam hidupnya manusia harus selalu melaksanakan ajaran dharma guna bisa lepas dari awidya tersebut.

  • 4 Maitri Upanisad Bab IV, sloka 1:

Pada bagian ini membahas tentang menunggalnya “Atman elemental dengan Atman agung”.

‘te ha khalu vavordhava-retaso’tivismita abhisametocuh, bhagavan, namaste’stv anusadhi, twam asmakam gatir anya na vidyati iti, asya ko vidhir bhutatmano yenedam hitatvatmann eva sayujyam upaiti tan hovaceti”

Para Valikhilya, yang suci dengan sangat takjub mendekati beliau dan berkata : “Paduka junjungan kami, hormat kami kehadapan paduka. Mohon ajarkan kami selanjutnya. Padukalah jalan pembebasan kami dan tidak ada orang lain. Bagaimanakah caranya (hukumnya) sehingga atman elemental ini dapat bersatu dengan atman sesnggunya?”. Kemudian Praja-pati Kratu bersabda

Bahwa atman yang sesungguhnya yang murni dan tidak ternoda bisa kelihatan ternoda dan tidak murni. Ini dimaksudkan bahwa atman yang ada dalam diri bisa menyatu dengan brahman jika telah mencapai keadaan moksa. Begitupun sebaliknya atman yang merupakan percikan terkecil dari Tuhan apabila mendiami diri manusia akan ternoda oleh awidya yang disebutkan pada bab yang sebelumnya.

  • 5 Maitri Upanisad Bab V, sloka 1:

Pada bagian ini membahas tentang “Konsep Tri Murti”.

“Atha yatheyam kautsyayani stutih; tvam brahma tvan ca vai visnus tvam rudras twam prajapatih; tvam agnir varuno vayus indras nisakarah; tvam annas tvam yamas tvam prthivi tvam visvam tvam athacyutah; svarthe svabhavike ‘rthe ca bahudha samsthisis tvayi; visveswara, namas tubhyam, visvatma visma-karma-krt; visva-bhug visvamayus tvam visva-krida-rati-prabhuh; namah santatmane tubhyam, namo guhyatamaya ca, acintyayaprameyaya anadinidhanaya ca”

Ini adalah kidung pujian dari Kutsayana. Engkau adalah Brahma, dan sesungguhnya Engkau adalah Visnu, Engkau Rudra Praja-pati; engkau adalah Agni, Varuna, Vayu, Engkau adalah Indra dan Bulan. Engkau adalah makanan, Engkau adalah yama, engkau adalah tanah, Engkau adalah segalanya. Engkau adalah kekal, segalanya ada dalam dirimu dalam berbagai bentuk untuk diri mereka sendiri atau untuk akhir keadaan alamiah mereka. Penguasa jagat, puji kepadaMu, atman dari segalanya, Pencipta semuanya, Penikmat semuanya, Engkau adalh seluruh kehidupan dan penguasa semua kesenangan dan kegembiraan, puji kepadaMu, atman yang tenang, Puji kepadaMu, yang jauh tersembunyi, yang tanpa permulaan (awal) dan tanpa akhir.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Tri Murti merupakan konsep dalam agama Hindu yang terdiri dari Brahma Wisnu Siwa dimana mereka merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur (pemralina). Mereka tidak berawal dan juga tidak berakhir, namun mereka penyebab penciptaan segalanya dan bisa juga mengakhiri segalanya yang mereka ciptakan. Karena mereka merupakan penguasa yang kekal dan segala bentuk yang ada dalam diri kita merupakan bentuk dari diri mereka.

  • 6 Maitri Upanisad Bab VI, sloka 3:

Pada bagian ini membahas tentang “A-U-M yang gaib”.

“dve vava brahmano rupe murtan camurtan ca; atha yan murtam asatyam, yad amurtam tat satyam tad brahma, taj jyotih sa adityah, sa va esa aum ity etad atmabhavat, sa tredhatmanam vyakuruta, aum iti, tisro matra, etabhih sarvam idam otam protam caivasmiti, evam hy ahaitad va aditya aum ity evam dhyayata atmanam yunjiteti”

Secara pasti ada dua macam brahman, yang berbentuk dan tidak berbentuk. Yang berbentuk bukanlah nyata,; yang tanpa bentuk adalah yang nyata; itulah brahman, itulah sinar. Yang bersinar adalah matahari. Sesungguhnyalah, itu mempunyai aum sebagai atmannya. Dia membagi dirinya menjadi tiga sebab aum terdiri dari 3 huruf (a-u-m). Melalui jalan ini semuanya pada alam semesta ini dirangkaikan. Dengan demikian dikatakan: ‘orang seharusnya samadhi kepada matahari sebagai aum dan menyatu dengannya”.

Maksud dari yang berbentuk dan tidak berbentuk adalah yang punya bentuk merupakan akibat, sedangkan yang tidak terbentuk adalah penyebab. Ini dimaksudkan seperti halnya atman yang tidak berbentuk namun menyebabkan manusia mengalami suka, duka, lara, pati. Yang punya bentuk inilah disebut manusia, karena atman menjadi penyebab manusia diliputi oleh berbagai hal. Setelah Atman memasuki badan kasar, ia telah terpengaruh awidya yg menjadikannya lupa. Ini merupakan rangkaian dari konsep a-u-m dimana ketiganya merupakan bagian dari Tuhan atau Brahman itu sendiri.

 

  • 7 Maitri Upanisad Bab VII, sloka 2 :

Pada bagian ini membahas tentang “Atman sebagai matahari semesta dan sinar-sinarnya.”

“Indras tristup pancadaso brhad-grismo vyanah somo rudra daksinata udyanti, tapanti, varsanti, stuvanti, punar visanti, antar-vivarena iksanti ; anadyanto’parimato’paricchinno’paraprayojyah, svantro’ lingo’ murto’ nantasaktir dhata bhaskarah”

Indra, mantra tristubh, eirama pancadasa, mantra brhat, musim panas, nafas vyana, bulan, dewata rudra yang muncul diselatan, mereka memanaskan, mereka hujan, mereka memuji, mereka masuk kembali dan melihat keluar melalui sebuah pembukaan,. Dia yang tanpa permulaan atau akhir, tidak bisa diukur, tanpa tanda-tanda, tanpa bentuk, dengan kekuatan yang tidak habis-habisnya, pencipta, pencipta sinar (yang menyinari).

Ini membuktikan atman yang agung yang diibaratkan sebagai matahari yang tidak bisa diukur serta menjadi waktu yang melalap semuanya. Ini membuat atman yang agung, yang perkasa, patut disembah dan dihormati sebagi wujud rasa syukur atas segala kehidupan yang telah diterima. Musim panas, musim hujan, yang tidak bisa diukur dan tanpa permulaan dan akhir. Itulah yang menyebutkan atman sebagai matahari yang semesta karena kekuatannya dalam menyinari kehidupan tiada habis-habisnya.

BAB III

PENUTUP

 

  • 1 Kesimpulan

Upanisad merupakan kitab yang merupakan bagian dari Kelompok Veda Sruti. Upanisad berasal dari kata Upa (dekat), ni (dibawah), sad (duduk), jadi dibawah didekatnya. Upansiad memiliki bebrapa sub, diantaranya adalah Maitri Upanisad. Maitri Upanisad merupakan bagian dari cabang yajur weda hitam yakni Maitrayaniya Sakha.

Inti ajaran dari Maitri Upanisad adalah rahasia pemujaan atma, sang roh abadi, tantanan mencapai kebebasan untuk bersatu dengan Sang Roh Abadi itu. Inilah saripati konsepsi Hindu, sehingga dapat dikatakan bahwa Maitri Uphanisad adalah kitab suci Hindu yang layak dibaca bagi mereka yang ingin mendapat pencerahan abadi.

  • 2 Saran

Sebagai generasi Hindu sebaiknya kita harus sering-sering membaca sastra-sastra agama Hindu dimana sastra-sastra tersebut erat kaitannya dengan tatacara atau pedoman kehidupan yang harus kita lakukan di dunia ini semasa kita masih diberi kesempatan untuk menghirup udara kehidupan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta agar dapat menciptakan generasi muda Hindu yang berkualitas kedepannya.

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Siwaisme yang berkembang di India merupakan asal mula Agama Hindu. Berawal dari kelahiran dan perkembangan paham Siwaisme di daerah Jammu dan Khasmir, disekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu & Khasmir terdapat sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kelahiran paham Siwaisme di India, dan wilayah luar India, salah satunya Indonesia.

Arti kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata Siddhanta bermakna ajaran agama. Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Wedanta.

Selanjutnya bagaimana paham Saiva di Indonesia, dan di Bali khususnya? Siwaisme yang eksis di Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Buana Kosa. Buana Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu sumber pembangkit spiritual umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Karena Buana Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, terutama Saiva Siddhanta yang berkembang pesat di India selatan. Buana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu di Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci (pandita atau sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali, sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di Indonesia.

Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Saiva siddhanta. Beberapa sumber yang dimaksud adalah Bhuwana kosa,Wrhaspati tattwa,Tattwa Jnana,Ganapati tattwa,bhuwana Sang Ksepa,Siwa Tattwa Purana,Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Masih diperlukan banyak kajian mengenai Saiva Siddhanta yang diajarkan dalam susastra Hindu di Bali. Dari sekian banyak teks atau susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva Siddhanta.

Dari segi isinya bahwa ajaran Saiva Siddhanta ada disuratkan dalam bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Bali, dan ada juga yang diterjemahkan artinya dalam bahasa Indonesia. Penerapan ajaran Saiva Siddhanta di Bali sesungguhnya telah kental diterapkan dalam kehidupan masyarakat beragama hindu di Bali sejak dahulu. Hal ini terlihat dari segi penerapannya di desa adat atau desa pakraman yang ada di Bali. Melalui pemujaan, persembahan, kegiatan ritual, dan sebagainya menampakan bahwa Saiva Siddhanta sangat dipahami dan diterapkan dengan baik oleh umat Hindu di Bali.

  • Rumusan Masalah
  1. Bagaiamana perkembangan mazab Siva Siddhanta?
  2. Siapa saja tokoh penyebar Siva Siddhanta di Indonesia?
  3. Apa itu ajaran Siva Siddhanta Dualis?
  • Manfaat Penulisan
  1. Untuk mengetahui perkembangan mazab Siva Siddhanta.
  2. Untuk mengetahui tokoh penyebar ajaran Siva Siddhanta.
  3. Untuk mengetahui ajaran Siva Siddhanta Dualis.
  • Tujuan Penulisan

         Memberi tahu para pembaca tentang perkembangan Siva Siddhanta dari India sampai ke Indonesia, kemudian samapai di Bali beserta para tokoh-tokoh penyebar aliran tersebut dan memberi tahu para pembaca tentang salah satu ajaran dari Siva Siddhanta, yakni alaran Siva Siddhanta Dualis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Mazab Siva Siddhanta

            2.1.1 Siva Siddhanta di India

Sekta Siwa Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang popular di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siva Siddhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Siddhanta artinya kesimpulan sehingga Siva Siddhanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas. Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Siddhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok/intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda.

2.1.2 Siva Siddhanta di Indonesia

Ada tujuh maha rsi yaitu: Grtasamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Para Rsi inilah yang menerima wahyu Weda di India. Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte yang jumlahnya ratusan. Sekte Siwa Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya, kemudian disebarkan ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari pesraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu. Trinawindu di Bali disebut dengan Bhatara Guru, tapi ini hanya sebuah gelar Rsi Agastya di Bali.

Di Indonesia Mazab Siva Siddhanta datang pada abad ke-4 M di Kutai dibawah oleh Rsi Agastya dari benares India. Terdapat 7 yupa dengan huruf sansekerta. Jawa barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut koebon kopi). Jawa tengah terdapat kerajaan Kalianga tahun 618-906 M rajaya ratu Sima terdapat prasasti bahasa Sansekerta bergambar Tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada abad -7 mulai adanya perkembangan Buddha Mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahun 654 mendirikan Lingga disebut prasasti cangkal (Subagiasta, 2006:10).

Setelah itu banyak bermunculan candi Buddha seperti candi kalasan, Borobudur. Kerajaan Kanjuruan rajanya Dewasima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja Trimurti. Kerajaan Kediri tahun 1042-1222 rajanya Kameswara. Kerajaan Singhasari tahun 122-1292 rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan banyak candi. Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikamawardhana masa jayana Siva Siddhanta. Kerajaan pajajaran rajanya Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabu Ratu Dewata (Subagiasta, 2006:13).

2.1.3 Siva Siddhanta di Bali

Salah satu murid Maha Rsi Agastya adalah Maha Rsi Markandeya yang membawa ajaran Weda/Siwa di Indonesia. Pada saat ke Indonesia Maha Rsi Markandeya mendapatkan pencerahan di gunung Di Hyang (sekarang disebut dengan gunung Dieng) di gunung Dieng Beliau Rsi Markandeya mendapatkan pawisik agar membuat pelinggih di Tohlangkir (sekarang disebut Besakih) dan harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah delima.

            Setelah itu Maha Rsi Markandeya menetap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutinya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda. Setelah itu Maha Rsi Markandeya mentap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali.

Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda.

Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemralina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan Paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.

2.2 Tokoh Penyebar Siva Siddhanta

Pengawi dan ahli weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Siddhanta meliputi tiga kerangka agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai keempat belas yaitu:

  • Danghyang Markandeya

Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan pelinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegallalang Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Siddhanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk memohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

  • Mpu Sangkulputih

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanaan peringatan hari piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya: Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Abatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

  • Mpu Kuturan

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali, yakni Mpu Kuturan. Pada saat itu Beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol pelinggih kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

  • Mpu Manik Angkeran

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.

  • Mpu Jiwaya

Beliau menyebarkan agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dan lain-lain.

  • Danghyang Dwijendra

Datang di Bali pada abad ke-14 dari Desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain: Mpu/ Danghyang Nirarta, dan dijuluki: Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat Pakraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja Beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya: Purancak, Rambut Siwi, Pakendungan, Hulu Watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pengajengan, Masceti, Peti Tenget, Amartasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dkll. Keenam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu diluar Bali, karena di Bali sesungguh Siwa Siddhanta dan Buddha kasogatan menjadi satu dalam keseharian hidup dan ritual orang Bali.

2.3    Siva Siddhanta Dualis

Siwa Siddhanta Dualis merupakan aspek dari aliran Siwa Siddhanta Saivaisme, yang mengakui Authoritas 28 Saivagama. Apabila kita bandingkan dengan sistem filsafat India lainnya, kita mendapatkan bahwa ia memiliki dasar yang berbeda denga Vaisesika, Nyaya, Samkhya dan Vedanta.

Teori metafisika dari Siva Siddhanta dualis berbeda dengan teori Vaisesika dan ia mampu menerima teori evolusi yang sama seperti dalam sistem filsafat Samkhya. Ia memandang bahwa maya berkembang meninggalkan keadaan yang pertama untuk memasuki keadaan yang berikutnya. Sedangkan Karma menurut Siva Siddhanta Dualis merupakan sifat dari Budhi dan bukan sifat dari atmanseperti pendapat dari Vaisesika, karena mengakui karma sebagai sifat dari atman merupakan pengakuan bahwa atma tidak abadi, karena adanya perubahan, yang disebabkan oleh perubahan karma. Demikian pula halnya dengan Kala, yang menurut Siva Siddhanta Dualis tidak abadi , karena ia tak berjiwa dan banyak, seperti waktu yang lalu, sekarang dan yang akan datang, namun vaisesika mengakui bahwa “waktu itu adalah kekal”. Ia tidak mengakui adanya atom-atom abadi, seperti yang dilakukan oleh vaisesika dan nyaya, karena menurut Siva Siddhanta Dualis, semua yang memiliki kejamakan dan tidak memiliki jiwa merupakan hal yang tidak kekal.

2.3.1 Perbedaan Siva Siddhanta Dualis Dengan Filsafat Samkhya

Perbedaan Siva Siddhanta Dualis dengan sistem filsafat samkhya adalah sebagai berikut :

  1. Siva Siddhanta Dualis yang mengakui bahwa purusas atau pribadi merupakan keberadaan murni asli (puspakarapalasa-vannirlepah) seperti yang dipakai oleh filsafat Samkhya. Ia menyatakan bahwa diri pribadi memiliki ketidak murnian yang tanpa awal, karena dengan cara lain pengalaman empiris yang disebabkan kecenderungan untuk menikmati, tak dapat dijelaskan. Sistem Samkhya tak dapat mengatakan bahwa kecenderungan untuk menikmati disebabkan oleh raga atau keterikatan, karena keterikatan (raga) itu dapat berfungsi dalam hubungan terhadap sang diri saja yang tidak murni.
    1. Purusa, yang dipersamakan dengan refleksinya, jatuh apad budhi.
    2. Budhi, yang menerima pantulan dari purusa dai dalam serta pantulan benda dari luar.
    3. Pantulan benda pada Buddhi
    4. Ahamkara, merupakan hal yang bertanggug jawab guna penyatuan dua pantulan dari subjek & objek, guna mengidentifikasi pantulan subjek dengan subjek itu sendiri, guna mencapai penyatuan subjek dan objek untuk tujuan prakis, dan guna memunculkan kesadaran “aku mengetahui ini”.Konsepsinya tentang Bhoga juga berbeda dengan Samkhya. Bhoga melibatkan 4 hal, yaitu :

Adapun prosesnya adalah ang pertama Budhi menerima pantulan dari objek yang berasal dari luar dan pantulan dari subjek (purusa) berasal dari dalam selanjutnya Ahamkara mempersatukannya sehingga kedua pantulan tersebut menjadi satu maka objek menjadi bersinar yang disebabkan oleh pantulan subjek yang merupakan titik puncak proses tersebut yang disebut jnana.

