SIVA SIDDHANTA DUALIS

Posted: 15 Januari 2015 in semester 4 pendidikan agama hindu 2013

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Siwaisme yang berkembang di India merupakan asal mula Agama Hindu. Berawal dari kelahiran dan perkembangan paham Siwaisme di daerah Jammu dan Khasmir, disekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu & Khasmir terdapat sungai Sindhu. Di lembah inilah cikal bakal kelahiran paham Siwaisme di India, dan wilayah luar India, salah satunya Indonesia.

Arti kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata Siddhanta bermakna ajaran agama. Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Wedanta.

Selanjutnya bagaimana paham Saiva di Indonesia, dan di Bali khususnya? Siwaisme yang eksis di Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Buana Kosa. Buana Kosa merupakan naskah tradisional Bali khususnya salah satu sumber pembangkit spiritual umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Karena Buana Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, terutama Saiva Siddhanta yang berkembang pesat di India selatan. Buana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu di Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci (pandita atau sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di Bali, sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di Indonesia.

Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Saiva siddhanta. Beberapa sumber yang dimaksud adalah Bhuwana kosa,Wrhaspati tattwa,Tattwa Jnana,Ganapati tattwa,bhuwana Sang Ksepa,Siwa Tattwa Purana,Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Masih diperlukan banyak kajian mengenai Saiva Siddhanta yang diajarkan dalam susastra Hindu di Bali. Dari sekian banyak teks atau susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Saiva Siddhanta.

Dari segi isinya bahwa ajaran Saiva Siddhanta ada disuratkan dalam bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Bali, dan ada juga yang diterjemahkan artinya dalam bahasa Indonesia. Penerapan ajaran Saiva Siddhanta di Bali sesungguhnya telah kental diterapkan dalam kehidupan masyarakat beragama hindu di Bali sejak dahulu. Hal ini terlihat dari segi penerapannya di desa adat atau desa pakraman yang ada di Bali. Melalui pemujaan, persembahan, kegiatan ritual, dan sebagainya menampakan bahwa Saiva Siddhanta sangat dipahami dan diterapkan dengan baik oleh umat Hindu di Bali.

  • Rumusan Masalah
  1. Bagaiamana perkembangan mazab Siva Siddhanta?
  2. Siapa saja tokoh penyebar Siva Siddhanta di Indonesia?
  3. Apa itu ajaran Siva Siddhanta Dualis?
  • Manfaat Penulisan
  1. Untuk mengetahui perkembangan mazab Siva Siddhanta.
  2. Untuk mengetahui tokoh penyebar ajaran Siva Siddhanta.
  3. Untuk mengetahui ajaran Siva Siddhanta Dualis.
  • Tujuan Penulisan

         Memberi tahu para pembaca tentang perkembangan Siva Siddhanta dari India sampai ke Indonesia, kemudian samapai di Bali beserta para tokoh-tokoh penyebar aliran tersebut dan memberi tahu para pembaca tentang salah satu ajaran dari Siva Siddhanta, yakni alaran Siva Siddhanta Dualis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Mazab Siva Siddhanta

            2.1.1 Siva Siddhanta di India

Sekta Siwa Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang popular di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siva Siddhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Siddhanta artinya kesimpulan sehingga Siva Siddhanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas. Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Siddhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok/intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda.

2.1.2 Siva Siddhanta di Indonesia

Ada tujuh maha rsi yaitu: Grtasamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Para Rsi inilah yang menerima wahyu Weda di India. Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte yang jumlahnya ratusan. Sekte Siwa Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya, kemudian disebarkan ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekte ini yang berasal dari pesraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu. Trinawindu di Bali disebut dengan Bhatara Guru, tapi ini hanya sebuah gelar Rsi Agastya di Bali.

Di Indonesia Mazab Siva Siddhanta datang pada abad ke-4 M di Kutai dibawah oleh Rsi Agastya dari benares India. Terdapat 7 yupa dengan huruf sansekerta. Jawa barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut koebon kopi). Jawa tengah terdapat kerajaan Kalianga tahun 618-906 M rajaya ratu Sima terdapat prasasti bahasa Sansekerta bergambar Tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada abad -7 mulai adanya perkembangan Buddha Mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahun 654 mendirikan Lingga disebut prasasti cangkal (Subagiasta, 2006:10).

Setelah itu banyak bermunculan candi Buddha seperti candi kalasan, Borobudur. Kerajaan Kanjuruan rajanya Dewasima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan Dewa Siwa dan memuja Trimurti. Kerajaan Kediri tahun 1042-1222 rajanya Kameswara. Kerajaan Singhasari tahun 122-1292 rajanya Ken Arok dan yang terakhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan banyak candi. Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya Wikamawardhana masa jayana Siva Siddhanta. Kerajaan pajajaran rajanya Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Prabu Ratu Dewata (Subagiasta, 2006:13).