Siva Siddhanta Dualis menolak penyamaan roh pribadi dengan sang diri semesta bahwa roh pribadi jumlahnya tidak terhitung. Dengan demikian terdapat tiga kategori Siva Siddhanta Dualis yaitu Maya atau mahamaya, purusa dan Siva yang juga dapat dikatakan sebagai pati, pasu, dan pasa dimana pati sebagai pengganti Siva, pasu sebagai pengganti purusa, dan pasa sbagai pengganti maya atau mahamaya. Pati terbagi menjadi siva, sakti, mantra-mahesa, mantresa, dan mantra. Sedangkan Pasu terbagi menjadi Vijnanakala, pralayakala, dan sakala. Sedangkan Pasa terbagi menjadi mala, rodhasakti, karma, maya, dan bindu.

Daya-daya dari Siva (pati) meliputi:

  1. Daya pengetahuan (jnana sakti) yang berhuungan dengan bindu yang abadi
  2. Daya kegiatan (kriya sakti)
  3. Daya kehendak (iccha sakti)
  4. Daya penciptaan (srsti sakti)
  5. Daya pemeliharaan (sthiti sakti)
  6. Daya penghancuran (samhara sakti)
  7. Daya pengaburan atau menyelubungi (trobhawa sakti)
  8. Daya pemberi anugrah (anugraha sakti)

Lima kegiatan Tuhan (panca kriya) yaitu, srsti, sthiti, samhara, tirobhawa, dan anugraha, yang secara terpisah diaggap sebagai kegiatan dari Brahman, Visnu, Rudra, Maheswara, Sadasiva.

Sedangkan pasa memiliki pembagian yaitu:

  1. Mala sebagai belenggu yang pertama yang tidak memiliki awal
  2. Maya yaitu kekeliruan
  3. Karma yaitu nasib masa lalau atau perbuatan masa lalu
  4. Nirodhasakti yaitu ketergantungan
  5. Bindu yaitu ketidak murnian.

2.3.2    Hubungan Siva Siddhanta Dualis Dengan Pasupata Dualis

Siwa Siddhanta Dualis juga dibedakan dengan Pasupata Dualis dimana Pasupata Dualis menerima 5 kategori awal, yaitu Karana, Karya, Yoga, Widhi, Duhkhantar. Tetapi Siva Siddhanta Dualis hanya menerima 3 kategori saja, yaitu Pati, Pasu, Pasa. Tampak bahwa Siva Siddhanta Dualis dipengaruhi oleh pasupata yang tampaknya lebih awal adanya karena Siva Siddhanta Dualis tampaknya meminjam konsep ‘Karana’ sebagai ‘Pati’, karena tidak ada perbedaan konsepsual antara karana dan pati dimana yang membedakannya hanya dalam masalah kata saja dan juga karena didalam pasupata sutra oleh lakulisa kita menemukan kata ‘pati’ yang dipergunakan untuk menyebut ‘karana’.

Siva Siddhanta Dualis menerima teori metateori metafisika dari Pasupata, yakni bahwa penyebab material berbeda dengan penyebab efisien tetapi ia mengadakan perbaikan pada konsepsi tentang pembebasan, karena sementara terjadi pembebasan menurut pasupata yang mengandung akhir dari segala penderitaan. Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hal itu merupakan pencapaian kesamaan, yang berkaitan dengan daya-daya pengetahuan dan kegiatan dengan jiwa.

2.3.3    Konsep Siva Siddhanta Dualis

Konsep Siva Siddhanta Dualis tentang kategori sangat dekat sekali hubungannya dengan konsepsinya tentang pemusnahan semesta dan ia berpendapat bahwa satu kategori adalah sesuatu yang ada meskipun terjadi pemusnahan semesta dan merupakan kondisi, langsung maupun tidak langsung, dari segala pengalaman empiris maupun non-empiris. Dan pemusnahan semesta adalah dimana segala sesuatu yang merupakan hasil dari maya atau mahamaya bergabung kembali kedalam penyebab materialnya dan memiliki keberadaan disana dalam keadaan yang tak terbedakanbaik kesatuannya yang merupakan kemungkinan saja dari keanekaragaman ini. ia mengakui bahwa penciptaan itu ada 2 macam, yaitu: (1) Yang murni (suddha), (2) Yang tidak murni (asuddha), dan maya juga ada 2 macam yaitu satu yang merupakan hasil, berupa kondisi yang diperlukan dari pengalaman empiris dan disebut maya saja. Sedangkan hasil yang lain berupa kondisi yang sama yang diperlukan bagi pengalaman transendental yang merupakan subjek transedental. Karena hal itu ia yang berpendapat bahwa para pemusnahan semesta semua yang menyusun kondisi material dari suatu pengalaman, bergabung kembali ke dalam sakti, yang merupakan salah satu kategori yang bebas, dimana kita akan menulis dalam konteks yang sesuai yaitu bergabung ke dalam mahamaya. Jadi, Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hanya terdapat 3 kategori awal, yaitu 4 Maya atau mahamaya, 2 purusa, dan 3 siva.

Selanjutnya aliran Siva Siddhanta Dualis juga membagi jiwa atau pasu menjadi 3 keadaan yaitu: vijanakala, pralayakala, dan sakala. Pada vijanakala sang roh hanya memiliki anavamada (keakuan) dimana maya dan karma telah terlepaskan. Pada pralayakala mereka hanya terbatas dari maya saja pada tahapan pralaya sedangkan sakala semua cacat atau ketidakmurnian masih ada. Mala-mala tersebut berpengaruh pada jiva atau roh dan bukan pada Siva. Ketiga belenggu dapat dilepaskan hanya melalui tapas yang ketat disiplin yang kerasa bantuan seorang guru diatas semuanya adalah karunia dari Siva. Carya (penyelidikan), kriya (upacara), dan yoga menyusun disiplin tersebut dan dengan pelaksanaan yang sungguh-sungguh ia mendapatkan karunia dari Siva, sehingga roh-roh dapat mewujudkan hakekatnya sebagai Siva (jnana).

Disiplin dan karunia memuncak dalam jnana yang merupakan pelepasan tertinggi atau pencapaian kebahagiaan akhir karma dan cara-cara lainnya hanya merupakan tambahan atau pembantu. Pencapaian sivatva atau hakekat jiwa bukan dimaksudkan penggabungan sepenuhnya antara roh dengan Siva karena roh yang terbebas tidak kehilangan kepribadiaanya, sivatva merupakan realisasi dari identitas inti walaupun berbeda. Roh mencapai hakekat Tuhan atau Siva, tetapi dirinya bukanlah Siva atau Tuhan. Konsep Moksa yang diakui Siva Siddhanta Dualis ada 2, yaitu para moksa dan apara moksa atau pembebasan yang lebih tinggi dan pembebasan lebih rendah.

BAB III

PENUTUP

  • Kesimpulan

Jadi Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hanya terdapat 3 kategori awal yaitu Maya, Purusa dan Siva ( atau pati pasu pasa) dimana pati sebagai pengganti Siwa, pasu sebagai pengganti Purusa dan pasa sebagai pengganti Maya atau mahamaya. Pati atau Siva sebagai kategori pertama yang bebas merup[akan penguasa ternak, yang maksudnya adalah segala penguasa makhluk hidup atau segala sesuatunya sehingga dapat dikatakan sebagai maha kuasa. Ia mersapi segalanya, abadi. Tanpa awal dan tanpa akhir. Bebas dari segala kekotoran, bebas dari segala sebab akibat, yang tetap tak berubah meskipun Ia menciptakan alam semesta ini, seperti matahari yang menyebabkan mekarnya kuncup-kuncup kembang teratai. Ia menciptakan dunia objektif yang terbatas ini, yang berasal dari penyebab material, yaitu maya, dengan daya kekuatanhya yang disebut sakti, sebagai penyebab instrument.

 

Daftar Pustaka

 

Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita

Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita

Pasek Gunawan, I Ketut. 2012. Siva Siddhanta, Tattwa dan Filsafat. Surabaya: Paramita

BAB I

PENDAHULUAN

            Doa dalam istilah Hindu disebut dengan Mantra,Stava atau Brahma yang berarti pujian atau puja yang merupakan unsur terpenting dalam upacara agama Hindu,yang menjadi salah satu pilar dari keyakian umat Hindu yang tertera dalam kitab suci Atharwa Veda XII.1.1 . Dimana ada upacara maka disana akan terdengar mantra. Ada mantra yang pengucapannya bisa didengar oleh orang lain, ada pula yang diucapkan dalam hati sehingga hanya bisa didengar sendiri. mengapamantra tersebut merupakan unsur penting dalam upacara agama? Jawabannya mantra itu sangat diyakini memiliki kekuatan suci. Tujuan maupun maksud dari penyusunan doa dalam Agama Hindu agar setiap umat Hindu mampu mengamalkan doa tersebut dengan penuh keyakinan untuk dapat mengemangkan motivasi kearah yang positif. Sebab fungsi dan tujuan doa tersebut yakni sebagai pernyataan rasa syukur atas anugrah-Nya,sebagai sadhana untuk menyucikan diri,sebagai sadhana untuk memohon agar terjauhkan dari segala hal buruk,serta memohon perlindungan. Doa juga bertujuan untuk melindungi pikiran dari berbagai investasi yang tidak perlu. Kekuatan mantra dapat menjadi pelindung pikiran. Oleh karenanya kesehatanpun akan dapat dijamin sebab pikiran dapat dilindungi dari dari berbagai macam godaan untuk memikirkan yang bukan-bukan. Pikiran selalu diarahkan untuk melakukan hal-hal positif. Dalam ilmu sastra, mantra sering disebut sastra atau hymne. Dalam konsep spiritual, mantra berasal dari kata “man” dan “yantra” yang artinya untuk melindungi pikiran. Dalam Manawa Dharmasastra II.92, pikiran adalah indria yang kesebelas. Dalam kitab suci lainnya, pikiran disebut rejendriya atau raja-nya indria. Dalam diri manusia yang berbentuk nonfisik, pikiranlah alat terpenting Atma. Mantra bertujuan untuk melindungi pikiran dari berbagai investasi yang tidak perlu. Kekuatan mantra dapat mnjadi pelindung pikiran. Oleh karenanya kesehatanpun akan dapat dijamin sebab pikiran dapat dilindungi dari dari berbagai macam godaan untuk memikirkan yang bukan-bukan. Pikiran selalu diarahkan untuk melakukan hal-hal positif. Dalam sudut ilmu sastra, hanya syair-syair Veda Sruti yang disebut mantra. Sedangkan yang terdapat dalam kitab sastra agama seperti Itihasa,Purana, maupun Dharmasastra syairnya disebut sloka. Dilihat dari kegunaannya mantra itu diambil dari tiga sumber yaitu:

  1. Veda Mantra,
  2. Purana Mantra,
  3. Tantrika Mantra.

Dari ketiga sumber ini, masing-masing mantra dapat digolongkan menjadi tiga kualitas mantra yakni :

  1. Sattvika Mantra, mantra yang diucapkan untuk pencerahan rohani, sinar kebijaksanaan, mendapatkan kasih sayang tuhan yang tertinggi, cinta kasih dan perwujudan Tuhan.
  2. Rajasika Mantra, mantra yang diucapkan untuk memperoleh kesejahteraan duniawi.
  3. Tamasika Mantra, mantra yang diucapkan untuk mendamaikan Bhutakala atau menghancurkan ilmu hitam.

Mantra dalam kitab suci Catur Veda dapat pula dibedakan menurut jenjang kesukarannya. Dari 20.389 buah mantra Catur Veda dibagi menjadi tiga jenjang kesukarannya. Hal ini dijelaskan dalam Nirukta Vedangga, yakni :

  1. Paroksa Mantra yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena mantra ini hanya dapat dijangkau arti dan maknanya kalau diwahyukan oleh Tuhan. Tanpa sabda Tuhan tidak mungkin mantra ini dapat dipahami.
  2. Adyatmika Mantra yakni manra yang memiliki tingkat kesukaran lebih rendah, mntra ini dapat dicapai maknanya melalui proses penyucian diri, orang yang masih kotor rohaninya tidak dapat mengerti dan memahami arti dari mantra ini
  3. Pratyaksa Mantra, adalah mantra yang lebih mudah dipahami untuk dapat menjangkau mantra ini hanya mengandalkan ketajaman pikiran dan indria.

Karena demikian jenjang kesukaran Veda, maka Sarasamuccaya 39 maupun Vayu Purana I.201 mengajarkan cara mencapai kesempurnaan mantra-mantra Veda, yani melalui jenjang Itihasa dan Purana. Dalam Vayu Purana I.201 disebutkan sebagai berikut :

            Itihasa Punarbhayam

            Vedam Samupabrmhayet

            Bibhetyalpasrutad Vedo

Mamayam Praharisyati

Terjemahan:

            Hendaknya Veda dijelaskan melalui Itihasa dan Purana. Veda merasa takut jika orang-orang bodoh yang tidak dapat memahami akan memukulnya,untuk itu perlu dibantu dengan mempeljari itihasa dan purana terlebih dahulu (Wiana, 1995).

Untuk dapat mengetahui serta memahami mantra apa saja yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,maka pada makalah kali ini kelompok kami akan membahas hal tersebut dalam makalah yang berjudul “Kategori Puja Stuti dan Stava Sebagai Pedoman Praktis yang Dilakoni Umat Hindu”.


BAB II

PEMBAHASAN

            Pada pembahasan kali ini kami akan membahas kategori mantra-mantra yang digunakan dalam aktifitas harian, dan mantra yang kami angkat serta kami bahas diambil dari berbagai kitab suci Veda, serta menggunakan lebih dari satu refrensi. Serta masing-masing mantra kami lengkapi dengan terjemahan serta analisisnya.

Kategori puja stuti dan stava, mantra-mantra upasana (doa sehari-hari) kategori Sattvika, Rajasika, Tamasika :

  • Doa baru bangun (Rajasika):
  1. Om Jagrasca Prabhata Kalasca ya namah svaha

Terjemahan :

‘Om Sang Hyang Widhi Wasa, kami memujaMu karena kami telah bangun pagi dalam keadaan selamat. Semoga hari ini bermanfaat bagi kami. (In, 2006)

  1. Om uttistotistha Govinda

utista garudadwaja

utista kamalakanta

trylokyam manggalam kuru

Om karagre wasate Lakshmi

karamadye Saraswati

karawagretu Govindah

prabate katadharsanam

(posisi tangan dibuka serta mata melihat tiap ujung jari-jari tangan)

Terjemahan :

Om kami puja Dewi Lakshmi sebagai dewi kemakmuran,kami puja dan letakkan di ujung jari,semoga rahmatmu sellu memberkati kami. Pada bagian tengah jari kami puja Dewi Saraswatisebagai dewi ilmu pengetahuan,semoga cahaya pengetahuanmu senantiasa menerangi kami.Serta kami puja Engkau wahai Govinda, pengembala sapi semoga tuntunan kasihMu senantiasa menghantarkan kami pada kebahagiaan itu.

Kita yakini kekuatan di pagi hari saat baru bangun akan memberikan vibrasi baik positif maupun negatif untuk jam-jam selanjutnya pada hari yang sama,ketika kita mengawali dengan doa yang baik maka kebaikan itu juga akan menyertai kita,segalanya akan dimudahkan baik dari segi rejeki,pengetahuan khususnya bagi para pelajar, serta tuntunan agar segera mencapai kebahagiaan tersebut, layakna Krishna (Govinda) yang menggembalakan sapi-sapinya,kita juga berdoa Beliau juga memperlakukan kita demikian untuk mengarahkan kita mendekat padaNya.

  • Doa mencuci wajah (Rajasika) :
  1. Om cam camani ya namah svaha

Om om parisudha ya namah svaha

Terjemahan :

Om Sang Hyang Widhi Wasa, hamba senantiasa memujaMu, semoga wajah hamba menjadi lebih suci dan bersih. (In, 2006)

Air merupakan pilar terpenting dalam kehidupan, baik di dalam Bhuvana Agung maupun Bhuvana Alit unsur air tersebut ada, dan hamper 60% bagian dari dunia ini adalah air,begitu pula 60% dari tubuh kita adalah air. Air memiliki berbagai fungsi dan sangat membantu dalam kehidupan sehari-hari, air efeknya sangat luar biasa,tanpa air rasanya mahluk hidup tidak dapat hidup. Selain digunakan sebagai alat bantu kebutuhan pokok dalam kehidupan,air juga digunakan dalam perawatn kecantikan alami, air dengan kandungannya yang kita gunakan untuk mencuci wajah di pagi hari di lingkungan terbuka akan memberi efek pada wajah,wajah akan menjadi lebih bersih,sehat serta fresh.

            Makna dari doa penyucian wajah ini adalah harapan wajah kita selalu bersih. Bersih yang dimaksud adalah, bersih dari perbuatan yang kurang baik. Adapun wajah merupakan cermin dari hati, senang, sedih, baik, buruk terlihat dari pancaran wajah. Semoga dengan mencuci wajah yang disertai doa dapat membersihakan wajah dan hati kita.

  • Doa berkumur dan membersihkan gigi (Rajasika) :

Om sri devi yogini bhatarisma ya namah

Om ang vrakta parisudha ya namah svaha

Terjemahan :

Om Sang Hyang Widhi Wasa, hamba sujud kehadapanMu, semoga dengan doa ini gigi hamba menjadi lebih bersih. (In, 2006)

            Analisis yang kami dapat dari terjemahan doa ini adalah dengan berkumur mulut dan gigi kita menjadi bersih dari kotoran ataupun dari perkataan yang kurang baik. Dengan mulut yang bersih senantiasa akan mengluarkan kata-kata yang bersih.

  • Doa mandi (Rajasika) :

Om gangga amrta sodhamam svaha

Om sarira parisudhamam svaha

Terjemahan :

Om Sang Hyang Widhi Wasa, Engkau adalah sumber kehidupan yang abadi dan suci, semoga diri hamba menjadi bersih dan suci. (In, 2006)

            Atau dapat juga menggunakan mantra berikut :

Om gangge ca yamune caiva

            govadari saraswati

narmade sindhu kaveri

jale’smim sannidhim kuru

puspakaradyani tirthani

ganggadyah saritas tata

agacchantu pavitrani

snanakale sada mama   (Rg. X.9.8)

Terjemahan :

‘Om kami puja sungai gangga,yamuna,govadari serta sungai sindhu sebagai sumber mata air kehidupan manusia,semoga dengan rahmat dari air suciMu segala kekotoran maupun dosa dalam tubuh kami dapat terbersihkan’. (Titib, 1996)

Tubuh menjadi bersih disini dimaksudkan adalah badan kita selalu bersih dari perbuatan yang kurang baik. Senantiasa dituntun dalam setiap aktivitas agar mampu berbuat sesuai dengan kebenaran.

Seperti penjelasan sebelumnya bahwa air memiliki kandungn serta peran yang luar biasa. Dalam Hindu kita meyakini bahwa sungai adalah salah satu tempat suci kita. Kita banyak memuja dan mensucikan sungai-sungai. Contohnya seperti sungai Gangga yang kita yakini sebagai Ibu para sungai serta salah satu tempat Tirta Yatra dan tempat melukat, selain itu ada pula sungai Sindhu yang menjadi tempat cikal bakal seta awal mula peradaban umat Hindu. Ada pula sungai Yamuna, tempat favorit Krishna bermain bersama teman-temannya yang memberikan kehidupan bagi masyarakat Vrindavana. Demikian pula dengan sungai yang leinnya,sungai memberikan kehidupan bagi setiap mahluk,oleh karena itu dlam Hindu kita meyakini bahwa sungai merupakan salah satu tempat suci yang kesuciannya patut dijaga.

  • Doa menggenakan pakaian (Rajasika) :

Om tham mahadeva ya namah svaha

Om busana sarirabhyo parisudhamam svaha

Terjemahan :

Om Hyang Widhi dalam perwujudanMu sebagai Tat Purusha Mahadeva Yang Agung, pada saat hamba mengenakan pakaian ini hamba sujud kehadapanMu. Om Hyang Widhi semoga pakaian hamba menjadi suci dan bersih. (In, 2006)

Pakaian merupakan cerminan dari kepribadian seseorang,serta terkadang pakaian menunjukan profesi seseorang, jadi dalam berpakaian pun kita hendaknya menggunakan pakaian yang bersih dan rapi sehingga membawa fibrasi yang positif pada diri sendiri.Selain menggunakan mantra tersebut,kita dpat mengunakan mantra “OM Namo Narayana” sebanyak 21x.

  • Doa menghadapi makanan (Rajasika) :

Om ang kang kasolkaya isana ya namah

svasti svasti sarva deva bhuta suka

pradhana purusa sang yoga ya namah

Terjemahan :

Om Hyang Widhi, yang bergelar Isana hamba persembahkan seluruh makanan ini kehadapan-Mu, semoga semua mahluk berbahagia. (In, 2006)

Sebagai umat Hindu, kita diwajiban untuk mempersembahkan terlebih dahulu makanan yang hyendak kita makan kepadaNya. Sebagaimana dalam Begawad Gita III.13 dijelaskan bahwa menyediakan makanan untuk diri sendiri tanpa mempersembahkan kepadaNya adalah dosa. Ini dikarenakan ketika kita memasak kita membunuh mahluk hidup seperti hewan dan tumbuhan, kita harus mengembalikan terlebih ciptaan yang kita bunuh tersebut kepasda Sang Pencipta. Semoga dengan itu ciptaan yang kita bunuh mendapatkan kebahagiaan.

 

  • Doa Yajna Sesa (Sattvika) :

Om sarva bhuta suka prebhyah svaha

Terjemahan:

‘Om Hyang Widhi Wasa, hamba berikan sedikit makanan ini kepada sarwa bhuta agar mereka berbahagia’. (In, 2006)

  • Doa Makan (Rajasika) :

Om annapate annasya

no dehyanmivasya susminah

pra-pra dataran tatis urjan

no dhehi dvipade citus pade.

                                                                                    Yajur Veda XI.83

Terjemahan :

‘Ya Tuhan Yang Maha Kuasa,Engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini memberikan kekuatan,menjauhkan dari penyakit. Selanjutnya bimbinglah kami, anugrahkan kekuatan kepada kami mahluk berkaki empat dan dua’. (Titib, 1996)

Atau dapat juga menggunakan mantra ini :

            Om Brahmar panam brahma havir

            Brahmagnau brahmana hutam

            Brahmaiva tena gantavyam

Brahma karma samadhina

Aham vaisvanaro bhutva

Praninam deham asritah

prana apanah samayuktah

pacamy annam caturvidham                          

                                                                        Bhagavadgita IV.24, XV.14

Terjemahan :

‘Kepada Brahman persembahan itu, Brahman adalah menteganya, api adalah Brahman, Huta adalah Brahman, hanya kepada Brahmanlah ia harus menghadapi dengan meditasi atas karya Brahman

‘Setelah menjadi api dari hidup di dalam badan mahluk dan bersatu dengan keluar masuknya pernafasan dalam empat macam makanan. Aku cerna makanan itu’. (Titib, 1996)

Keempat macam makanan yang dimaksud yaitu yang dipecah dengan gigi yang minimum yang dirasa dengan jilatan lidah dan yang diisap melalui bibir.

  • Doa setelah menikmati makanan :

            Om Mogham annam vindate apracetah

satyam bravimi vadha itsa tasya,

naryamanam pusyati no sakhayam

kevalagho bhavati kevaladi

                                                                                    Rg Veda X.117.6

‘Orang yang tidak bijaksana tidak memanfaatkan makanan sebaik-baiknya. Aku katakan terus terang, ia sama saja dengan orang mati. Ia tidak membagikan makanan kepada rekan-rekanya, dan orang yang makan sendiri, akan menanggung dosa sendiri pula’. (Titib, 1996)

  • Doa selesai makan (Rajasika) :

Om Dir Ghayur Astu, Awighnam Astu, Çubham Astu
Om Sriyam Bhawantu, Sukkam Bhawantu, Purnam Bhawantu, Ksamasampurna Ya Namah Swaha, Om Santih, Santih, Santih Om

Terjemahan :
‘Oh Hyang Widhi, Semoga Hamba Panjang Umur, Tiada Halangan, Selalu Bahagia, Tentram, Senang Dan Semua Menjadi Sempurna. Oh Hyang Widhi, Semoga Damai, Damai, Damai,Selalu’. (In, 2006)

  • Doa Memulai Pekerjaan (Rajasika) :

     Om Awighnam Astu Namo Sidham

     Om Sidhirastu Tad Astu Swaha

Terjemahan :
‘Ya Tuhan, Semoga Atas Berkenanmu, Tiada Suatu Halangan Bagi Hamba Memulai Pekerjaan Ini Dan Semoga Berhasil Baik’. (Titib, 1996)

Atau dapat menggunakan mantra berikut :

     Om vakra tunda mahakarya

     suryakoti samapraba

     nirvighnam kurume dewa

     sarva karyesu sarvada

Terjemahan:

‘Ya Tuhan berkatilah apa yang hamba kerjakan,semoga semua berjalan dengan lancar’

Atau dapat menggunakan mantra berikut :

     Om Eka danta ya vidmahe

     Vakra tunda ya dhimahi

     tanno dante pracodayate

Terjemahan :

     ‘Ya Tuhan dalam manifestasi sebagai Dewa Ganesha, sebagai dewa pelindung dari segala mara bahaya, semoga Engkau melindungi kami,semoga apa yang kami kerjakan berjalan lancar’.

  • Doa Selesai Bekerja / Bersyukur (Rajasika) :

     Om Dewa Suksma Parama Acintya Ya Namah Swaha,

     Sarwa Karya Prasidhantam

     Om Santih, Santih, Santih, Om

Terjemahan :
‘Ya Tuhan, dalam wujud Parama Acintya Yang Maha Gaib dan Maha Karya, hanya atas anugrahMulah maka pekerjaan ini berhasil dengan baik semoga damai, damai di hati, damai di dunia, damai selamanya’. (Titib, 1996)

  • Doa memohon Inspirasi (Sattvika) :

Om Prano Dewi Saraswati Wajebhir Wajiniwati Dhinam Awinyawantu

                                                                                          Rg Veda VI.61.4

Terjemahan :
‘Ya Tuhan Dalam Manifestasi Dewi Saraswati, Hyang Maha Agung Dan Maha Kuasa, Semoga Engkau Memancarkan Kekuatan Rohani, Kecerdasan Pikiran, Dan Lindungilah Hamba Selama-Lamanya.’ (Titib, 1996)

Atau dapat menggunakan mantra berikut:

     Om sri gurubyo namah hari Om

     Gananam tvam ganapati gum havamahe

     Kavimka vinam upma sravastamam

     Jestarajam brahmanam

     Brahmanasphata anah

     Srunva notibi siddha sadhanam

     Prano devi sarasvati

     Vajhebir vajinivati

     Dhinama vitraiya vantu

     Ganesha ya namah

     Saraswatyai namah

     Sri guru byo namah hari Om

                                                                        Rg Veda 61.4.1

Terjemahan :

     ‘ Ya Tuhan dalam manifestasimu sebagai Sad Guru, sembah hamba kepada-Mu.

     ‘ Ya Tuhan Ganesha yang sesungguhnya adalah Brahma, Vishnu dan Siva yang merupakan pemimpin dari semua gana, para bidadari, para deva, mahluk setengah deva dan semua gana di segala planet.

     ‘Semua maha guru dan penyair melakukan meditasi di hadapan-Mu dalam mewujudkan dan memuliakan semua kemasyuran-Mu. Engkaulah yang dipuja di junjung serta dihormati, yang memberikan anugrah terhadap segala jenis sadhana spiritual terhadap mereka yang mencari kebenaran Brahman’. (Veda Sruti Rg Veda Samhita, 2004)

  • Doa memohon kecerdasan (Sattvika) :

Om Saraswati namah stubyam

Varadhe kama rupini

Vidyarambha karisyami

Sidhir bhavantu me sada

Terjemahan :

     ‘Ya Tuhan dalam perwujudanMu sebagai Dewi Saraswati, ilmu pengetahuan yang Engkau miliki agar dapat menerangi segala yang ada’.

Atau dapat menggunakan mantra berikut:

     Om Pawakanah Saraswati Wajebhir Wajiniwati Yajnam Wastu Dhiyawasuh

Terjemahan:
‘Ya Tuhan, sebagai manifestasi Dewi Saraswati, Yang Maha Suci, anugerahilah hamba kecerdasan dan terimalah persembahan hamba ini’.

  • Doa membaca kitab suci (Sattvika) :

Om Awighnam astu namo siddham

Om siddhirastu tat astu svaha

Om a no badrah kerta voviantu visvatah

Terjemahan:

     ‘Ya Tuhan Yang Maha Agung semoga tiada halangan dan rintangan dan segalanya berhasil’

     ‘Ya Tuhan semogga segalanya berjalan begitu adanya’

     ‘Ya Tuhan semoga semua terberkati’. (Titib, 1996)

  • Untuk doa memulai membaca Bhagavad Gita dapat melantunkan mantra berikut (Sattvika) :

     Om Namo Bhagavate Vasudevaya 3x

Terjemahan :

     ‘Om kami puja Vasudeva (Sri Krishna) sebagai kusir buddhi kecerdasan,semoga kami terberkati’. (Prabupada, 2006)

  • Gayatri Mantram (The Mother Of Mantra) (Sattvika) :

     Om Bhur Bhuvah Svah

     Tat savitur varenyam

     Bhargo devasya dimahi

     Dhiyo yo nah pracodayat

Terjemahan :

     ‘Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Sang Bhumi. Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Alam Semesta. Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Kehampaan yang menyelimuti bumi dan alam semesta ini.  Kami bersemedi ke arah Cahaya Ketuhanan Sang Surya, semoga cahaya surgawi ini menerangi aliran pikiran yang ada di dalam budhi (intelek) kami.” (s., 2013)

  • Berikut beberapa bentuk mantra Sadhana sesuai dengan Ista Dewata beserta Saktinya masing-masing (sattvika) :
  • Ganesha:

     Om Ekadanta ya vidmahe

     Vakratunda ya dhimahe

     Tanno dante pracodayat

Terjemahan:

     ‘Ya Tuhan,dalam perwujudanMu sebagai Dewa Ganesha,kami puja semoga kami terlindungi dari segala sesuatu yang buruk’. (Surpi, 2013)

  • Lakshmi :

Om Mahalakshmi ca vidmahe

Vishnu padmi ca dimahe

Tanno Lakshmi pracodayate

 

Terjemahan :

    “Ya Tuhan dalam perwujudanMu sebagai Dewi Lakshmi, sembah sujudku padaMu, semoga kemakmuran serta kejayaan menyertai kami’. (Surpi, 2013)

  • Durga Gayatri :

Om Katyayana ya Vidmahe

kanyakumari dimahe

tanno durge pracodayate

Terjemahan :

     ‘Ya Tuhan dalam perwujudanMu sebagai Dewi Durga, sembah sujud kami kehadapanMu, semoga segala sesuatu negative dalam diri kami sirna serta kekuatanMu selalu menyertai kami’. (Surpi, 2013)

  • Krishna gayatri :

Om Devaki Nandana ya vidmahe

Vasudewa ya dimahe

Tanno Krishna pracodyate

Terjemahan :

     ‘Ya Tuhan dalam perwujudanMu sebagai anak dari ibu Devaki serta ayah Nanda dan Vasudeva, wahai Engkau yang menjadi kusir kecerdasan,Sri Krshna terimalah sembah kami’. (Surpi, 2013)

Sadhana mantra merupakan mantra-mantra yang dipergunakan untuk dapat meningkatkan sadhana kita kepada Tuhan melalui manifestasinya dengan cara setiap melakukan puja atau sembahyang mengucapkan nama suci dengan mantra sadhana dari masing-masing Ista dewata yang kita percayai. Setiap orang memiliki Ista dewata yang berbeda, ketika kita mengetahui dewa atau dewi siapakan yang menjadi Ista Dewata kita maka pemujaan terhadapNya akan lebih mudah dan kita akan meras langsung klik. Bagi yang belum mengetahui Dewa atau Dewi siapakah yang menjadi Ista Dewatanya, maka ada cara mudah untuk mengethuinya, sebelum tidur kita panggil dan kita visualisasikan secara benar-benar dan tulus dan undang Beliau untuk hadir dalam mimpi kita agar kita cepat mengetahuinya.

  • Doa Mahamrtyunjayamantra :

Om Tyayambhakam yajamahe

Sugandhim pusti varadhanam,

urvarukam iva bandhanat

mrtyor muksiya mamratat.

Rg Veda VII.59.12

Terjemahan :

            ‘Kami memuja Hyang Rudra (Trayambhaka) yang menyebarkan keharuman dan memperbanyak makanan. Semoga Ia melepaskan kami, seperti buah mentimun dari batangnya, dari kematian dan bukan dari kekekalan’. (Titib, 1996)

Atau dapat menggunakan mantra berikut:

Om Om Jaya Jiwat Sarira Raksan Dadasime
Om Mjum Sah Waosat Mrityun Jaya Namah Swaha

Terjemahan :

     ‘Oh Sanghyang Widhi Wasa Yang Maha Jaya yang mengatasi segala kematian kami memujaMu. lindungilah kami dari marabahaya’.

Atau doa berikut ini :

Om Sarwa Papa Winasini Sarwa Roga Wimocane Sarwa Klesa Winasanam Sarwa Bhogam Awapnuyat

Om Srikare Sapa Hut Kare Roga Dosa Winasanam Siwa Lokam Mahayaste Mantra Manah Papa Kelah

Terjemahan :
‘Oh Sanghyang Widhi Wasa, terimalah segala persembahan kami. Engkau musnahkan segala malapetaka. Engkau bebaskan segala derita, dan Engkau jauhkan segala penyakit. Oh Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang dipuja sebagai penguasa alam semesta, Engkau menjiwai inti segala mantra, bebaskanlah segala dosa dan derita, serta tuntunlah kami ke jalan yang benar’.

  • Doa memohon bimbingan spiritual (Sattvika):

Om Asato ma sadgamaya

tamaso ma jyotir gamaya

mrtyor ma amrtam gamaya

                                                                                                Brh. Ar. Up. 1.3.28

Terjemahan :

            ‘Ya Tuhan bimbinglah kami dari yang tidak benar, menuju yang benar. Bimbinglah kami dari kegelapan (pikiran) menuju cahaya (pengetahuan) yang terang. Bimbing kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi’. (Titib, 1996)

  • Doa Santipatha (Santi mantra) (Sattvika) :

Om Dyauh santir antariksam santih

prthivi santir apaha santir

osadhayah santih vanaspatayah santir

visve devah santir brahma santih

sarvam santih santir eva santih

sa ma santir edhi

Yayur Veda XXXVI.17

Terjemahan :

     ‘Ya Tuhan Yang Mah Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit,damai di angkasa, damai di bumi,damai di air damai pada tumbuh-tumbuhan, damai bagi para pepohonan, damai bagi para dewata, damailah Brahma, damailah alam semesta. Semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami.’ (Titib, 1996)


BAB III

PENUTUP

  • Kesimpulan

Dari pemaparan materi pada makalah diatas,maka dapat ditarik kesimpulan, mantra merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan yadnya umat Hindu. Fungsi dan tujuan dari pelatunan mantra atau doa yakni sebagai pernyataan rasa syukur atas anugrah-Nya,sebagai sadhana untuk menyucikan diri,sebagai sadhana untuk memohon agar terjauhkan dari segala hal buruk,serta memohon perlindungan. Doa (mantra) juga bertujuan untuk melindungi pikiran dari berbagai investasi yang tidak perlu. Kekuatan mantra dapat menjadi pelindung pikiran. Oleh karenanya kesehatanpun akan dapat dijamin sebab pikiran dapat dilindungi dari dari berbagai macam godaan untuk memikirkan yang bukan-bukan. Tiga sumber mantra dalam Hindu diambil dari Veda mantra, Purana mantra, dan Tantrika mantra. Terkait dengan sumber tersebut maka mantra dikategorikan dalam tiga kualitas mantra yakni Sattvika mantra, Rajasika mantra, Tamasika mantra. Dalam kehidupan sehari-hari mantra-mantra tersebut di aplikasikan kedalam mantra upasana (doa sehari-hari) baik yang masuk kedalam yadnya, yang bersifat insidental.