2.1.3 Siva Siddhanta di Bali

Salah satu murid Maha Rsi Agastya adalah Maha Rsi Markandeya yang membawa ajaran Weda/Siwa di Indonesia. Pada saat ke Indonesia Maha Rsi Markandeya mendapatkan pencerahan di gunung Di Hyang (sekarang disebut dengan gunung Dieng) di gunung Dieng Beliau Rsi Markandeya mendapatkan pawisik agar membuat pelinggih di Tohlangkir (sekarang disebut Besakih) dan harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah delima.

            Setelah itu Maha Rsi Markandeya menetap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutinya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda. Setelah itu Maha Rsi Markandeya mentap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali.

Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari mantram-mantram weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari mantram-mantram yang ada dalam Weda.

Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemralina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan Paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.

2.2 Tokoh Penyebar Siva Siddhanta

Pengawi dan ahli weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Siddhanta meliputi tiga kerangka agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai keempat belas yaitu:

  • Danghyang Markandeya

Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan pelinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegallalang Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Siddhanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk memohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

  • Mpu Sangkulputih

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanaan peringatan hari piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya: Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Abatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

  • Mpu Kuturan

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali, yakni Mpu Kuturan. Pada saat itu Beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol pelinggih kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

  • Mpu Manik Angkeran

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.

  • Mpu Jiwaya

Beliau menyebarkan agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dan lain-lain.

  • Danghyang Dwijendra

Datang di Bali pada abad ke-14 dari Desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain: Mpu/ Danghyang Nirarta, dan dijuluki: Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat Pakraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja Beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya: Purancak, Rambut Siwi, Pakendungan, Hulu Watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pengajengan, Masceti, Peti Tenget, Amartasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dkll. Keenam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu diluar Bali, karena di Bali sesungguh Siwa Siddhanta dan Buddha kasogatan menjadi satu dalam keseharian hidup dan ritual orang Bali.

2.3    Siva Siddhanta Dualis

Siwa Siddhanta Dualis merupakan aspek dari aliran Siwa Siddhanta Saivaisme, yang mengakui Authoritas 28 Saivagama. Apabila kita bandingkan dengan sistem filsafat India lainnya, kita mendapatkan bahwa ia memiliki dasar yang berbeda denga Vaisesika, Nyaya, Samkhya dan Vedanta.

Teori metafisika dari Siva Siddhanta dualis berbeda dengan teori Vaisesika dan ia mampu menerima teori evolusi yang sama seperti dalam sistem filsafat Samkhya. Ia memandang bahwa maya berkembang meninggalkan keadaan yang pertama untuk memasuki keadaan yang berikutnya. Sedangkan Karma menurut Siva Siddhanta Dualis merupakan sifat dari Budhi dan bukan sifat dari atmanseperti pendapat dari Vaisesika, karena mengakui karma sebagai sifat dari atman merupakan pengakuan bahwa atma tidak abadi, karena adanya perubahan, yang disebabkan oleh perubahan karma. Demikian pula halnya dengan Kala, yang menurut Siva Siddhanta Dualis tidak abadi , karena ia tak berjiwa dan banyak, seperti waktu yang lalu, sekarang dan yang akan datang, namun vaisesika mengakui bahwa “waktu itu adalah kekal”. Ia tidak mengakui adanya atom-atom abadi, seperti yang dilakukan oleh vaisesika dan nyaya, karena menurut Siva Siddhanta Dualis, semua yang memiliki kejamakan dan tidak memiliki jiwa merupakan hal yang tidak kekal.

2.3.1 Perbedaan Siva Siddhanta Dualis Dengan Filsafat Samkhya

Perbedaan Siva Siddhanta Dualis dengan sistem filsafat samkhya adalah sebagai berikut :