DAFTAR PUSTAKA

In, P. H. (2006). Himpunan doa agama hindu. Jakarta: Media Hindu.

Prabupada, S. (2006). Bhagavad Gita menurut aslinya. Hanuman Sakti.

s., m. m. (2013, Juni). http://shantigriya.tripod.com/sastra/gayatri/gayatri.htm. Retrieved 12 08, 2013, from http://shantigriya.tripod.com

Surpi, N. K. (2013). Teologi Hindu memahami Konsep Ketuhaan dalam Agama Hindu. Denpasar: Vivekananda Press.

Titib, I. M. (1996). Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.

Veda Sruti Rg Veda Samhita. (2004). Surabaya: Paramita.

Wiana, K. (1995). Yajna dan bhakti dari sudut pandang Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.

BAB I

PENDAHULUAN


  • LATAR BELAKANG

Pindah agama atau konversi agama sudah sering terdengar di telinga masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini konversi agama yang terjadi karena propaganda oleh suatu agama hal itu identik dengan kejahatan agama dan atau kejahatan teologis. Konversi agama yang terjadi pada seseorang yang disebabkan karena benar – benar dorongan dari dalam adalah sebuah panggilan karma.Tetapi konversi agama yang disebabkan oleh pengaruh luar seperti propokasi, olok – olok dari pihak lain, seperti adanya propaganda dari para misionaris merupakan kejahatan agama yang patut disayangkan.

Sesungguhnya tidak ada agama yang baik dan tidak ada agama yang buruk kecuali jika dilihat dari tindakan dan pola tingkahlaku dari para penganut agama tersebut.sesungguhnya yang terpenting adalah bagaimana seseorang itu dapat melihat bahwa tidak hanya agama yang dianutnya saja, yang dibutuhkan oleh sebagian manusia lainnya. Konversi agama tidak hanya terjadi pada masa modern saja tapi sudah ada sejak abad ke -14 ( konversi raja Kutai ) dan abad ke-19 di Bali, dimana pada jaman ini konversi agama terjadi melalui perang . dalam hal ini perang dalam arti keras berupa perang fisik, bentrok fisik, dan perang dalam arti lembut seperti perang ideology, teologi, tekhnologi, dan ekonomi.

Jika dahulu konversi agama dilakukan dengan perang senjata, kontak fisik, namun kini pada jaman modern melalui buku, surat kabar, masalh, brosur, serta kecerdasan intelektual, dan senjata yang paling ampuh adalah uang karena pada jaman modern ini tentu tidak aka nada orang yang menolak uang. Nah sekarang bagaimana dengan Hindu? Apakah kita telah merasakan hal tersebut? Apakah kita sudah menyiapkan senjata untuk bertempur dengan paramisionaris atau hanya terdiam dan meninabobokan hal ini agar tidak menjadi hal besar dan semakin mendesak agama hindu?

  • RUMUSAN MASALAH
  1. Apa faktor pedorong terjadinya konversi agama?
  2. Bagaimana proses terjadinya konversi agama di Bali?
  3. Bagaimana implikasi konversi agama terhadap Bali?
  • TUJUAN PENULISAN
  1. Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya konversi agama
  2. Untuk mengetahui proses terjadinya Konversi agama di Bali.
  3. Untuk Mengetahui dampak terhadap perubahan budaya Bali akibat konversi agama.

BAB II

PEMBAHASAN


 2.1 Faktor pendorong terjadinya konversi agama

Terjadinya konversi agama terjadi karena beberapa hal diantaranya :

2.1.1 Ketidakpuasan atas system adat dan agama.

            Sejak dulu sebagian kecil masyarakat Bali menunjukkan ketidakpuasan terhadap sistem adat dan agama. Selain itu, kelompok – kelompok yang ada di masyarakat memperlihatkan kepekaan yang berbeda terhadap doktrin keagamaan tertentu. Kerumitan banten yang dikaitkan dengan ekspresi keimanan, aturan adat yang kaku serta tidak adanya kelonggaran bagi anggota masyarakat untuk menjalankan ajaran agama menjadi keluhan yang belum terjawab. Hal ini menimbulkan goncangan sosial yang pada akhirnya menimbulkan anomi. Para penderita deprivasi ekstrim dan anomi memperlihatkan daya tanggap yang besar terhadap agama yang mengkhotbahkan pesan keselamatan.

2.1.2 Krisis individu.

           Manusia kerap mengalami krisis yang disebabkan oleh banyak hal seperti kondisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup, keretakan keluarga, perceraian, korban kekerasan atau perasaan berdosa karena merasa telah melakukan perbuatan tercela. Orang yang mengalami krisis cenderung mencari nilai baru, guna mendapatkan pemecahan dari persoalan yang dihadapi. Agama Kristen termasuk agama yang menawarkan pesan keselamatan yang membawa seseorang pada rasa damai sejahtera. Perpindahan agama diharapkan mampu membawa perubahan dalam hidupnya.

2.1.3 Ekonomi dan lingkungan sosial.

           Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab seseorang pindah agama. Meletusnya Gunung Agung tahun 1963 diiringi dengan gelombang wabah dan kegagalan panen menimbulkan paceklik hampir di seluruh Bali. Hal itu dimanfaatkan oleh badan misi Kristen untuk memberikan bantuan seperti gandum dan alat-alat dapur maupun memberikan keahlian dengan tujuan imbalan masuk Kristen. Selain itu, banyak orang Bali karena belitan kemiskinan bersedia masuk Kristen dengan harapan mendapatkan bantuan dan terjadi peningkatan ekonomi. Kristen memiliki lembaga ekonomi yang mapan yakni Maha Bhoga Marga (MBM) yang memberikan kredit ringan bahkan bantuan Cuma Cuma untuk peningkatan ekonomi masyarakat kecil. MBM berdiri sejak 15 Januari 1963 yang pendanaannya berasal dari diakonia (dana yang terhimpun dari umat Kristen). Selain itu masih banyak lembaga sosial yang memiliki misi serupa, selain badan penyiaran seperti radio Kristen.

2.1.4 Pengaruh ilmu kebatinan, Kehausan rohani dan janji keselamatan.

           Ilmu kebatinan yang diajarkan Raden Atmaja Kusuma di Singaraja menjadi loncatan awal bagi kekristenan di Bali. Ajaran mistik ini sepintas mirip dengan ajaran Kristen di mana pencapaian spiritual dapat dicapai dengan pencerahan rohani, bukan dengan upacara yang besar. Umat Hindu yang mengalami kehausan rohani dulunya memang sulit mendapatkan jawaban, karena sedikitnya tokoh yang bisa memberikan pelayanan rohani.

2.1.5 Keretakan keluarga dan urbanisasi.
Keluarga yang tidak harmonis mendorong terjadinya konversi. Anggota keluarga yang merasa terlempar dari ikatan keluarga dan merasa sebatang kara tanpa ada yang memperhatian cenderung akan mencari komunitas baru yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi dalam kehidupannya.

2.1.6 Perkawinan dan urutan kelahiran dalam keluarga.

           Perkawinan seringkali menimbulkan terjadinya konversi agama. Wanita Bali yang kawin dengan pria Kristen sebagian besar akan mengikuti agama suami karena sistem patrialistik dari masyarakat Bali. Namun tidak sedikit justru pria Hindu yang mengikuti agama calon istrinya. Selain itu, urutan kelahiran dalam keluarga sangat berpengaruh. Di mana anak laki-laki yang bukan merupakan pewaris keluarga lebih mudah untuk beralih agama karena tidak terikat tanggung jawab dalam keluarganya. Juga mereka bukan penanggung jawab utama baik dalam melakukan pengabenan bagi orang tuanya maupun mengurus sanggah dan warisan keluarga.

2.1.7 Kegiatan penginjilan yang agresif.

           Kristen memang merupakan agama missioner. Tugas penginjilan bukan hanya dilakukan oleh penginjil profesional, tetapi juga oleh seluruh gereja dan jemaat. Banyak warga yang masuk Kristen karena kegiatan penginjilan yang mempropagandakan kehidupan yang lebih baik.

2.1.8 Lemahnya pemahaman teologi (Brahmavidya).

Masyarakat Hindu di Bali yang menjalani agama cenderung dengan berbagai upacara menyebabkan teologi tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pelajaran agamanya. Ketidaktahuan ini tentu saja merugikan dialog antar pemeluk agama maupun dengan penginjil yang memang mapan dalam berdebat. Delapan factor utama diatas  sesungguhnya berpangkal pada lemahnya pemahaman atas ajaran Hindu, sehingga para converts dengan mudah meninggalkan Hindu.

2.1.9 Dialog yang intensif

Delapan faktor utama itu ternyata tidak berdiri sendiri, melainkan konversi terjadi karena akumulasi banyak faktor. Dari penelitian yang dilakukan, salah satu konversi bisa terjadi karena perkawinan, ditambah dengan adanya dialog yang intensif dan pembelajaran serta lemahnya pemahaman atas agama Hindu.

Atau dengan terjadinya krisis individu yang tidak mendapatkan jawaban dalam pandangan hidup lama, ditambah dengan lemahnya pemahaman teologi dan kuatnya daya tarik komunitas Kristen yang tidak mengenal sanksi baik moral maupun material seperti dalam sistem adat Bali. Namun sebagian besar converts mengakui tidak pernah belajar Hindu secara baik dan tidak memahami teologi Hindu.

Hampir tidak ada konversi yang terjadi tanpa didahului dialog dengan mempertanyakan agama lama dan keunggulan agama Kristen. Dalam dialog dengan pemahaman yang minim, penganut Hindu memang sering kewalahan dengan umat Kristen yang dengan jelas mampu memaparkan keimanan, ibadah maupun teologi kekristenan. Olehnya sudah selayaknya para pemuka Hindu, majelis Hindu maupun tokoh-tokoh Hindu memikirkan penanaman teologi dan pentingnya dialog dalam pergaulan di era global yang tidak dapat dihindari ini.

 

2.2 Proses terjadinya konversi agama di Bali

2.2.1 Proses penerimaan Keyakina baru

Penerimaan warga Bali terhadap kekristenan lebih banyak karena terjadi goncangan, baik goncangan social maupun dari dalm diri berupa krisi individu. Jarang terjadi kasus yang mana seseorang langsung memutuskan untuk beralih kepercayaan tanpa suatu proses yang panjang. Sebagian pula terjadi tanpa krisis tetapi dengan debat teologis antara pemeluk Hindu dan pemeluk Kristen. Dalam debat ini, keimanan masing-masing dipertanyakan, baik secara rasional maupun faktor rohaniah.

Secara umum seseorang atau sekelompok orang awalnya mengalami krisis dan persoalan dalam hidupnya, hali tersebut menimbulkan kegamangan. Dalam kondisi ini tidak sedikit yang mempertanyakan kebenaran agama yang dianut serta Tuhan yang dipuja. Krisis ini akan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan kebenaran yang dianut. Akhirnya terbuka ruang untuk nilai-nilai baru atau hal baru dalm hidupnya. Seseorang atau sekelompok orang ingin mendapatkan makna baru dalam hidup sekaligus komunitas baru yang membuatnya nyaman. Sampai disini pun merupakan proses yang penting baik berupa penerimaan maupun penolakan terhadap ajaran atau nilai baru yang dikenal atau ditawarkan.

Proses ini lebih banyak berupa debat teologis yang akhirnya mempertanyakan agama lama yang dianut dan komunitas lama, sehubungan dengan krisis dan persoalan yang dihadapi. Debat ini berakhi pada penerimaan terhadap konsep baru yang berupa harapan keselamatan yang ditawarkan oleh agama Kristen. Selain itu, perbedaan komunitas Kristen dan pola kerjasama dalam desa adat menjadi daya tarik tersendiri. Pada termin ini tak jarang komunitas Kristen dianggap memiliki keunggulan cultural yang memungkinkan seseorang dihargai dan diterima.

2.2.2 Pola Penerimaan dan pembinaan umat Kristen

Sama seperti agama lainnya, masuknya seseorang ke agama Kristen melewati suatu proses tertentu. Dalam Kristen dikenal dengan upacara pembabtisan dan sidi, yang diawali dengan proses katekisasi. Awal kekeristenan di Bali, pembabtisan yang umum dilakukan yakni dengan babtis selam. Pembabtisan yang paling terkenal dan menggemparkan adalah pembabtisan di Tukad Yeh Poh, dimana para penganut Kristen baru itu melewati doa pembabtisan dan kemudian dibenamkan di ai sungai yang mengalir. Selain itu juga ada babtis yang dilakukan dengan cara dibenamkan dalam bak besar yang sengaja disiapkan untuk itu.

Pola pembinaan kepada umat Kristen yang bau menjadi anggota jemaat gereja juga berlangsung sistematis. Para calon babtis diberi pelajaran selama tiga bulan terdiri dari penjelasan agama Kristen, tetntang peengertian, maksud dan tata cara ibadah serta teologi Kristen tentang siapa saja yang dipuja dalam agama Kristen. Semua penjelasan ini dibuat dengan sederhana. Mudah dipahami, rasional dan memperkuat keimanan. Katekisasi kadang berlangusung lebih lama, guna meempersiaplkan seseorang untuk masuk Kristen. Semua penjelasan ini dibuat dengan sederhana, mudah dipahami, rasional dan memperkuat keimanan. Katekisasi kadang berlangsung lebih lama, guna mempersiapkan seseorang untuk masuk Kristen. Para calon babtis ini disebut Katekis atau Kerekumen. Setelah pelajaran dianggap cukup, barulah seseorang akan dibabtis untuk disahkan menjadi Kristen. Babtis dewasa ini langsung dirangkaikan dengan sidi yakni pengukuhan dewasa seorang Kristen.

 

2.2.3 Skenario Konversi Agama di Bali

Skrenario Konvesi Agama secara umum terdiri atas masa perintisan, Masa penggarapan ladan misi dan pendirian gereja dan pembinaan umat. Masa penggarapan mereka bukan hanya membawa Injil dan berita gembira tetapi juga disertai dengan tenaga medis, pendirian sekolah maupun jangkauan ekonomi. Masa pendirian gereja dan pembinaan umat, tetapi misi terus berjalan dengan sumber daya yang lebih besar serta membangun media komunikasi yang intentif.
Masa perintisan tertdiri atas pengiriman ilmuwan kebali untuk mempelajari atau meneliti adat istiadat Bali guna membukakan jalan bagi penginjilan. Pengiriman tenaga penginjilan untuk menyelidiki keadaan dengan menyamar sebagai touris. Mereka ini kadangkala sebagai pekerja tetapi sesungguhnya pekerja Kristen paruh waktu. Pengiriman tenaga professional sebagai pekerja keliling terutama menjual injil dan literature Kristen. Cara kerja ini sangat terorganisir dalam badan misi dunia.

2.3. Implikasi Konversi Agama terhadap Bali

2.3.1 Goncangan Adat akibat Konversi Agama

Keputusan yang diambil oleh sebagian kecil masyarakat untuk berpindah agama dari sebelumnya beragama Hindu ke Kristen Protestan dan Katolik telah mengakibatkan sejumblah kegoncangan, baik di tingkat desa pakraman maupun keluarga. Penghancuran tempat suci (sanggah, pura paibon bahkan pura yang lebih besar) oleh meereka yang masuk Kristen menjadi penyebab ketersinggungan dan kemarahan orang-orang Hindu. Penghancuran ini sebagai bentuk kesetiaan mereka terhadap agama yang baru. Selain itu pemeluk Kristen dilarang mengambil bagian dalam kegiatan adat yang dianggap sebagai kegiatan yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Bahkan secara terang-terangan menyebut tempat pemujaan Hindu sebaagai tempat penyembahan berhaala yang harus segera dimusnahkan ketika mereka menerima kekristenan(Sudhiarsa, 1995).

2.3.2 Keretakan Keluarga Akibat Konversi Agama

Keluarga bagi orang Bali bukan saja satu unit kecil masyarakat, namun juga berhubungan dengan sanggah pemujaan yang menjadi tanggungjawab segenap keturunan untuk melanjutkan pemujaan tersebut. Hilangnya salah satu anggota keluarga yang berpindah agama berarti pula semakin sedikit yang memanggul tanggung jawab itu. Dalam sejumlah lembar sejarah kekristenan, disebutkan penganut Kristen pertama di Bali adalah Nicodemus I Gusti Wayan Karangasem yang dibabtis tahun 1873. Keluarganya menganggap dia telah mati karena telah menjadi Kristen. Diduga tidak mampu menanggung akibat karena dikucilkan oleh keluarganya dan banjarnya pada tanggal 8 Juni 1881 ia bersama dua orang lainnya membunuh De Room, penginjil yang merupakan tuannya sendiri. Sejauh mana kebenaran ini, belum banyak yang diketahui, tetapi cerita ini luas dikenal yang mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda menutup dan tidak mengijinkan para penginjil bekerja di Bali.

Walau tidak sehebat kisah Nicodemus tersebut, berbagai kegoncangan dalam keluarga juga terjadi akibat konversi agama Keluarga Kristen di Abianbase biasanya menyertakan selurung anggota keluarganya, bahkan banyak yang menyertakan seluruh keluarga besarnya. Seperti yang dilakukaan keluarga besar Sukardja yang termasuk warga Arya Kutawaringin menyertakan seluruh keluarga besarnya diAbianbase yang terdiri dari lima kepala keluarga untuk berpindah agama, sehingga merajan keluarga diambil alih oleh keluarga dari desa lain yang masih beragama Hindu. Tidak ada dengan masalah dengan keluarga besarnya yang lain atas keputusan itu. Masalah akan muncul manakala keputusan perpinddahan agama dilakukan secara pribadi, yang mana keluarga besar pada awalnya akan menentang keputusan itu, bahkan diancam tidak akan diberikan haknya berupa warisan karena telah beragama Kristen.

Akan tetapi karena keputusan untuk meninggalkan Hindu sudah bulat, lama kelamaan pihak keluarga akan mengerti dan bahkan hubungan baik bisa terjalin kembali. Tantangan lebih kecil dihadapi manakala yang masuk Kristen seorang wanita karena mengikuti agama calon suami, karena orang Bali menganut system purusa sehingga dianggap wajar seorang wanita mengikuti agama suaminya. Namun demikian. Sejumlah anggota keluarga tetap keberatan dengan perpindahan itu sehingga memerlukan waktu untuk memberikan pengertian dan menunjukkan kesungguhan. Dalam semangat dan nilai multikulturalismee, perbedaan agama semestinya harus dihargai dan tidak menjadikan seseorang harus terpisah atau berkonflik dengan keluarganya.

2.3.3 Membangun kembali Semangat Kebersamaan

Konversi agama yang telah dimulai sejak tahun 1931 dengan pembabtisan yang dilakukan oleh Rev.R.A. Jaffray, di Sungai Yeh Poh 11 Nopember 1931, tanggal 12 Desember 1932 di Denpasar dan tanggal 1 sampai dengan 2 Desember 1934 di Desa Abianbase menimbulkan persoalan ditingkat desa. Sejak saat itu, masyarakat Abianbase terus bergolak. Walau pelan-pelan masyarakat Abianbase mulai menerima kekristenan, namun hingga tahun 1980-an situasi belumlah benar- benar tentram. Dilandasi dengan pemikiran awalnya desa ini dibangun bersama-sama oleh leluhur dan dengan konsep pesemetonan maka aktivitas saling bantu membantu kembali terwujud, seperti misalnya ada kematian pada warga Hindu, umat Kristen juga turut mengambil bagian dan bersimpati, demikan pula sebaliknya, jika warga Kristen yang mengalami kedukaan, umat Hindu turut membantu prosesi penguburannya. Hali itu juga dilakukan pada berbagai kegiatan lainnya seperti pernikahan, kelahirana anggota keluarga baru dan upacara adat lainnya.

Tokoh lain mengatakan, bahwa terbangunnya kembali kerjasama juga dilandasi oleh wacana multikulturalisme, dimana masyarakat walau berbeda harus hidup rukun dan damai demi mewujudkan kesejahteraan. Pelan-pelan masyarakat melupak terjadinya konflik dan membangun kembali kehidupan yang lebih baik dengan berlandaskan kasih, persaudaraan dan ajaran tat twam asi. Bercermin dari efek negating yang ditimbulkan dari proses yang baru saja dibaptis kemudian menghancurkan tempat ibadah keluarga(sanggah) sebagai bukti kekristenannya dan tidak bersedia turut serta dalam kegiatan aadat, maka para pemuka Kristen menyadari hal itu merupakan kekeliruan. Olehnya ada konsep dan pemikiran berupa upaya meluruskan sejarah kelam kekristenanyakni tidak lagi menghancurkan tempat-tempat ibadah yang dapat menimbulkan ketersinggungan pemeluk Hindu, melainkan dengan cara yang lebih santun.

BAB III

PENUTUP


  • Kesimpulan

Pindah agama atau konversi agama sudah sering terdengar di telinga masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini konversi agama yang terjadi karena propaganda oleh suatu agama hal itu identik dengan kejahatan agama dan atau kejahatan teologis. Konversi agama yang terjadi pada seseorang yang disebabkan karena benar – benar dorongan dari dalam adalah sebuah panggilan karma.Tetapi konversi agama yang disebabkan oleh pengaruh luar seperti propokasi, olok – olok dari pihak lain, seperti adanya propaganda dari para misionaris merupakan kejahatan agama yang patut disayangkan.

Hampir tidak ada konversi yang terjadi tanpa didahului dialog dengan mempertanyakan agama lama dan keunggulan agama. Dalam dialog dengan pemahaman yang minim, penganut Hindu memang sering kewalahan dengan umat yang dengan jelas mampu memaparkan keimanan, ibadah maupun teologi kekristenan. Olehnya sudah selayaknya para pemuka Hindu, majelis Hindu maupun tokoh-tokoh Hindu memikirkan penanaman teologi dan pentingnya dialog dalam pergaulan di era global yang tidak dapat dihindari ini.

  • Saran

Kita sebagai generasi muda khususnya generasi muda Bali hendaknya harus mempunyai koitmen bersama untuk tetap meyakini keyakinan yang telah kita anut dan terima dari orang tua kita. Agar kasus- kasus seperti ini tidak terulang kembali karena bisa saja dapat menimbulkan pertikaian diantara kelompok social tertentu terutama kelompok – kelompok yang mengatasnamakan Agama.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.mediahindu.net/berita-dan-artikel/artikel-umum/58-konversi-agama.html

C360_2014-11-24-08-28-53-633

hay guys…. Sebelumnya Om Swastyastu nggih,,, menjadi Mahasiswa Hindu yang baik dulu. Ini Sedikit ada kami bagikan salah satu ilmu yang kami dapat di Perguruan Tinggi IHDN Denpasar. yaitu saat kami mengenyam mata kuliah Desain Instruksional dan Praktek Kemampuan Mengajar (PKM). Disini kami akan membagikan bagaimana cara membuat RPP *ehh maksudnya membagikan salah satu contoh RPP kurikulum 2013 yang dimana kami juga agak asing dengan konsep pembuatannya. Ini nih salah satu contoh RPP yang kami pakai saat PKM di SMPN 1 Denpasar. Mudah-mudahan apa yang kami bagikan bisa berguna dan membantu bagi Agan-Agan Sekalian.. silahkan Cekidot……… 😀

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

 

Nama Sekolah             :    SMPN 1 Denpasar

Mata Pelajaran            :    Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti

Kelas/Semester            :   VIII/I

Materi Pokok               :    Atma

Waktu                          :   3 jam pelajaran (1 Kali Pertemuan)

  1. Kompetensi Inti (KI)
  2. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya
  3. Memiliki perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, Santun, Rasa ingin Tahu, percaya diri, toleran, motivasi internal, pola hidup sehat dan ramah lingkungan) dalam berinteraksi secara evektif dengan lingkungan social dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
  4. Memahami pengetahuan factual, konseptual, dan procedural dalam, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya dan humaniora dengan wawasan keagamaan, kebangasaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata.
  5. Mencoba mengolah dan menyajikan berbagai hal dalam ranah kongkrit (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi dan membuat) dan dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan dari berbgai sumber lain yang sama dalam sudut pandang dari teori.
  1. Kompetensi Dasar (KD) dan Indikator
No. Kompetensi Dasar Indikator
1. 1.1  Membiasakan mengucapkan salam Agama Hindu1.2  Membiasakan mengucapkan Dainika Upasana (doa sehari-hari) 1.1.1        Mengucapkan salam dalam Agama Hindu1.1.2        Melestarikan salam Agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari1.2.1    Melaksanakan doa belajar sebelum mulai belajar
2. 2.1.   Toleran terhadap sesama, keluarga, dan lingkungan dengan cara menyayangi ciptaan Sang Hyang Widhi (Ahimsa).2.2.   Berperilaku jujur (Satya), menghargai dan menghormati (Tat Twam Asi) makhluk ciptaan Sang Hyang Widhi. 2.1.1         Mengapresiasi secara tertulis toleransi terhadap sesama2.1.2         Menunjukkan toleransi terhadap lingkungan sekitar2.2.1         Berperilaku jujur (satya) dengan teman2.2.2         Menghargai pendapat orang lain

2.2.3         Bertanggung jawab

3. 3.3     Memahami Atman sebagai sumber hidup 3.3.1                   Mampu menyimak dengan seksama paparan Atma sebagai sumber hidup3.3.2                   Mampu membaca literarur tentang Atma dalam Bhagavadgita3.3.3                 Mampu membaca materi sifat-sifat Atma pada buku paket3.3.4                   Mampu menanyakan fungsi Atma dalam diri manusia

3.3.5                   Mampu menanyakan sifat-sifat Atma dalam agama Hindu

3.3.6                   Mampu menanyakan sloka-sloka yang terkait dengan sifat-sifat Atma

3.3.7                  Mampu mengumpulkan sloka-sloka yang terkait dengan sifat-sifat Atma

3.3.8                   Mampu mencari literature tentang Atma dalam Bhagavadgita

3.3.9                   Mampu menyimpulkan fungsi Atma dalam diri manusia

3.3.10          Mampu menyimpulkan sifat Atma dengan sifat Brahman

3.3.11          Mampu menyimpulkan hubungan Atma dengan Brahman

3.3.12          Mampu menyebutkan sifat-sifat Atma dalam kitab suci Bhagavadgita

3.3.13          Mampu mengungkapkan hubungan Atma dengan Brahman

4. 4.3     Menceritakan Atman sebagai sumber hidup makhluk hidup 4.3.1                   Mampu menceritakan sifat-sifat Atma sebagai sumber hidup4.3.2                   Mampu menceritakan hubungan Atma dengan Brahman
  1. Tujuan Pembelajaran

Kompetensi Sikap

Setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran peserta didik dapat :

  1. Mengucapkan salam dalam Agama Hindu
  2. Melestarikan salam Agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari
  3. Melaksanakan doa belajar sebelum mulai belajar
  4. Mengapresiasi secara tertulis toleransi terhadap sesama
  5. Menunjukkan toleransi terhadap lingkungan sekitar
  6. Berperilaku jujur (satya) dengan teman
  7. Menghargai pendapat orang lain
  8. Bertanggung jawab

Kompetensi Pengetahuan dan Keterampilan

  1. Menjelaskan pengertian Atman
  2. Menyebutkan dan menjelaskan fungsi Atma
  3. Menyebutkan dan menjelaskan sifat-sifat Atma sebagai sumber hidup
  4. Menemukan dan menyebutkan sloka-sloka terkait sifat Atma dalam Kitab Suci Bhagavadgita
  5. Mengungkapkan hubungan sifat Atma dengan sifat Brahman
  6. Menyebutkan dan menjelaskan hubungan Atma dengan Brahman
  1. Materi Pembelajaran
  2. Pengertian Atman
  3. Sifat-sifat dan Fungsi Atman
  4. Sloka-sloka terkait dengan Sifat-sifat Atman
  5. Hubungan Atman dengan Brahman
  6. Brahman sebagai Sumber Atman
  1. Metode Pembelajaran
    1. Pendekatan : Saintifik
    2. Model Pembelajaran : Discovery Learning, CTL, TTW
    3. Metode : Diskusi, ceramah, tanya jawab, penugasan, presentasi
  1. Media, Alat dan Sumber Pembelajaran
  2. Media : Gambar, Video, Powerpoint
  3. Alat/Bahan : Papan Tulis., LCD, Komputer, Slide
  4. Sumber Belajar :
  5. Wijaya, I Ketut, dkk. 2013. Buku Ajar Savitri Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Denpasar: Penerbit Tri Agung
  6. Komang Susila, dkk. 2013. Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti. Jakarta: Kemendikbud RI
  7. Prabhupada, AC Bhaktivedanta Swami. 2006. Bhagavad Gita menurut Aslinya. Jakarta: Hanuman Sakti
  1. Langkah-Langkah Kegiatan :

Pertemuan Pertama

No. Kegiatan Waktu
1. Pendahuluana.       Membuka pembelajaran dengan dengan salam penganjali umat “ Om Swastyastu “b.      Guru mengajak peserta didik untuk mengucapkan doa Dainika Upasana bersama-sama sebelum memulai pelajaran.c.       Memperlihatkan kesiapan diri dengan mengisi lembar kehadiran dan memeriksa kerapian pakaian, posisi dan tempat duduk disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran;

d.      Mengajukan pertanyaan secara komunikatif berkaitan dengan Materi pelajaran.

e.       Menyampaikan kompetensi dasar dan tujuan yang akan dicapai;

f.       Menyampaikan tahapan kegiatan yang meliputi kegiatan mengamati, menyimak, menanya, berdiskusi, mengkomunikasikan dengan menyampaikan, menanggapi dan membuat kesimpulan hasil diskusi

g.      Apersepsi terhadap materi yang akan disampaikan

10menit
2. Kegiatan IntiPeserta didik diminta dengan tertib untuk mengamati :a.    Mampu menyimak paparan Atma sebagai sumber hidupb.   Mampu menanyakan fungsi Atman dalam diri manusia

c.    Mampu menyimpulkan fungsi Atman dalam diri manusia

100menit
3. Penutupa.       Pendidik dengan peserta didik membuat kesimpulan tentang materi pembelajaran hari ini.b.      Melaksanakan penilaian dan refleksi dengan mengajukan pertanyaan atau tanggapan peserta didik dari kegiatan yang telah dilaksanakan sebagai bahan masukan untuk perbaikan langkah selanjutnyac.       Menyampaikan rencana pembelajaran pada per­temuan berikutnya.

d.      Menutup pembelajaran dengan salam Paramasanti “Om Santih, Santih, Santih Om”

10 Menit

crew

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Perguruan tinggi merupakan suatu lembaga pendidikan yang harus memiliki tujuan dan sasaran yang jelas ke depannya bagi kelangsungan perguruan tinggi itu sendiri, masyarakat, maupun lulusan yang dicetak oleh perguruan tinggi tersebut. IHDN Denpasar merupakan perguruan tinggi yang bernafaskan agama Hindu, dalam pendiriannya tidak bisa terlepas dari unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni yang terdiri dari Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam penerapannya selalu dilaksanakan secara beriringan dan terprogram secara jelas dan sistematis. Hal ini dibuktikan pada pelaksanaan pendidikan yang jelas dilaksanakan setiap hari kuliah. Setelah itu program yang kedua adalah pengabdian yang diimplementasikan dengan suatu kegiatan yang biasa disebut dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sedangkan penelitian merupakan tugas akhir dari program S1 yang diimplementasikan dengan penyusunan suatu karya ilmiah yang disebut dengan skripsi.
Dari sedikit pemaparan di atas, program yang sedang dilaksanakan oleh Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar adalah Tri Dharma Perguruan Tinggi yang kedua yakni pengabdian. Pengabdian ini diwujudkan dengan pelaksanaan KKN yang dilaksanakan di beberapa wilayah khususnya di Pulau Bali. Pengabdian ini merupakan program bertujuan untuk memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat khususnya tentang pembentukan moral dan keagamaan karena dengan latar belakang IHDN Denpasar adalah suatu lembaga pendidikan Hindu. Maka yang menjadi dasar utama pelaksanaan program KKN ini adalah lebih banyak menyasar pada bidang keagamaan khususnya agama Hindu.
Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan langkah awal bagi mahasiswa untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat di ruang kelas tentang cara beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Mahasiswa dituntut agar dapat membaca situasi dan kondisi di lapangan sebelum melaksanakan suatu kegiatan agar masyarakat tidak merasa dirugikan serta masyarakat mendapat manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan. KKN juga merupakan program penting untuk membentuk karakter mahasiwa yang tanggap dan peduli dengan keadaan di masyarakat, sehingga nantinya setelah benar-benar menjadi seorang sarjana yang identik dengan orang yang berpendidikan tinggi mampu membangun dan meningkatkan SDM serta kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Dari latar belakang inilah, maka penting sekali diadakannya Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya bagian Pengabdian.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah eksistensi agama Hindu di Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.
  2. Bagaimanakah Pemahaman Masyarakat di Desa Kedonganan Terhadap Ajaran Agama Hindu?
  3. Apakah Upaya yang dilakukan oleh Mahasiswa KKN Angkatan XI IHDN Denpasar dalam Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Lebih Tentang Ajaran Agama Hindu?

C. Tujuan
Adapun beberapa tujuan tentang dilaksanakannya Kuliah Kerja Nyata (KKN) XI IHDN Denpasar di Desa Adat Kedonganan, Kec. Kuta, Kab. Badung adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai wujud pelaksanaan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi (bagian pengabdian) yakni pengabdian mahasiswa Hindu pada masyarakat.
  2. Untuk merealisasikan ilmu yang telah didapat di kampus untuk direalisasikan di masyarakat.
  3. Sebagai media untuk dapat berinteraksi pada masyarakat dan berusaha tanggap dengan keadaan yang ada di masyarakat sebagai ajang persiapan sebelum terjun langsung di masyarakat setelah nantinya lulus sebagai seorang sarjana yang mampu menjadi ujung tombak pembangunan baik di bidang moral maupun spiritual di masyarakat.