  1. Siva Siddhanta Dualis yang mengakui bahwa purusas atau pribadi merupakan keberadaan murni asli (puspakarapalasa-vannirlepah) seperti yang dipakai oleh filsafat Samkhya. Ia menyatakan bahwa diri pribadi memiliki ketidak murnian yang tanpa awal, karena dengan cara lain pengalaman empiris yang disebabkan kecenderungan untuk menikmati, tak dapat dijelaskan. Sistem Samkhya tak dapat mengatakan bahwa kecenderungan untuk menikmati disebabkan oleh raga atau keterikatan, karena keterikatan (raga) itu dapat berfungsi dalam hubungan terhadap sang diri saja yang tidak murni.
    1. Purusa, yang dipersamakan dengan refleksinya, jatuh apad budhi.
    2. Budhi, yang menerima pantulan dari purusa dai dalam serta pantulan benda dari luar.
    3. Pantulan benda pada Buddhi
    4. Ahamkara, merupakan hal yang bertanggug jawab guna penyatuan dua pantulan dari subjek & objek, guna mengidentifikasi pantulan subjek dengan subjek itu sendiri, guna mencapai penyatuan subjek dan objek untuk tujuan prakis, dan guna memunculkan kesadaran “aku mengetahui ini”.Konsepsinya tentang Bhoga juga berbeda dengan Samkhya. Bhoga melibatkan 4 hal, yaitu :

Adapun prosesnya adalah ang pertama Budhi menerima pantulan dari objek yang berasal dari luar dan pantulan dari subjek (purusa) berasal dari dalam selanjutnya Ahamkara mempersatukannya sehingga kedua pantulan tersebut menjadi satu maka objek menjadi bersinar yang disebabkan oleh pantulan subjek yang merupakan titik puncak proses tersebut yang disebut jnana.

Siva Siddhanta Dualis menolak penyamaan roh pribadi dengan sang diri semesta bahwa roh pribadi jumlahnya tidak terhitung. Dengan demikian terdapat tiga kategori Siva Siddhanta Dualis yaitu Maya atau mahamaya, purusa dan Siva yang juga dapat dikatakan sebagai pati, pasu, dan pasa dimana pati sebagai pengganti Siva, pasu sebagai pengganti purusa, dan pasa sbagai pengganti maya atau mahamaya. Pati terbagi menjadi siva, sakti, mantra-mahesa, mantresa, dan mantra. Sedangkan Pasu terbagi menjadi Vijnanakala, pralayakala, dan sakala. Sedangkan Pasa terbagi menjadi mala, rodhasakti, karma, maya, dan bindu.

Daya-daya dari Siva (pati) meliputi:

  1. Daya pengetahuan (jnana sakti) yang berhuungan dengan bindu yang abadi
  2. Daya kegiatan (kriya sakti)
  3. Daya kehendak (iccha sakti)
  4. Daya penciptaan (srsti sakti)
  5. Daya pemeliharaan (sthiti sakti)
  6. Daya penghancuran (samhara sakti)
  7. Daya pengaburan atau menyelubungi (trobhawa sakti)
  8. Daya pemberi anugrah (anugraha sakti)

Lima kegiatan Tuhan (panca kriya) yaitu, srsti, sthiti, samhara, tirobhawa, dan anugraha, yang secara terpisah diaggap sebagai kegiatan dari Brahman, Visnu, Rudra, Maheswara, Sadasiva.

Sedangkan pasa memiliki pembagian yaitu:

  1. Mala sebagai belenggu yang pertama yang tidak memiliki awal
  2. Maya yaitu kekeliruan
  3. Karma yaitu nasib masa lalau atau perbuatan masa lalu
  4. Nirodhasakti yaitu ketergantungan
  5. Bindu yaitu ketidak murnian.

2.3.2    Hubungan Siva Siddhanta Dualis Dengan Pasupata Dualis

Siwa Siddhanta Dualis juga dibedakan dengan Pasupata Dualis dimana Pasupata Dualis menerima 5 kategori awal, yaitu Karana, Karya, Yoga, Widhi, Duhkhantar. Tetapi Siva Siddhanta Dualis hanya menerima 3 kategori saja, yaitu Pati, Pasu, Pasa. Tampak bahwa Siva Siddhanta Dualis dipengaruhi oleh pasupata yang tampaknya lebih awal adanya karena Siva Siddhanta Dualis tampaknya meminjam konsep ‘Karana’ sebagai ‘Pati’, karena tidak ada perbedaan konsepsual antara karana dan pati dimana yang membedakannya hanya dalam masalah kata saja dan juga karena didalam pasupata sutra oleh lakulisa kita menemukan kata ‘pati’ yang dipergunakan untuk menyebut ‘karana’.

Siva Siddhanta Dualis menerima teori metateori metafisika dari Pasupata, yakni bahwa penyebab material berbeda dengan penyebab efisien tetapi ia mengadakan perbaikan pada konsepsi tentang pembebasan, karena sementara terjadi pembebasan menurut pasupata yang mengandung akhir dari segala penderitaan. Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hal itu merupakan pencapaian kesamaan, yang berkaitan dengan daya-daya pengetahuan dan kegiatan dengan jiwa.