D. Waktu dan Tempat
Waktu : 01 Juli – 31 Agustus 2014
Tempat : Desa Adat Kedonganan, Kec. Kuta, Kab. Badung.

E. Langkah Kerja
Adapun langkah kerja Mahasiswa KKN Angkatan XI IHDN Denpasar sebagai berikut :
1. Bidang Keagamaan dan Budaya
a. Penyegaran Pemangku, Prajuru Adat dan Serati Banten
b. Pelatihan Yoga Asanas
c. Pelatihan Dharmagitha
2. Bidang Pendidikan
a. Dharma Tula “Kepemimpinan Hindu”
b. Seminar Narkoba dan HIV AIDS
c. Pesraman Kilat SD
3. Bidang Lingkungan Hidup
a. Bakti Sosial
b. Penanaman Pohon

BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI DESA


A. Profil Penduduk
Desa Adat Kedonganan memiliki wilayah yang tidak begitu luas, sekitar 1 Km². Jarak antara batas selatan (Desa Adat Jimbaran) dengan batas utara (Desa Adat Kelan) hanya 1km. Begitu juga jarak antara pantai timur dengan pantai barat sekitar 1 km. Karena itulah, Kedonganan sering disebut sebagai desa satu kilometer.
Wilayah yang sempit menyebabkan kepadatan penduduk di Kedonganan tergolong sangat tinggi. Jumlah krama Desa Adat Kedonganan hingga tahun 2012 mencapai 5.097 jiwa dengan 1.072 kepala keluarga (KK). Krama lanang (laki-laki) sebanyak 2.512 jiwa, sedangkan krama istri (perempuan) sebanyak 2.585 jiwa. Sedikit lebih banyak krama perempuan, memang.
Sebagai desa pesisir dan kini berkembang sebagai kawasan wisata, Desa Adat Kedonganan juga menjadi tujuan krama tamiu (penduduk pendatang). Kehadiran krama tamiu itu menyebabkan jumlah total penduduk Kedonganan meningkat menjadi 5.639 jiwa atau 1.257 KK. Ini hanyalah jumlah penduduk tetap yang teregistrasi. Belum termasuk penduduk musiman dan penduduk liar yang tak tercatat.
Desa Adat Kedonganan ditopang oleh enam banjar adat dan dinas. Keenam banjar adat dan dinas itu yakni Banjar/ Lingkungan Kubu Alit, Ketapang, Banjar Anyar Gede, Banjar Pasek, Kerthayasa, dan Banjar Pengenderan.
No. Nama Banjar Jumlah Kepala Keluarga (KK) Jumlah Penduduk
1 Kubu Alit 147 687
2 Ketapang 258 1.113
3 Anyar Gede 184 845
4 Kerthayasa 156 648
5 Pasek 257 1.016
6 Pengenderan 255 1310
Jumlah 1.257 5.639
Sumber : Pemerintah Kelurahan Kedonganan, Oktober 2012

BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN


A. Rekapitulasi Kegiatan
Adapun Rekapitulasi Program Kerja yang terlaksana ter tgl 11 Juli 2014 sampai dengan 22 Agustus 2014 adalah sebagai berikut.

B. Uraian Kegiatan
3.1 Bidang Keagamaan dan Budaya
1. Penyegaran Pemangku, Serati Banten dan Prajuru Adat
a. Latar Belakang
Agama Hindu adalah agama yang besar, besar dalam artian ajaran dan juga toleransi baik pada umatnya sendiri maupun pada umat lain disekitarnya. Hal ini juga tidak terlepas dari satu ajaran tentang Catur Warna yang terdiri dari Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari pembagian swadharma inilah maka akan timbul adanya suatu keharmonisan dan suatu keseimbangan di masyarakat itu sendiri.
Dengan adanya catur warna inilah segala tugas dan kewajiban di masyarakat semakin mudah dikoordinasikan dan selalu berjalan beriringan untuk mencapai suatu keharmonisan. Ini terwujud dengan adanya tugas dari masing-masing swadharmanya tersebut contohnya untuk yang menangani masalah kegiatan agama yang punya tugas untuk memimpin adalah para Brahmana. Sedangkan untuk masalah pemerintahan yang ada di desa dipimpin oleh para kaum ksatria yang bisa dikatakan juga oleh para pemerintahan desa atau prajuru desa. Begitupula dengan kaum waisya yang mengambil peran di bidang pertanian dan juga pada kaum sudra yang menangani masalah perdagangan. Jika dari keempat komponen ini bisa berjalan beriringan maka akan timbul suatu keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai pemegang peranan penting dalam melaksanakan suatu upacara agama dan sebagai orang yang dijunjung tinggi sebagai penuntun umat, kaum brahmana harus memiliki pengetahuan tentang ajaran agama yang banyak serta mampu mengamalkan dalam kehidupan sehari-harinya. Mampu menjadi pencerah atau penerang bagi umatnya yang sedang dalam kegelapan. Untuk menunjang serta memberikan pendalaman materi tentang ajaran agama Hindu, maka dari itu diperlukan juga sebuah pelatihan atau pendidikan dalam memantapkan tugas-tugasnya sebagai seorang brahmana. Hal ini diperlukan karena masih banyak para brahmana atau para pemangku yang belum paham akan tugas serta wewenangnya dalam melaksanakan swadharmanya sebagai seorang pemangku. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pendidikan atau pelatihan dan juga penataran-penataran yang mengarahkan serta menjelaskan tugas-tugas serta wewenang sebagai seorang pemangku. Penjelasan itu bisa menyangkut sasana kepemangkuan yaitu mengenai tugas, kewajiban, serta wewenang seorang pemangku dalam menjalankan swadharmanya sebagai seorang penuntun umat Hindu.
Selain seorang pemangku, komponen penting lainnya adalah seorang serati banten. Mereka juga memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan. Karena serati banten adalah yang mengetahui serta yang membuat segala macam banten yang dibutuhkan untuk upacara agama tersebut. Maka dari itu dua komponen ini harus sama-sama memiliki pengetahuan yang banyak mengenai agama Hindu. Karena selain dituntut untuk bisa membuat sebuah banten, serati juga harus mengatahui makna banten yang dibuatnya itu serta tahu tata aturan dalam pembuatan banten.
Berdasarkan atas penjabaran di atas maka sangat penting dilaksanakannya kegiatan Penyegaran Pemangku, Serati Banten dan Prajuru Adat karena selama ini kita ketahui masih banyak pemangku, serati banten dan Prajuru Adat yang belum mengetahui secara pasti mengenai tugas-tugas serta kewajiban dan juga larangan-larang dalam melaksanakan tugasnya. Maka dengan diadakannya Penyegaran Pemangku, Serati Banten dan Prajuru Adat ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mantap akan tugas-tugas atau swadharmanya sebagai seorang pemangku, Serati banten dan Prajuru Adat dengan kaitannya dengan kegiatan keagamaan di masyarakat.
Maka dari itu, kami dari KKN ANGKATAN XI IHDN Denpasar yang kali ini bekerja sama dengan pihak Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung bermaksud untuk mengadakan suatu pemantapan terhadap para pemangku, serati banten dan prajuru adat agar lebih mantap dalam menjalankan tugasnya di masyarakat dalam mencapai suatu keharmonisan.

mang

b. Sasaran
1. Meningkatkan pemahaman terhadap tugas dan kewajiban seorang pemangku dalam melaksanakan tugas sesuai dengan Sradha dan Bakti di Desa Adat Kedonganan
2. Meningkatan pemahaman terhadap tugas dan kewajiban seorang serati dalam melaksanakan tugas sesuai dengan Sradha dan Bakti di Desa Adat Kedonganan
3. Meningkatkan pemahaman terhadap tugas dan kewajiban seorang prajuru adat dalam melaksanakan tugas sesuai dengan Sradha dan Bhakti di Desa Adat Kedonganan

c. Tujuan
1. Memantapkan tugas para pemangku, serati banten dan prajuru adat di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat desa.
2. Sebagai bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat di Desa Adat Kedonganan sehingga terjadi interaksi yang baik antara mahasiswa dengan masyarakat khususnya dalam hal Agama Hindu.

2. Pelatihan Dharmagitha
a. Latar Belakang
Rutinitas Umat Hindu tidak terlepas dari berbagai pendukung kegiatan upacara yadnya. Baik banten, gong/angklung, tari wali dan dharmagita (lagu keagamaan). Tidak lengkap ketika upacara berlagsung tanpa iringan mantra maupun lagu-lagu pujaan.
Berdasarkan hal tersebut, pengetahuan tentang pentingnya dharmagita bagi masyarakat Hindu harus tetap ditanamkan. Tidak hanya difungsikan ketika adanya upacara (Panca Yadnya) tetapi juga dalam keseharian dapat memberi manfaat dalam kesehatan (pernapasan), maupun mental spiritual manusia.
Sehingga pengetahuan dan praktek dharmagita ini yang lebih difokuskan untuk kidung-kidung Dewa Yadnya, sloka dan palawakya di Desa Adat Kedonganan kami bina dengan seksama. Sehingga pelatihan dharmagita yang diporoleh di kampus IHDN Denpasar dapat diteruskan di masyarakat dan memberi manfaat baik untuk diri sendiri maupun kehidupan spiritual keagamaan.
a. Sasaran
1. Anak-anak, remaja dan dewasa, meningkatkan pemahaman tentang dahrmagita khususnya kidung-kidung keagamaan sebagai sarana pemujaan dan menghubungkan diri dengan tuhan.
2. Menambah koleksi kidung untuk masyarakat.
b. Tujuan
1. Untuk memperdalam pemahaman masyarakat akan pentingnya dharmagita di setiap ritual keagamaan.
2. Untuk pembiasaan masyarakat melantunkan kidung suci keagamaan sebagai salah satu cara dalam menjaga kesehatan.

3. Pelatihan Yoga Asanas
a. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk mempersiapkan masa depan seseorang. Pendidikan dapat ditempuh melalui 3 sektor, antara lain pendidikan formal, informal dan non formal. Pendidikan formal didapatkan oleh para siswa di bangku sekolah dengan kurikulum yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang didapatkan di luar sekolah, yaitu melalui interaksi dengan masyarakat sedangkan sector pendidikan non formal didapatkan di dalam keluarga.
Pendidikan secara umum mengajarkan anak-anak tentang ilmu pengetahuan. Sevanam (pasraman) merupakan salah satu cara mendidik siswa, dimana siswa Pelaga ditekankan pada pendidikan budi pekerti. Meskipun umat Hindu minoritas di Indonesia namun diharapkan umat mampu berjalan bersama dengan umat lain dan mempertahankan budaya agama Hindu di Bali.
Menilik dari permasalahan tersebut umat Hindu kurang paham dengan agamanya sendiri maka, perlu diberikan pendidikan dari sejak dini melalui pelatihan yoga ini. Kegiatan yang lebih menekankan dari pendidikan agama baik dari segi bertingkah laku, mengendalikan pikiran melalui mantra & yoga. Dari pengajaran tersebut anak – anak mendapat suatu pelajaran yang nantinya dijadikan skill dalam menjalankan kehidupan beragama di masyarakat.
a. Sasaran
1. Mahasiswa mampu menerapkan ilmu pengetahuan di bangku kuliah kepada anak-anak atau peserta yoga asanas.
2. Anak-anak mendapatkan informasi tambahan khususnya mengenai ajaran agama dan yoga.
b. Tujuan
1. Mahasiswa diharapkan dapat berinteraksi dengan anak-anak serta mampu mentransfer ilmu pengetahuan pada anak-anak.
2. Ajaran Agama Hindu mampu dipahami oleh anak-anak dan dapat diterapkan dalam kehidupan keagamaannya

 vvvbvbvn

4.2 Bidang Pendidikan
1. Dharma Tula “Kepemimpinan Hindu”
a. Latar belakang
Kegiatan dharmatula sebagai salah satu program yang sudah dirancang oleh Mahasiswa KKN XI IHDN di Desa Adat Kedonganan. Dalam dharmatula ini, yang akan di bahas terutama mengenai Kepemimpinan dalam sudut pandang Hindu. Penanaman mengenai masalah Kepemimpinan dalam sudut pandang Hindu sejak dini, akan menyadarkan masyarakat jika ada oknum-oknum tertentu yang mempengaruhi mereka. Terutama generasi-generasi muda yang ada di Desa Adat Kedonganan. Kemajuan jaman dan “IPTEK” yang begitu pesatnya akan mempermudah manusia itu sendiri, tetapi juga dapat menjerumuskan masyarakat terkait dengan kepemimpinan. Sehingga program dharmatula ini sangat penting untuk dilaksanakan demi masyarakat Hindu kedepannya.
b. Sasaran
1. Menambah pemahaman masyarakat di Desa Adat Kedonganan terutama remaja Desa Kedonganan tentang Kepemimpinan dalam sudut pandang Hindu
2. Memberikan pemahaman dan kenyakinan lebih mendalam terhadap masyarakat mengenai Agama Hindu.

c. Tujuan
1. Untuk membentuk masyarakat dan remaja Hindu yang selalu berfikir kritis dalam menghadapi tantangan dan pengaruh luar yang selalu menyerang masyarakat Hindu.
2. Untuk membentuk masyarakat yang berkepribadian kuat dan mampu menjalankan norma agama sehingga mampu menegakkan Dharma Agama dan Dharma Negara.
3. Sebagai bentuk pengabdian mahasiswa dan saling membagi pengetahuan mengenai Kepemimpinan Hindu kepada masyarakat di Desa Adat Kedonganan sehingga terjadi interaksi yang baik antara mahasiswa dengan remaja dan masyarakat pada umumnya.

asa

2. Penyuluhan Bahaya Narkoba HIV AIDS dipandang dari sudut Hindu
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, fenomena- fenomena prilaku negatif pada generasi muda semakin tidak berjalan sesuai dengan norma- norma yang berlaku di masyarakat. Kurangnya pengawasan orang tua terhadap anaknya sehingga mengakibatkan kasus penyimpangan remaja.
Pergaulan bebas identik dengan narkoba dan seks bebas, yang paling rentan terhadap masalah ini adalah remaja. Maka dari itu peran penting lingkungan sekitarnya baik guru disekolah maupun orang tua di rumah. Melihat fenomena ini di masyarakat khususnya di Desa Lebih kami dari KKN IHDN Denpasar Angkatan XI ingin mengadakan Penyuluhan Bahaya Narkoba HIV AIDS dipandang dari sudut Hindu. Dengan Program ini diharapkan mampu mmemberikan pengetahuan bagi para remaja Desa Adat Kedonganan tentang bahaya dari narkoba HIV AIDS sehingga tidak terjerumus ke dalam dunia narkoba dan HIV AIDS.

b. Sasaran
1. Meningkatkan pemahaman remaja tentang dampak negatif narkoba HIV AIDS dari sudut pandang Hindu di Desa Adat Kedonganan.
2. Meningkatan pemahaman terhadap tugas dan kewajiban seorang remaja sebagai genarasi penerus bangsa

c. Tujuan
1. Untuk membentuk remaja yang berkepribadian luhur mampu menjalankan norma agama sehingga mampu menegakkan Dharma Agama dan Dharma Negara.
2. Sebagai bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat di Desa Adat Kedonganan sehingga terjadi interaksi yang baik antara mahasiswa dengan masyarakat khususnya dalam hal agama Hindu.

3. Pasraman Kilat di Sekolah Dasar
Kegiatan pasraman kilat dilaksanakan agar generasi penerus agama Hindu mampu terus melestarikan kegiatan upacara agama. Dengan tujuan ini Mahasiswa KKN IHDN Denpasar, mengadakan pasraman kilat di Desa Adat Kedonganan, apa yang diberikan dalam pasraman diharapkan para anak-anak Sekolah Dasar di Desa Kedonganan mulai mengenal jati diri sebagai Umat Hindu. Memang umat Hindu minoritas di Indonesia mampu bersaing dengan umat-umat lain dan mempertahankan budaya hindu.
Menilik dari permasalahan tersebut umat Hindu kurang paham dengan agamanya sendiri maka, perlu diberikan pendidikan dari sejak dini melalui pasraman kilat ini. Dalam kegiatan Pasraman ajarannya lebih menekankan dari segi agama baik dari segi bertingkah laku dengan mengajarkan Budi Pekerti, cara pembuatan banten/upakara dengan mengajarkan mejejaitan dan menganyam, mengendalikan pikiran melalui Yoga, nyanyian pujaan dengan mengajarkan Dharma Gita. Dari pengajaran tersebut setidaknya anak –anak mendapat suatu pelajaran yang nantinya dijadikan skill dalam menjalankan kehidupan nantinya di masyarakat.

4.3 Bidang Lingkungan Hidup
1. Bakti Sosial
Kehidupan manusia pada era sekarang selalu ingin yang instan tanpa melalui proses sehingga hal ini menimbulkan prilaku malas. Begitu pula dalam kasus menyangkut masalah kebersihan lingkungan di sekitarnya menimbulkan dampak kekacauan terhadap perubahan iklim yang tidak tentu. Sampah- sampah dibiarkan berserakan. Atas dasar fenomena ini khususnya di Desa Adat Kedonganan kami dari Mahasiswa KKN Angkatan XI IHDN Denpasar mengadakan kegiatan kegiatan kerja bakti.

2. Penanaman Pohon
Perkembangan dunia teknologi semakin canggih sehingga dunia ini penuh dengan polusi, karbondioksida meningkat oksigen berkurang menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan terutama bagi sistem pernafasan. Dengan adanya fenomena ini kami KKN Angkatan XI Desa Adat Kedonganan IHDN Denpasar melaksanakan penanaman pohon di Desa Adat Kedonganan khususnya agar dapat mengurangi polusi dengan tumbuhnya pohon-pohon yang rindang yang menghasilkan banyak menghasilkan oksigen sehingga lingkungan di Desa Adat Kedonganan menjadi asri dan sejuk. Penanaman pohon dilakukan di tepi pantai Pemelastian, Minggu 10 Agustus 2014 bersama dengan Karang Taruna Eka Shanti, BPKP-2K serta Lurah Kedonganan dengan tujuan utama mengurangi Abrasi di tepi Pantai Pemelastian.