2.3.3    Konsep Siva Siddhanta Dualis

Konsep Siva Siddhanta Dualis tentang kategori sangat dekat sekali hubungannya dengan konsepsinya tentang pemusnahan semesta dan ia berpendapat bahwa satu kategori adalah sesuatu yang ada meskipun terjadi pemusnahan semesta dan merupakan kondisi, langsung maupun tidak langsung, dari segala pengalaman empiris maupun non-empiris. Dan pemusnahan semesta adalah dimana segala sesuatu yang merupakan hasil dari maya atau mahamaya bergabung kembali kedalam penyebab materialnya dan memiliki keberadaan disana dalam keadaan yang tak terbedakanbaik kesatuannya yang merupakan kemungkinan saja dari keanekaragaman ini. ia mengakui bahwa penciptaan itu ada 2 macam, yaitu: (1) Yang murni (suddha), (2) Yang tidak murni (asuddha), dan maya juga ada 2 macam yaitu satu yang merupakan hasil, berupa kondisi yang diperlukan dari pengalaman empiris dan disebut maya saja. Sedangkan hasil yang lain berupa kondisi yang sama yang diperlukan bagi pengalaman transendental yang merupakan subjek transedental. Karena hal itu ia yang berpendapat bahwa para pemusnahan semesta semua yang menyusun kondisi material dari suatu pengalaman, bergabung kembali ke dalam sakti, yang merupakan salah satu kategori yang bebas, dimana kita akan menulis dalam konteks yang sesuai yaitu bergabung ke dalam mahamaya. Jadi, Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hanya terdapat 3 kategori awal, yaitu 4 Maya atau mahamaya, 2 purusa, dan 3 siva.

Selanjutnya aliran Siva Siddhanta Dualis juga membagi jiwa atau pasu menjadi 3 keadaan yaitu: vijanakala, pralayakala, dan sakala. Pada vijanakala sang roh hanya memiliki anavamada (keakuan) dimana maya dan karma telah terlepaskan. Pada pralayakala mereka hanya terbatas dari maya saja pada tahapan pralaya sedangkan sakala semua cacat atau ketidakmurnian masih ada. Mala-mala tersebut berpengaruh pada jiva atau roh dan bukan pada Siva. Ketiga belenggu dapat dilepaskan hanya melalui tapas yang ketat disiplin yang kerasa bantuan seorang guru diatas semuanya adalah karunia dari Siva. Carya (penyelidikan), kriya (upacara), dan yoga menyusun disiplin tersebut dan dengan pelaksanaan yang sungguh-sungguh ia mendapatkan karunia dari Siva, sehingga roh-roh dapat mewujudkan hakekatnya sebagai Siva (jnana).

Disiplin dan karunia memuncak dalam jnana yang merupakan pelepasan tertinggi atau pencapaian kebahagiaan akhir karma dan cara-cara lainnya hanya merupakan tambahan atau pembantu. Pencapaian sivatva atau hakekat jiwa bukan dimaksudkan penggabungan sepenuhnya antara roh dengan Siva karena roh yang terbebas tidak kehilangan kepribadiaanya, sivatva merupakan realisasi dari identitas inti walaupun berbeda. Roh mencapai hakekat Tuhan atau Siva, tetapi dirinya bukanlah Siva atau Tuhan. Konsep Moksa yang diakui Siva Siddhanta Dualis ada 2, yaitu para moksa dan apara moksa atau pembebasan yang lebih tinggi dan pembebasan lebih rendah.

BAB III

PENUTUP

  • Kesimpulan

Jadi Siva Siddhanta Dualis berpendapat bahwa hanya terdapat 3 kategori awal yaitu Maya, Purusa dan Siva ( atau pati pasu pasa) dimana pati sebagai pengganti Siwa, pasu sebagai pengganti Purusa dan pasa sebagai pengganti Maya atau mahamaya. Pati atau Siva sebagai kategori pertama yang bebas merup[akan penguasa ternak, yang maksudnya adalah segala penguasa makhluk hidup atau segala sesuatunya sehingga dapat dikatakan sebagai maha kuasa. Ia mersapi segalanya, abadi. Tanpa awal dan tanpa akhir. Bebas dari segala kekotoran, bebas dari segala sebab akibat, yang tetap tak berubah meskipun Ia menciptakan alam semesta ini, seperti matahari yang menyebabkan mekarnya kuncup-kuncup kembang teratai. Ia menciptakan dunia objektif yang terbatas ini, yang berasal dari penyebab material, yaitu maya, dengan daya kekuatanhya yang disebut sakti, sebagai penyebab instrument.

 

Daftar Pustaka

 

Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita

Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita

Pasek Gunawan, I Ketut. 2012. Siva Siddhanta, Tattwa dan Filsafat. Surabaya: Paramita

Tinggalkan komentar