4.4 Program Pendukung (Tambahan)
1. Pembinaan Tabuh
Guna mempersiapkan sekaa tabuh desa adat Kedonganan yang mewakili kecamatan Kuta dalam mengikuti lomba tabuh tingkat kabupaten badung, serta mempersiapkan untuk pendukung upacara yadnya, mahasiswa laki-laki peserta KKN bersama pelatih tabuh turut melaksanakan pendampingan dan pembinaan. Kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap sore, bertempat di Balai Banjar Kerthayasa Desa Adat Kedonganan.
2. Pembinaan Kidung Seka Truna
Kegiatan ini terlaksana atas permintaan prajuru dan ibu-ibu PKK Desa Adat Kedonganan. Dilaksanakan dari tanggal 23-24 Agustus 2014 bertempat di Balai Banjar Anyar Gede. Kidung yang diberikan adalah rangkaian kidung untuk upacara Dewa Yadnya sebagai pengiring upacara ketika Purnama-Tilem maupun upacara lainnya
3. Ngayah Piodalan di Pura Ratu Ayu
Dilaksanakan pada hari selasa, 15 Juli 2014. Pada piodalan ini mahasiswa KKN ngayah dari pagi yakni persiapan karya, dan pada malamnya kami ngayah mesanthi.
4. Lomba Memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke- 69
Lomba memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-69 diadakan untuk meningkatkan minat dan bakat bagi generasi muda di Desa Adat Kedonganan selain itu lomba yang diadakan dapat dijadikan ajang kreativitas bagi generasi muda sekaligus dapat mempererat rasa persaudaraan antara pemuda di banjar se- Desa Adat Kedonganan, dan seluruh lapisan masyarakat se- Desa Adat Kedonganan. Dilaksanakan pada hari minggu, 17 Agustus 2014. Bertempat di Pantai Pemelisan Desa Adat Kedonganan.
5. Mencatat Nama Pelinggih yang dipergunakan pada saat Piodalan
Desa Adat Kedonganan tidak lepas dari keberadaan Pura. Desa Adat Kedonganan terdiri dari banyak pura yang di kelola oleh pihak desa dan masyarakat setempat agar terjalin suatu hubungan yang harmonis antar masyarakat. Pencatatan pelinggih akan berguna nantinya bagi tokoh masyarakat dan masyarakat yang ngayah saat acara piodalan berlangsung.
6. Lomba memperingati Hut LPD ke 24
Dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) xxiv LPD Desa Adat Kedonganan serta sebagai wujud Nyata kepedulian LPD Desa Adat Kedonganan dalam meningkatkan mutu pendidikan, khususnya di wilayah Desa Adat Kedonganan dan meningkatkan kreativitas generasi muda di Desa Adat Kedonganan yang bekerjasama dengan KKN XI IHDN Denpasar Desa Adat Kedonganan.
7. Mengadakan Les untuk Siswa- Siswi Sekolah Dasar.

C. Pembahasan Kegiatan (kekuatan, kelemahan, ancaman, kendala)
1. Kekuatan Program
Program yang telah direncanakan dari awal mulai kegiatan KKN angkatan XI Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung sudah terlaksana dengan baik dan berjalan lancar. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya program kerja yang sudah terealisasi di masyarakat dan memberikan manfaat yang cukup besar terhadap masyarakat dalam bidang pembangunan. Masyarakat menerima dengan lapang dada dan hati terbuka sehingga dapat merasakan bagaimana dampak dari program yang dilaksanakan. Adpun program kerja yang sudah terealisasi dan sudah berjalan dengan sukses yaitu :

  1. Penyuluhan Narkoba dan HIV AIDS dalam sudut pandang Hindu dilaksanakan di Pantai Pemelastian Desa Adat Kedonganan pada tanggal 16 Juli 2014 yang menyasar para siswa-siswa SMA N 1 Kuta, Pemuda atau Sekaa Truna , dan masyarakat di Desa Adat Kedonganan. Dalam Penyuluhan Bahaya Narkoba dan HIV AIDS dalam sudut pandang Hindu yang menjadi Narasumber HIV AIDS adalah dari Petugas Lapangan Yayasan Kerti Praja Ketut Estrada Adi Saputra dan Desi (Testimoni Penderita HIV AIDS) dari Badan Narkotika Nasional Ketut Adi Lisdiani dan dari IHD Negeri Denpasar I Made Budiasa yang bertema “Penyuluhan Bahaya Narkoba dan HIV AIDS serta pengkajiannya dari sudut pandang Agama Hindu di Desa Adat Kedonganan.” . Kedatangan peserta memang tidak mencapai target tetapi antusias dan rasa ingin tahu dari peserta cukup tinggi hal ini terlihat dari adanya tanya jawab antara narasumber dan peserta. Dengan adanya Sosialisasi Narkoba dan Dampak Seks Bebas diharapkan generasi muda sebagai penerus bangsa tidak terjerumus ke hal- hal yang negatif.
  2. Penyegaran Pemangku, Prajuru Adat dan Serati Banten yang dilaksanakan di Ballrom LPD Desa Adat Kedonganan pada tanggal 18 s.d. 22 Agustus 2014 yang menyasar para Pemangku, Prajuru Adat dan Serati dengan tema “Melalui penyegaran Pemangku dan Serati Banten kita wujudkan Pemuka Agama yang berwawasan Spiritual serta Intelektual dengan berlandaskan Sradha dan Bhakti” yang menjadi Narasumber adalah Ida Pandita Mpu Jaya Acarya Nanda. Dalam kehidupan bermasyarakat Pemangku/ Pinandita memegang peranan penting dalam melaksanakan suatu upacara agama dan sebagai orang yang dijunjung tinggi sebagai penuntun umat, memiliki pengetahuan tentang ajaran agama yang banyak serta mampu mengamalkan dalam kehidupan sehari-harinya.

2. Kelemahan Program
Dalam setiap pelaksanaan kegiatan baik di lapangan maupun dalam intern pasti akan menemukan berbagai kendala yang dihadapi. Hal ini tidak terlepas karena adanya perbedaan pemikiran dan cara kerja dari masing-masing orang dalam kelompok maupun cara panadang masyarakat dalam menyikapi ataupun menilai tinglah laku dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan yang melibatkan masyarakat itu sendiri. Maka hal yang wajar jika dalam suatu kelompok sering terjadi miscommunication antar anggota dalam pelaksanaan kegiatan. Pemecahan masalah ini dapat diatasi dengan adanya suatu evaluasi setiap kali mengadakan kegiatan. Evaluasi inilah yang nantinya akan membuka dan saling memberikan masukan akan kegiatan yang sudah berjalan, baik dari pelaksana kegiatan maupun dari peserta itu sendiri. Dari dua bulan pelaksanaan KKN XI IHDN Denpasar Desa Adat Kedonganan , ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan program kerja KKN yang telah disepakati bersama oleh anggota KKN dengan pihak Desa. Adapun beberapa kendala tersebut antara lain:

  •  Dana Pelaksanaan Program Kerja KKN

Kendala yang sangat mendasar dalam pelaksanaan suatu kegiatan di lapangan adalah masalah dana. Tanpa adanya dana, maka mustahil kegiatan tersebut akan berjalan. Besar dana yang dikeluarkan berpatokan pada banyaknya kegiatan dan juga besar kecilnya kegiatan yang akan dilaksanakan. Mengingat bannyaknya program kerja dari mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) XI IHDN Denpasar yang semua program kerja tersebut diterima baik di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pembengkakan dana yang harus dikeluarkan oleh peserta KKN. Mengingat kondisi ekonomi peserta KKN yang rata-rata masih bergantung pada orang tua, maka hal yang diandalkan dalam perolehan dana adalah dari proposal-proposal yang sudah dikirim pada pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut.

  • Waktu Pelaksanaan KKN yang Terbatas

Kendala yang lain yang sangat menekan bagi mahasiswa KKN adalah batas waktu yang sangat sempit. Hal ini dapat dilihat dengan jangka waktu yang pendek, kita tidak bisa mengetahui secara mendalam kondisi masyarakat di tempat tersebut. Sedangkan tujuan utama dari pelaksanaan KKN adalah memberikan pelayanan atau pengabdian kepada masyarakat serta mencari segala permasalahan yang ada di masyarakat yang nantinya akan kita carikan solusi yang tepat. Dengan pelaksanaan KKN yang tidak penuh selama dua bulan ini menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan KKN. Pelaksanaan program kerja juga terkesan secara insidental, artinya kegiatan itu dibuat secara tiba-tiba dan kurang adanya interaksi dengan masyarakat setempat, yang akhirnya berkesan bahwa mahasiswa membuat kegiatan hanya untuk laporan, tidak ada unsur yang benar-benar mengabdi pada masyarakat. Hal ini yang harusnya juga dipertimbangkan oleh pihak kampus mengenai jadwal pelaksanaan KKN agar KKN yang dilaksanakan benar-benar bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat, serta bagi kampus itu sendiri.

3. Peluang Program
Dalam program kerja yang telah dilaksanakan oleh mahasiswa KKN Desa Adat Kedonganan sangat berpeluang besar bagi masyarakat desa. Seperti halnya program Penyegaran pemangku dan serati banten, dimana program tersebut mampu menyatukan pandangan dan membangkitkan srada dan bakti masyarakat desa khususnya Para Pemuka Agama dan Para Serati Banten. Selain itu, banyak Peluang Program kami yang dirasakan oleh para anak-anak di Desa Adat Kedonganan ini, dikarenakan kami juga melaksanakan program pesraman kilat serta Les Private pada siang hari sampai sore hari. Penanaman Pohon juga sangat berpeluang baik dikarenakan daerah panas membutuhkan penghijauan yang baik, agar terwujudnya Desa yang Nyaman. Inti dari peluang program kami sangat diterima baik oleh desa dan terlaksana keseluruhannya.

4. Ancaman atau Kendala
Segala kendala di lapangan dalam pelaksanaan suatu kegiatan pasti ada jalan pemecahannya. Hal ini akan ditemukan ketika diadakannya suatu evaluasi setiap kali selesai melakukan kegiatan. Segala kekurangan dan kelemahan dari pelaksanaan akan dibahas agar dapat dijadikan acuan untuk kegiatan berikutnya, sehingga kegiatan yang akan dilaksanakan berikutnya mencapai hasil yang lebih baik dari pada yang sebelumnya. Adapun jalan yang ditempuh dalam penyelesaian kendala-kendala yang dihadapi peserta KKN XI Desa IHDN Denpasar Desa Adat Kedonganan antara lain adalah:

  • Solusi dalam Penanganan Waktu KKN yang terbatas

masyarakat Hindu pada khususnya.Waktu merupakan hal yang utama dalam penentuan jadwal kegiatan pelaksanaan KKN di masing-masing lokasi. Waktu pelaksanaan yang dibawa oleh mahasiswa belum tentu sepenuhnya mendukung pelaksanaan kegiatan KKN, hal ini dikarenakan kita juga tidak mengetahui kondisi atau kalender kerja dari desa yang kita jadikan lokasi KKN dan juga banyaknya acara yang berhubungan dengan pihak Desa yang berhubungan dengan Adat Istiadat di Desa tersebut. Kondisi masyarakat juga sangat menentukan akan jadwal dari pelaksanaan kegiatan di lapangan, karena mahasiswa tidak akan mungkin bisa memaksakan jadwalnya tanpa melihat serta mempertimbangkan kondisi yang ada di desa tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kadang jadwal yang sudah ditentukan bisa menjadi mundur dari jadwal sebelumnya.
Solusi yang ditempuh dalam pemecahan masalah ini adalah bahwa mahasiswa akan tetap melaksanakan program ini meski laporan sudah terkumpul, karena ini merupakan beban moral bagi mahasiswa itu sendiri sampai berhutang kegiatan pada masyarakat dan nama IHDN akan menjadi buruk ketika mahasiswanya tidak mampu memberikan yang terbaik bagi Hal lain yang ditempuh adalah penambahan jam kegiatan yang semula dari kampus ditekankan hanya pada sabtu dan minggu, tapi ditambah menjadi hampir tiap hari ada pelaksanaan kegiatan di lokasi KKN.

  • Solusi Pendanaan KKN di Desa Adat Kedonganan

Mahasiswa harus mampu mencari solusi pada setiap permasalahan yang ada di lapangan. Mahasiswa juga harus dapat bersikap mandiri, tidak selalu bergantung pada orang tua. Maka dari itu sudah sepatutnya dana yang harus dikeluarkan oleh masing-masing anggota harus bisa seminim mungkin.
Hal yang ditempuh oleh panitia pelaksana KKN XI IHDN Denpasar Desa Adat Kedonganan adalah dengan penyebaran proposal pada perusahaan-perusahaan di lingkungan Desa Lebih serta ke kantor-kantor pemerintahan yang berkaitan dengan pelaksanaan program kerja KKN. Dana dari bantuan atas proposal KKN inilah yang nantinya sebagai pendukung utama dari pelaksanaan kegiatan. Disamping dari proposal yang diajukan, peserta KKN juga tidak lepas dari bantuan dari pihak Desa yang selalu membantu dalam bentuk moril maupun materiil sehingga pendanaan yang dikeluarkan mahasiswa tidak sampai memberatkan dari masing-masing anggota.

BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan aplikasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni dalam bidang pengabdian masyarakat. Pengabdian masyarakat ini merupakan suatu ajang untuk penerapan mengenai apa yang selama ini didapatkan di dunia pendidikan (kampus) untuk diterapkan pada masyarakat. Hal ini dimaksud sebagai penanaman jiwa tanggung jawab dan kepedulian mahasiswa terhadap situasi yang sedang terjadi di masyarakat. Mahasiswa yang sudah dinggap memiliki intelektual tinggi oleh masyarakat dianggap mampu melaksanakan suatu pengabdian masyarakat di suatu lokasi, maka dari itu mahasiawa harus tanggap dengan permasalahan yang berkembang di masyarakat tersebut.
Mahasiswa merupakan tonggak awal pembangunan bangsa dan negara baik itu pembangunan di bidang moral maupun kehidupan bangsa. Mahasiswa diharapkan mampu mencarikan jalan yang terbaik untuk permasalahn yang terjadi di masyarakat. Maka dari itu seorang mahasiswa harus mempunyai persiapan yang matang sebelum nantinya terjun di masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat yang mampu diandalkan oleh masyarakat dimana ia berada, khususnya di Desa Adat Kedonganan.
Salah satu pembekalan terhadap diri mahasiswa sebelum terjun ke masyarakat adalah dengan dilaksanakannya program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dengan adanya KKN maka mahasiswa akan belajar langsung bagaimana dirinya harus berinteraksi dengan masyarakat, dengan pejabat desa (parajuru) serta para prajuru adat. Dari sinilah nantinya akan didapatkan suatu pengalaman dan penghargaan bagi masing-masing mahasiswa akan apa yang ia dapatkan selama melaskanakan KKN.
Pengabdian masyarakat ini diwujudkan dengan pelaksanaan program-program yang telah ditentukan bersama-sama dari pihak mahasiswa dengan pihak desa tempat lokasi KKN. Program ini dibuat berdasarkan disiplin ilmu yang dimiliki oleh mahasiswa itu sendiri yakni disiplin ilmu Agama Hindu. Program yang dibawa oleh mahasiswa akan dipadukan dahulu dengan program yang ada di desa sehingga nantinya tidak berbenturan dan bisa dilaksanakan tanpa ada yang diberatkan oleh program-program KKN itu sendiri. Sehingga nantinya dari pelaksanaan program tersebut dapat memberikan manfaat yang banyak bagi masyarakat setempat.
Adapun beberapa program yang dilaksanakan oleh mahasiswa KKN XI IHDN Denpasar Kedonganan dibagi menjadi tiga bidang yakni bidang Keagamaan dan Budaya, Pendidikan dan Lingkungan hidup yang masing-masing programnya telah dijelaskan pada bagian isi dari laporan ini. Dari program-program yang telah ditentukan, hampir keseluruhan program yang ditentukan berhasil dilaksanakan. Namun ada juga beberapa program yang tidak sempat terlaksana yang disebabkan oleh minimnya waktu pelaksanaan KKN serta hal-hal lain yang tidak dapat dihindari misalnya adanya kematian, UAS (Ujian Akhir Semester) dan lain sebagainya. Semoga dari pelaksanaan program kerja yang telah berhasil dilaksanakan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di Desa Adat Kedonganan baik itu dalam hal keagamaan, sosial, dan lingkungan sekitar.

B. Saran-saran
Sebagai Umat Hindu yang merupakan salah satu agama yang berada di Indonesia merupakan agama yang minoritas, tentu harus mampu meningkatkan sumberdaya manusia Hindu sehingga memiliki Sumber Daya Manusia yang akan menjadi tonggak-tonggak kelangsungan kelestarian Agama Hindu. Mahasiswa KKN Angkatan XI Desa Adat Kedonganan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Mengajak Seluruh Umat Hindu yang Khususnya berada di Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, mulai memahami ajaran Agama Hindu dan meningkatkan sumber daya manusia agar mampu melaksanakan tugas sebagai bangsa dalam melaksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara.
Kepada Lurah dan Bendesa Adat Kedonganan, agar tidak henti-hentinya selalu membimbing dan mengarahkan masyarakat dalam melestarikan kebudayaan yang akan selalu mengajegkan Bali ini. Di samping itu tingkatkanlah rasa sosial dan terjun langsung dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat agar masyarakat merasa dekat dan selalu mendapat bimbingan, tuntunan dan binaan dari pemerintah Desa.
Kepada pemerintah, diharapkan selalu menunjuk tokoh-tokoh Hindu yang berkopeten di bidang Agama, agar selalu memberikan pencerahan rohani khususnya bagi masyarakat di Desa Adat Kedonganan, agar masyarakat memahami secara mendalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Kepada mahasiswa yang akan melaksanakan KKN selajutnya, diharapkan mampu menyusun program kerja yag lebih bagus dan lebih memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat di tempat KKN, sehingga kehadiran mahasiswa benar-benar memiliki arti yang besar di hati masyarakat.

C. Kritik
Dalam Pelaksanaan KKN yang akan datang diharapkan dari kesiapan LP2M dalam segala informasi lebih jelas dan untuk Sidak serta monitoring dari LP2M yang kurang merata, tidak efesiensi. Kontribusi atau Konfensasi dari LP2M agar untuk selanjutnya dapat direalisasikan sesuai dengan apa yang mahasiswa dapatkan dalam Pembekalan KKN. Penempatan KKN yang akan datang diharapkan menjamah Desa-Desa yang Bersifat perkotaan. Karena sangat penting mendapatkan Ilmu Keagamaan yang menjadi Tri Kerangka Dasar Umat Hindu, dimana di daerah Perkotaan Presepsi masyarakat yang sudah mulai memudar dari Tatwa, maka dari itu perlunya duta-duta dharma agar mampu menjadi mediasi agar terciptanya ketentraman di Desa tempat KKN.

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sebagai umat mansia yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hayng Widhi Wasa, maka diharapkan dan harus mempunyai suatu sikap hormat dan menghargai atas kekuasaan dan kebesaran-Nya dan atas segala ciptaan-Nya. Maka dari itu, tiada kata lain dalam perwujudan bhakti dan hormat kita adalah dengan melakukan Yadnya. Yadnya bila dilihat dari tindakan dapat dibagi dua bagian, yaitu Yadnya yang dilakukan secara riil (nyata) dan abstrak (tidak nyata). Yang nyata dapat berupa persembahan dan atau korban suci kehadapan Hyang Widhi demikian juga kehadapan sesama makhluk hidup, sedangkan secara tidak nyata dapat berupa Tapa, Bratha, Yoga, dan Semadhi.
Berbicara masalah Yadnya yang nyata yaitu persembahan dan korban suci, secara riil telah diketahui bersama yakni Panca Yadnya. Panca yadnya memiliki lima bagian yakni Dewa Yadnya (persembahan kepada Tuhan), Pitra Yadnya (persembahan kepada leluhur), Manusa yadnya (persembahan kepada sesama manusia), rsi Yadnya (persembahan kepada para rsi), dan Bhuta Yadnya (persembahan kepada para bhuta kala).
Dalam Bhuta Yadnya, terkait dengan upacara tersebut disebut dengan Mecaru. Upacara tersebut dilakukan oleh umat setiap saat baik di palemahan rumah, banjar, desa, pura dan bahkan suatu wilayah. Demikian juga setiap harinya, hari-hari tertentu seperti kajeng kliwon, dan atau pada pergantian sasih secara rutin upacara mecaru ini dilaksanakan. Disamping itu upacara mecaru ini diselenggarakan juga pada setiap adanya suatu peristiwa kejanggalan dan atau kejadian yang tiada kita hendaki.
Upacara Mecaru di Bali atau juga disebut dengan Butha Yadnya merupakan sebuah ritual suci yang kerap digelar untuk mengharmonisasi hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Manusia dengan alam, memang sejatinya tidak boleh saling bertentangan satu dengan yang lainnya supaya tercipta saling pengertian dan hubungan yang kondusif untuk keberlangsungan kehidupan selanjutnya.
Upacara-upacara tersebut secara rutin masih dilakukan oleh umat Hindu dipedesaan. Namun apa sesungguhnya upacara dimaksud dan apa tujuannya ternyata banyak dikalangan umat Hindu yang tidak tahu secara Tattwa. Kalau ditanya ya jawabnya “mule keto”. Hal ini tidak tidak boleh dibiarkan terus. Lebih-lebih dalam memasuki era globalisasi. Oleh karena itu upacara-upacara tersebut diatas perlu diungkapkan secara ilmiah popular untuk mudah dipahami terutama oleh umat Hindu sendiri, bila hal ini kita tidak lakukan akan timbul kekhawatiran nantinya tentang kelanjutan pelaksanaan upacara dimaksud.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa sesungguhnya caru itu ?
2. Apa maksud dan tujuan caru itu ?
3. Apa saja jenis-jenis caru dan pelaksanaannya ?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu caru yang sebenarnya.
2. Untuk mengetahu maksud dan tujuan caru yang sebenarnya.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis caru dan pelaksanaanya.

1.4 Manfaat Penulisan
Untuk memberitahu para pembaca agar dapat mengerti dan memahami arti caru serta maksud dan tujuannya agar dalam pelaksanaan upacara tersebut berlandaskan pengetahuan yang satwika dan tujuan pelaksanaannya dapat tercapi sesuai harapan.

 

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Caru
Caru adalah kurban suci yaitu upacara yadnya yang bertujuan untuk keseimbangan para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alit maupun bhuwana agung sebagaimana disebutkan dalam kanda pat butha sehingga dengan adanya keseimbangan tersebut berguna bagi kehidupan ini.
Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Upacara Butha Yadnya itu disebut caru karena disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Caru yang dalam sejarahnya disebutkan diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta yang mengganggu ketentraman hidup sebagai akibat dari godaan-godaan bhuta kala, sehingga Hyang Widhi Wasa menurunkan Hyang Tri Murti untuk membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari godaan-godaan para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru” sebagaimana disebutkan dalam mitologi caru ini.
Dan dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) sebagai upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari sebagai bagian dari upacara Butha Yadnya,
Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana. Yakni agar terjadi keharmonisan dalam hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Widhi (Parahyangan), hubungan antara manusia dengan sesama manusia (Pawongan)dan hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan).

2.2 Maksud dan Tujuan Caru
Upacara Mecaru ini berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu menjaga keharmonisan alam, lingkungan beserta isinya (wawasan semesta alam). Sementara makna upacara mecaru sendiri adalah kewajiban manusia merawat alam yang diumpamakan badan raga Tuhan dalam perwujudan alam semesta beserta isinya. Serta untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang widhi Wasa agar senantiasa kehidupan kita sebagai umat manusia cipaan-Nya mendapatkan kehidupan yang baik dan sejahtera secara sekala dan niskala.
Lain daripada itu, segala ketidakharmonisan yang terjadi di alam semesta ini juga disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri, seperti halnya memelihara bumi yang tiada semestinya dan juga pengingkaran akan ajaran agama, dharma, dan kesucian. Hal iu yang menyebabkan suatu keadaan buruk di jagat raya ini. Semuanya itu patut diberikan Caru agar mendapatkan keharmonisan kembali serta mendapatkan kerahayuan dengan terbatasnya dari segala bentuk kekotoran (leteh) dan kembali dikasihi oleh tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang widhi Wasa.
Begitu banyaknya Tuhan Yang Maha Esa memberikan kemudahan bagi umat manusia agar dipergunakan sebagai mana mestinya, namun dari semua itu juga Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) menitipkan alam beserta ini agar tidak dirusak dan selalu dijaga untuk kelangsungan kehidupan manusia. Alam dan manusia, sampai kapanpun harus selalu bersatu karena diantara keduanya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.

2.2.1 Dengan Caru Mengatasi Bhutakala
Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap garang. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh menjelang Nyepi. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.
Jadi hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu berbuat mengubah sifat ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu hubungan yang harrnonis antara manusia dengan Bhuta Kala, Keharmonisan itulah tujuan dari upacara mecaru itu.
Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Api dan air bisa menjadi sahabat dan membantu kehidupan manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia seperti menimbulkan kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia.

2.2.2 Persembahan Kepada Panca Maha Bhuta
Banten Caru yang golongannya lebih kecil disebut dengan Segehan, dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Panca Maha Bhuta. Disebutkan juga bahwa, manusia sebagai ciptan-Nya merupakan perwujudan Panca Maha Bhuta dalam bentuk kecil atau mikrokosmos, sedankan alam yang lebih besar makrokosmos adalah alam semesta ini.
Alam semesta ini terbagi menjadi beberapa lapisan menurut keagamaan, yang paling sering dan paling diketahui bersama adalah adanya alam Bhur, Bwah, Swah. Alam Bhur adalah tempat manusia disamping pula oleh segala gumatat-gumitit, para bhutakala, dedemit dan makhluk lainnya. Alam Bwah adalah alam para arwah. Sedangkan alam Swah adalah adalah alamnya para Dewa. Sedangkan Panca Maha Bhuta di dalam diri manusia terdiri dari tiga lapis yakni Stula Sarira (badan kasar), Suksma Sarira (badan halus), dan Antahkarana Sarira (atman) dan ketiganya disebut sebagai Tri Sarira.
Melihat kenyataan bahwa alam Bhur tidak hanya dihuni oleh manusia dan dengan makhluk hidup lainnya saja, akan tetapi dihuni pula oleh para makhluk halus lainnya, maka sudah jelas akan adanya suatu interaksi dengan yang lainnya yang akan menimbulkan gesekan dan pengaruh diantaranya. Untuk itulah dalam kaitan menetralisir dan mengharmoniskannya diadakan suatu persembahan berupa ‘Caru’ yang golongannya lebih kecil yang disebut segehan. ‘Mesegeh’(dalam bahasa bali) dilakukan pada setiap hari Kajeng, Kliwon, dan Kajeng Kliwon serta juga pada saat rerahinan lainnya.

2.3 Jenis- Jenis Caru dan Pelaksanaannya
Lontar Dewa Tattwa membedakan jenis-jenis Caru dan Tawur sebagai berikut:
1. Yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
2. Yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
3. Yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa Adat, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
4. Mengikuti upacara pokok Panca Yadnya.

2.3.1 Sarana Upakara dalam Pecaruan
Sarana yang dimaksud dalam uraian ini adalah sarana atau perlengkapan dan atau bagian dari Caru tersebut. Hal ini dapat berupa nasi, tumbuhan, binatang, dan unsur alam lainnya. Hal ini disesuaikan dengan jenis daripada caru tersebut. Caru dalam arti sempit dan sederhana sarananya dapat berupa nasi dengan berbagai bentuknya seperti, nasi kepelan, nasi cacahan, tumpeng yang dilengkapi dengan lauk pauk, bawang jahe, garam, demikian juga dengan Caru yang tergolong lebih besar dapat disertai dengan daging jeroan olahan dan bahkan kepala dari suatu bunatang yang dipakai korban yang kesemuanya berbau amis dan serta dibarengi dengan minuman yang beralkohol seperi tuak.arak berem disamping juga air tentunya. Bilamana sarananya berupa tumbuhan dapat dilihat dari digunakannya salah satunya adalah daun kelapa yang berupa Sengkui yang dibuat sedemikian rupa dan disesuaikan dengan urip dari suatu arah mata angin.
Menurut Lontar Sudamala, bahan-bahan upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga jenis:
1. Mataya; bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, biji-bijian, umbi-umbian, arak berem, tuak.
2. Mantiga; hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa, burung.
3. Maharya; hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat: babi, sapi, kerbau, kambing, anjing.
Penempatan warna bulu hewan caru mengacu pada kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan dengan warna bulu hewan itu. Hal ini juga disebutkan dalam ephos Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat” Panca Korsika.
Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa Tattwa)
seperti warna-warna bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah, dangsil, sanganan, nasi, beras, bunga, benang, dll mengikuti warna pengider:
1. Sweta (putih),
2. Dumbra (merah muda),
3. Rakta (merah),
4. Rajata (oranye),
5. Pita (kuning),
6. Syama (hijau),
7. Kresna (hitam),
8. Biru (abu-abu),
9. dan sarwa suwarna (campuran)
Warna-warna itu selain sebagai identitas para dewa yang menjaga keseimbangan, juga sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam diri manusia:
1. Putih: suci;
2. Merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan;
3. Merah : marah;
4. Oranye: marah karena nafsu tak terpenuhi;
5. Kuning: nafsu;
6. Hijau: serakah;
7. Hitam: iri-hati;
8. Abu-abu: iri-hati yang terselubung.
Dari 9 warna yang ada, hanya 1 (warna putih) sebagai simbol sifat baik yang bisa dikalahkan oleh warna lain simbul keburukan. Oleh karena itu warna putih dibanyakkan dengan tepung beras yang dirajah pada banten Rsi Gana. Dengan demikian sifat-sifat buruk asubha karma manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan sehingga Asuri Sampad (sifat keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi Sampad (sifat kedewataan)

2.3.2 Urip Wewaran Pada Caru dan Tawur
Menurut Lontar Warigha Bhagawan Gargha, penggunaan urip wewaran / neptu pada caru yang dasarnya panca wara, karena sesuai dengan mitologi panca korsika, yakni: :
1. Umanis urip 5 di timur,
2. Paing urip 9 di selatan,
3. Pon urip 7 di barat,
4. Wage urip 4 di utara,
5. dan Kliwon urip 8 di tengah.
Jumlah urip panca wara = 33 juga sesuai dengan jumlah Dewa menurut Satha Pata Brahmana dimana para Dewa diyakini berperan menjaga keselamatan bhuwana agung.
Penggunaan urip pada tawur pada dasarnya membentuk padma bhuwana (lingkup bhuwana agung menurut pengider-ider) maka digunakan asta wara, dimana urip panca wara diatas ditambah dengan:
1. Guru urip 8 di tenggara,
2. Rudra urip 3 di barat daya,
3. Kala urip 1 di barat laut
4. dan Sri urip 6 di timur laut.
Jumlahnya = 18 dimana secara matematis total digit: 1 + 8 = 9 (jumlah pengider-ider dewata nawa sanggha). Urip Wewaran tersebut digunakan dalam banten caru / tawur untuk antara lain jumlah : tumpeng, reramesan, sate, tangkih, jinah, dll.

2.3.3 Caru Menggunakan Binatang
Banten Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam.
Demikian seterusnya, pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju ke sifat-sifat kedewaan.

2.3.4 Nitya dan Naimitika Karma

Bila dilihat dari pengertian, maka caru terdiri dari berbagai macam sesuai dengan jenis/wujud, sarana dan peruntukan serta tujuannya. Untuk hal itu akan dijelaskan bahwa upacara Yadnya, khususnya Bhuta Yadnya dalam hal ini dapat dilakukan dengan dua fase, yaitu secara keseharian atau tiap hari yang disebut dengan Nitya Karma dan setiap waktu tertentu disebut dengan Naitmitika Karma.
Nitya Karma adalah suatu persembahan korban suci kehadapan Dewa dan Bhutakala yang dilakukan setiap hari setelah memasak nasi dengan beberapa butir nasi beralaskan daun pisang persegi yang dilengkapi denga lauk pauk yang dimasak saat itu dan dihaturkan pada pelinggih di Mrajan/Sanggah khususnya diletakkan pada bebaturannya, selanjutnya dihaturkan kepada para makhluk halus yang berkeliaran siang dan malam (bhutakala) yang senantiasa mengganggu ketentraman. Jadi hakekatnya yadnya sesa tersebut ditujukan kehadapan para dewa dan bhuta (unsur pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa) serta bhutakala (makhluk halus yang berkeliaran). Disamping itu secara etika, yadnya sesa atau mebanten saiban sebenarnya megandung unsur mendidik, bahwa kita sebagai umat senantiasa wajib untuk mensyukuri atas rahmat yang diberikan oleh sang Pencipta, selalu mendahulukan dan serta wajib melakukan punia kehadapan sesama makhluk ciptaan-Nya.
Sedangkan Naimitika Karma adalah suatu persembahan korban suci yang diadakan setiap saat bilamana diperlukan. Persembahan ini wujudnya merupakan upacara Mecaru. Mengenai caru ini ada berbagai jenis dan wujudnya sesuai dengan peruntukkan serta tujuannya. Secara umum caru atau Mecaru adalah untuk menjaga keharmonisan alam semesta beserta isinya sebagai aibat perilaku daripada para Bhutakala yag dengan sengaja mempengaruhi dan atau berbuat jahat terhadap manusia seingga terjadi ketidak nyamanan, ketidak tentraman dan serta ketidak harmosisan dari alam beserta isinya. Selanjutnya setelah diberikan persembahan korabn suci, para Bhuta senantiasa tidak kembali melakukan gangguan serta seantiasa menjaga ketentraman, kedamaian, serta keharmonisan jagat raya beserta isinya.

BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Caru adalah kurban suci yaitu upacara yadnya yang bertujuan untuk keseimbangan para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alit maupun bhuwana agung sebagaimana disebutkan dalam kanda pat butha sehingga dengan adanya keseimbangan tersebut berguna bagi kehidupan ini. Upacara Mecaru ini berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu menjaga keharmonisan alam, lingkungan beserta isinya (wawasan semesta alam).
Dalam pelaksannaanya Caru dapat digolongkan sebagai Nitya Karma dan Naimitika Karma. Nitya Karma merupakan korban suci atau caru yang dilakukan sehari-hari guna mensyukuri segala hal yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi, sedangkan Naimitika Karma adalah bentuk korban suci atau caru yang dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan peruntukkan serta tujuaannya.

3.2 Saran
Hendaknya dalam melakukan Upacara Yadnya kita hendaknya harus memahami dan memaknai segala bentuk uapacara yang kita lakukan. Karena itu sangat penting agar tujuan dari upacara tersebut dapat tercapai serta segala bentuk pengorbanan yang dilakukan tidak sia-sia melainkan dapat memberikan manfaat dan berkah bagi umat yang melaksanakannya tentu atas anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA

Pasek Swastika, Drs. I Ketut. 2008. Bhuta Yajnya. Denpasar : Pustaka Bali Post
Pasek Swastika, Drs. I Ketut. 2009. Caru. Denpasar : CV. Kayumas Agung
Sanjaya, Putu. 2010. Acara Agama Hindu. Surabaya : Paramita